Bangga dengan Cangkem Turahe Media Massa:
SCTV Melampiaskan Kejengkelannya
Horor IPDN memberiku banyak sekali sesuatu yang ingin kutuliskan. Salah satunya adalah peranan media massa. Aku cukup bangga dengan apa yang telah dilakukan media massa dalam mengungkap kasus IPDN. Media massa mampu “menelanjangi”kebobrokan IPDN. Mereka tidak terpangaruh dengan setting kehumasan pihak IPDN.
Mengapa membanggakan? Media massa di Indonesia seringkali dikatakan tidak memberikan nilai tambah bagi pemirsanya. Media cetak disebut-sebut menganut “jurnalisme cangkem” atau talking journalism menurut anak yang kuliah di jurusan komunikasi. Pengertian fakta sudah berubah bagi media. Jika dulu fakta adalah sebuah peristiwa maka sekarang omongan orang yang dianggap sebagai fakta.
Media TV sami mawon. Layar kaca kita dituding hanya menayangkan acara yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Sinetron kita dituding hanya menjual mimpi. Infotainment hanya mendatangkan budaya ghibbah atau ngrumpi. NU, ormas Islam terbesar sempat berencana mengeluarkan fatwa haram atas tayangan infotainment. Barisan Muda PAN sempat mendemo Trans TV atas tayangan sinteron Selebritis Juga Manusia yang dianggap menyinggung ketua umumnya Sutrisno Bachir.
Pendeknya, media kita hanya menyajikan cangkem turah belaka. Maka ketika media mampu mengungkap kasus IPDN kita dapat menyebut sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Media langsung memblow-up kasus ini sehingga publik tahu bahwa IPDN tidak pernah berubah. Akibatnya upaya kehumasan pihak IPDN tidak mempan untuk menggalang opini publik.
SCTV menurutku layak mendapat catatan khusus di sini. Stasiun TV ini seakan menumpahkan kekesalannya terhadap IPDN. Tahun 2003, TV ini menayangkan acara “Siksa di Balik Tembok STPDN”. Tayangan berdurasi satu jam ini memaparkan secara vulgar bentuk kekerasan yang terjadi di STPDN. Masyarakat pun terhenyak ketika melihat proses pendidikan di sekolah calon pamong praja ini. Secara tidak langsung SCTV mampu memaksa STPDN berbenah diri termasuk merubah nama menjadi IPDN.
Saat itu, SCTV bukan hanya menerima pujian. Tapi juga cacian dari pihak Depdagri dan alumni STPDN. Mendagri menuduh SCTV menyebarkan kebencian kepada STPDN. Mendagri melalui Sekjennya Siti Nurbaya melaoprkan SCTV ke Dewan Pers terkait pemberitaannya soal STPDN. Beruntunglah Dewan Pers tidak keder dengan keangkuhan Depdagri dan menyatakan pemberitaan SCTV tidak melanggar etika dan profesionalisme pemberitaan.
Kini, ketika kekerasan di sekolah itu berulang, SCTV seperti mendapat amunisi untuk bereaksi. SCTV membuat title “IPDN Belum Jera” untuk membingkai upayanya mengungkap kekerasan sistemik di sana. Sikap media ini sedikit banyak menyulitkan pihak IPDN meredam aroma kekerasan terhadap siswa menjadi sekedar aroma sakit liver.
Media sudah mampu menggiring opini perlunya perubahan fundamental sistem pendidikan IPDN. Pertanyaannya, mampukah media menuntaskannya? Tahun 2003 media menghasilkan perubahan nama. Apa yang dihasilkan media tahun 2007? Kita liat aja berita tentang horor IPDN selanjutnya.
Cangkem Turahe Faisol
UK, 9 April 2007
12.29
Lapar banget
SCTV Melampiaskan Kejengkelannya
Horor IPDN memberiku banyak sekali sesuatu yang ingin kutuliskan. Salah satunya adalah peranan media massa. Aku cukup bangga dengan apa yang telah dilakukan media massa dalam mengungkap kasus IPDN. Media massa mampu “menelanjangi”kebobrokan IPDN. Mereka tidak terpangaruh dengan setting kehumasan pihak IPDN.
Mengapa membanggakan? Media massa di Indonesia seringkali dikatakan tidak memberikan nilai tambah bagi pemirsanya. Media cetak disebut-sebut menganut “jurnalisme cangkem” atau talking journalism menurut anak yang kuliah di jurusan komunikasi. Pengertian fakta sudah berubah bagi media. Jika dulu fakta adalah sebuah peristiwa maka sekarang omongan orang yang dianggap sebagai fakta.
Media TV sami mawon. Layar kaca kita dituding hanya menayangkan acara yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Sinetron kita dituding hanya menjual mimpi. Infotainment hanya mendatangkan budaya ghibbah atau ngrumpi. NU, ormas Islam terbesar sempat berencana mengeluarkan fatwa haram atas tayangan infotainment. Barisan Muda PAN sempat mendemo Trans TV atas tayangan sinteron Selebritis Juga Manusia yang dianggap menyinggung ketua umumnya Sutrisno Bachir.
Pendeknya, media kita hanya menyajikan cangkem turah belaka. Maka ketika media mampu mengungkap kasus IPDN kita dapat menyebut sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Media langsung memblow-up kasus ini sehingga publik tahu bahwa IPDN tidak pernah berubah. Akibatnya upaya kehumasan pihak IPDN tidak mempan untuk menggalang opini publik.
SCTV menurutku layak mendapat catatan khusus di sini. Stasiun TV ini seakan menumpahkan kekesalannya terhadap IPDN. Tahun 2003, TV ini menayangkan acara “Siksa di Balik Tembok STPDN”. Tayangan berdurasi satu jam ini memaparkan secara vulgar bentuk kekerasan yang terjadi di STPDN. Masyarakat pun terhenyak ketika melihat proses pendidikan di sekolah calon pamong praja ini. Secara tidak langsung SCTV mampu memaksa STPDN berbenah diri termasuk merubah nama menjadi IPDN.
Saat itu, SCTV bukan hanya menerima pujian. Tapi juga cacian dari pihak Depdagri dan alumni STPDN. Mendagri menuduh SCTV menyebarkan kebencian kepada STPDN. Mendagri melalui Sekjennya Siti Nurbaya melaoprkan SCTV ke Dewan Pers terkait pemberitaannya soal STPDN. Beruntunglah Dewan Pers tidak keder dengan keangkuhan Depdagri dan menyatakan pemberitaan SCTV tidak melanggar etika dan profesionalisme pemberitaan.
Kini, ketika kekerasan di sekolah itu berulang, SCTV seperti mendapat amunisi untuk bereaksi. SCTV membuat title “IPDN Belum Jera” untuk membingkai upayanya mengungkap kekerasan sistemik di sana. Sikap media ini sedikit banyak menyulitkan pihak IPDN meredam aroma kekerasan terhadap siswa menjadi sekedar aroma sakit liver.
Media sudah mampu menggiring opini perlunya perubahan fundamental sistem pendidikan IPDN. Pertanyaannya, mampukah media menuntaskannya? Tahun 2003 media menghasilkan perubahan nama. Apa yang dihasilkan media tahun 2007? Kita liat aja berita tentang horor IPDN selanjutnya.
Cangkem Turahe Faisol
UK, 9 April 2007
12.29
Lapar banget