Monday, April 9, 2007

Horor IPDN (2)

Bangga dengan Cangkem Turahe Media Massa:
SCTV Melampiaskan Kejengkelannya


Horor IPDN memberiku banyak sekali sesuatu yang ingin kutuliskan. Salah satunya adalah peranan media massa. Aku cukup bangga dengan apa yang telah dilakukan media massa dalam mengungkap kasus IPDN. Media massa mampu “menelanjangi”kebobrokan IPDN. Mereka tidak terpangaruh dengan setting kehumasan pihak IPDN.

Mengapa membanggakan? Media massa di Indonesia seringkali dikatakan tidak memberikan nilai tambah bagi pemirsanya. Media cetak disebut-sebut menganut “jurnalisme cangkem” atau talking journalism menurut anak yang kuliah di jurusan komunikasi. Pengertian fakta sudah berubah bagi media. Jika dulu fakta adalah sebuah peristiwa maka sekarang omongan orang yang dianggap sebagai fakta.

Media TV sami mawon. Layar kaca kita dituding hanya menayangkan acara yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Sinetron kita dituding hanya menjual mimpi. Infotainment hanya mendatangkan budaya ghibbah atau ngrumpi. NU, ormas Islam terbesar sempat berencana mengeluarkan fatwa haram atas tayangan infotainment. Barisan Muda PAN sempat mendemo Trans TV atas tayangan sinteron Selebritis Juga Manusia yang dianggap menyinggung ketua umumnya Sutrisno Bachir.

Pendeknya, media kita hanya menyajikan cangkem turah belaka. Maka ketika media mampu mengungkap kasus IPDN kita dapat menyebut sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Media langsung memblow-up kasus ini sehingga publik tahu bahwa IPDN tidak pernah berubah. Akibatnya upaya kehumasan pihak IPDN tidak mempan untuk menggalang opini publik.

SCTV menurutku layak mendapat catatan khusus di sini. Stasiun TV ini seakan menumpahkan kekesalannya terhadap IPDN. Tahun 2003, TV ini menayangkan acara “Siksa di Balik Tembok STPDN”. Tayangan berdurasi satu jam ini memaparkan secara vulgar bentuk kekerasan yang terjadi di STPDN. Masyarakat pun terhenyak ketika melihat proses pendidikan di sekolah calon pamong praja ini. Secara tidak langsung SCTV mampu memaksa STPDN berbenah diri termasuk merubah nama menjadi IPDN.

Saat itu, SCTV bukan hanya menerima pujian. Tapi juga cacian dari pihak Depdagri dan alumni STPDN. Mendagri menuduh SCTV menyebarkan kebencian kepada STPDN. Mendagri melalui Sekjennya Siti Nurbaya melaoprkan SCTV ke Dewan Pers terkait pemberitaannya soal STPDN. Beruntunglah Dewan Pers tidak keder dengan keangkuhan Depdagri dan menyatakan pemberitaan SCTV tidak melanggar etika dan profesionalisme pemberitaan.

Kini, ketika kekerasan di sekolah itu berulang, SCTV seperti mendapat amunisi untuk bereaksi. SCTV membuat title “IPDN Belum Jera” untuk membingkai upayanya mengungkap kekerasan sistemik di sana. Sikap media ini sedikit banyak menyulitkan pihak IPDN meredam aroma kekerasan terhadap siswa menjadi sekedar aroma sakit liver.

Media sudah mampu menggiring opini perlunya perubahan fundamental sistem pendidikan IPDN. Pertanyaannya, mampukah media menuntaskannya? Tahun 2003 media menghasilkan perubahan nama. Apa yang dihasilkan media tahun 2007? Kita liat aja berita tentang horor IPDN selanjutnya.


Cangkem Turahe Faisol
UK, 9 April 2007
12.29
Lapar banget

Horor IPDN (1)

Cangkem Turah Pejabat IPDN
Plintat-Plintut Soal Kematian Siswanya


IPDN gonjang-ganjing lagi. Sekolah yang dulu bernama STPDN ini kembali menuai masalah soal kematian siswanya. Clif Muntu, siswa IPDN asal Sulawesi Utara meninggal akibat dipukuli oleh kakak angkatannya. Berarti, kasus ini menambah panjang daftar siswa meninggal di sekolah tersebut.

Nah, yang menarik dari kasus terbaru kemarin adalah upaya pejabat IPDN menutup-nutupi penyebab kematian Clif Muntu. Pertama, juru bicara IPDN dengan gagah-berani menyatakan penyebab kematian siswanya akibat penyakit lever. Untung saja media massa tidak begitu saja percaya dengan penjelesan ini. Mereka terus memblow up soal ini dengan memanfaatkan keterangan Inu Kencana, dosen yang membuka kasus kekerasan di IPDN. Polisi pun akhirnya menemukan titik terang bahwa ada unsur kekerasan dalam kasus ini.

Pihak IPDN akhirnya mengeluarkan pernyataan kedua. Kali ini Rektor IPDN I Nyoman Soemaryadi menyatakan pihaknya kecolongan atas kejadian ini. Pihak IPDN menganggap ini adalah kesalahan oknum siswa bukan kesalahan institusi. Sang rektor membuktikan anggapannya dengan memecat siswa yang dijadikan tersangka oleh polisi.

Media massa, sekali lagi tidak terkecoh oleh upaya kehumasan pihak IPDN melokalisir isu. Mereka kembali memblow-up kasus ini dengan memposisikan Clif Muntu dan siswa yang dipecat sama-sama sebagai korban. Keluarga siswa yang dipecat mulai diberi tempat untuk menyampaikan uneg-unegnya melalui media. Isu besar yang muncul pun beralih ke pertanyaan tentang system pendidikan di IPDN. Malah beberapa pihak mulai memunculkan wacana pembubaran IPDN.

Kini, pihak IPDN memunculkan upaya ketiganya dengan memberikan sanksi kepada Inu Kencana. Dosen ini dianggap terlalu “ember” membuka kasus IPDN keluar. Kini sang dosen tidak diperbolehkan mengajajar karena harus menghadapi tim pemeriksa internal Depdagri.

Aku tidak tahu sejauhmana upaya ini mampu mengalihkan isu IPDN yang sudah menggelinding kayak bola salju. Presiden SBY saja sudah berjanji untuk melakukan perubahan fundamental dalam tubuh IPDN. Semoga aja media tidak termakan dengan upaya kehumasan pihak IPDN.

Tapi yang jelas, pimpinan IPDN sudah plintat-plintut soal kasus ini. Kita kemudian dapat mempertanyakan pimpinan macam apa yang justru berusaha menutup-nutupi kekerasan yang menimpa siswanya? Apa yang mereka rasakan ketika mengatakan siswanya sakit liver padahal dia meregang nyawa akibat pukulan dan tendangannya? Ketika kemudian upaya itu gagal, mereka malah tega mengorbankan anak didiknya? Kita dapat menilai lulusan macam apa yang dihasilkan oleh pengajar yang mempunyai perilaku seperti itu. Beruntung, media kita masih tidak bosan untuk mengungkap kasus ini.


Cangkem Turahe Faisol
UK, 9 April 2007
11.02 WIB
Geregetan baca berita IPDN

Tuesday, April 3, 2007

Cangkem Turahe Ketua KNKT

Mencla-Mencle Membantah Pernyataannya Sendiri

TV Australia, Nine Network dalam berita edisi 1 April 2007 memberitakan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda. Menurut Tatang, ada percekcokan antara pilot dan co pilot sesaat sebelum Garuda 200 celaka 7 Maret 2007.

Sehari sesudahnya (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan dia menuduh TV Australia itu telah memelintir pernyataannya. Ketua KNKT ini berharap dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarainya untuk membuktikan pernyataannya.

Pejabat kita satu ini jelas menunjukkan cangkem turahe. Bagaimana mungkin dia menuduh sebuah media memelintir pernyataannya. Sementara di sisi lain dia mengakui telah diwawancarai TV Australia. Apa lagi namanya selain mencla-mencle? Memang kita dapat menuduh TV Australia sengaja merekayasa pernyataan tersebut dengan tujuan membangun opini public di negerinya? Terlebih ada beberapa pejabat kedutaan besar Australia yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.

Menurutku asumsi itu adalah asumsi yang cukup naïf. Sebuah media massa tentu tidak mungkin mengorbankan kredibilitasnya hanya dengan merekayasa sebuah pernyataan. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Benar-benar konyol jika sebuah media mau merusak susu kredibilitas sebelanga dengan nila rekayasa pernyataan yang cuma setitik.

Perkembangan teknologi informasi juga memungkinkan kita sebagai publik untuk memverifikasi tayangan berita TV Australia ini. Bagi yang berlangganan TV Kabel mungkin melihat secara langsung berita tersebut. Atau bagi yang sering browsing dapat mendownload berita tersebut via internet. Pemirsa yang setia dengan televisi swasta kita juga dapat menikmatinya dalam berita-berita yang mereka tayangkan. Semuanya jelas sekali memperlihatkan bahwa ketua KNKT memang mengeluarkan statemen tersebut?

Lalu mengapa dia mengeluarkan bantahan yang demikian keras? Mungkin saja ini terkait dengan status informasi yang dia sampaikan. Hasil penyelidikan KNKT atas sebuah kecelakaan transportasi dapat digolongkan sebagai informasi yang tidak bisa dibuka pada publik. Bila ketua KNKT membuka informasi itu maka dia melakukan sebuah pelanggaran. Makanya dia mati-matian membuat bantahan.

Jika memang ketua KNKT yakin dia tidak mengeluarkan pernyataan itu. Artinya, TV Australia melakukan rekayasa, dia dapat membuktikannya lewat mekanisme ombudsman media. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan apakah berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.

Bila Ketua KNKT menempuh cara ini dapat saja menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, akan memulihkan kredibilitasnya seandainya dalam pemeriksaan ombudsman, TV Australia terbukti melakukan rekayasa. Tapi sebaliknya, akan mempermalukan dirinya andai pernyataan itu benar adanya.

Cangkem Turahe Faisol
UK, 2 April 2007
2.00 dinihari
Membunuh aktu ketika nggak bisa tidur