Friday, May 30, 2008

Mahasiswa: Bermain Cantiklah

Media nampaknya sudah “disetir” oleh penguasa dalam pemberitaan media. Mahasiswa harus lebih berhati-hati dan bermain cantik dalam melakukan aksi. Jika ada aksi yang dapat digunakan untuk “menembak” aksi mahasiswa, pasti akan diblow up habis-habisan. Dua contoh nyata telah terpampang. Pertama, adegan penganiayaan polisi di Universitas Moestopo. Kedua, adegan penghadangan mobil plat merah yang di dalamnya ada anak kecil.

Mahasiswa jangan sampai memberikan kesempatan kepada media untuk menembak aksimu. Jika demikian, tentu mahasiswa akan dapat “mempermalukan” media dengan telak. Apalagi jika mahasswa mampu merancang aksi yang begitu kreatif. Mungkin mahasiswa perlu untuk cooling down, tapi bukan untuk tiarap melainkan mempersiapkan diri untuk aksi yang lebih massif dan kreatif.

Liputan 6 SCTV Terkena Amnesia Sejarah

Penguasa tampaknya sudah berhasil membangun kolaborasi yang harmonis dengan pemodal untuk menyetir pemberitaan.Termasuk Liputan 6 SCTV. Di sini kekecewaanku lebih besar dibandingkan terhadap ANTV. ANTV jelas dimiliki oleh Aburizal Bakrie, sehingga mudah mengetahui kemana keberpihakannya. Tapi Liputan 6 SCTV pernah memiliki prestasi dalam reformasi 1998 dengan melawan tekanan pemiliknya yang keluarga Cendana. Aku pun memilih Liputan 6 sebagai tempat penelitian skripsi. Aku merasa tak berlebihan untuk mengatakan Liputan 6 SCTV adalah barometer independensi media di Indonesia. Media lain boleh tidak independen, tapi tidak dengan Liputan 6.

Tapi, keyakinanku tentang Liputan 6 luntur karena berita-beritanya seputar kenaikan BBM. Liputan 6 Petang, Rabu 28 Mei 2008 memberitakan tentang sopir angkot yang melakukan pemogokan. Memang peristiwanya demikian. Tapi Liputan 6 menggambarkan bahwa sopir angkot yang mogok telah mengakibakan penumpang terlantar. Benar demikian. Tapi, Liputan 6 melupakan pertanyaan kenapa sopir angkot sampai mogok menuntut kenaikan tarif.

Liputan 6 mengkonstruksikan bagaimana sopir angkot adalah pihak yang egois, mau memang sendiri, tak peduli dengan penumpang dan hanya mau untung sendiri. Tapi Liputan 6 tidak pernah menyebutkan ini sebagai akibat kenaikan BBM. Apalagi menggambarkan bagaimana beratnya beban para sopir angkot itu. Lebih jauh lagi menggambarkan betapa berat beban yang harus ditanggung masyarakat kecil akibat kebijakan kenaikan harga BBM.

Liputan 6 juga semakin tersetir ketika mereka berulang kali menayangkan adegan penganiayaan terhadap polisi saat demontrasi di Universitas Moestopo. Mereka melabeli dengan mengapa demo mahasiswa begitu anarkis. Mereka tampaknya lupa ini terkait langsung dengan peristiwa UNAS. Kenapa Liputan 6 tidak memberikan porsi yang besar kepada tindakan polisi menyerbu UNAS. Apalagi menyelidiki apakah benar granat, ganja yang ditemukan di sana adalah milik mahasiswa UNAS. Bukankah sering dimuat di berbagai milis peringatan agar kita berhati-hati jika dirazia polisi. Karena, mereka bisa saja memasukkan ganja atau narkotika untuk menjerat kita. Kenapa Liputan 6 tidak mengembangkan kemungkinan itu untuk mengalihkan isu.

Sekedar mengingatkan saja, Liputan 6 pernah memiliki prestasi mengungkap kekerasan di STPDN (kini berubah menjadi IPDN). Pemerintah kebakaran jenggot saat itu. Tapi masyarakat berpihak kepada Liputan 6. Sehingga memaksa pemerintah melakukan reformasi dalam tubuh STPDN. Dimana keberanian itu sekarang? Dimana pemihakan Liputan 6 kepada rakyat. Ataukah sejarah itu telah tinggal menjadi kenangan.

Tampaknya demikian. Ketika aku mengkonfirmasi pada teman yang bekerja di SCTV, dia pun merasakan ada upaya untuk menyetir pemberitaan. Tapi sekali lagi, brain washing terhadap para jurnalis ini sudah sedemikian rupa sehingga hasilnya pun demikian dahsyatnya.

ANTV Mendiskreditkan Demo Mahasiswa

Pemerintah menaikkan harga BBM. Mahasiswa pun menggelar aksi demo menolak kebijakan tersebut. ANTV tampak sekali mengambil posisi mendiskreditkan mahasiswa. Hal ini terlihat dari framing berita ANTV. Dalam topik malam 29 Mei 2008, ANTV sangat jelas mendiskreditkan demo yang dilakukan mahasiswa. ANTV menyebut demo mahasiswa anarkis dan merugikan masyarakat banyak. Menurut ANTV seharusnya demo mahasiswa dilakukan secara tertib sehingga dapat menarik simpati rakyat.

ANTV memperkuat penggambaran itu dengan mengutip sumber berita Andi Mallarangeng yang juru bicara presiden, Habibie yang mantan presiden dan Muladi yang Ketua Lemhanas. Sumber berita dari pihak mahasiswa hanya Ketua BEM Teknik Universitas Borobudur yang dikutip saat aksi. Jelas saja, sumber berita mayoritas akan mengatakan demo boleh saja asal jangan anarkis. Bahkan Muladi menyebut mahasiswa harus mempersiapkan diri dengan konsep.

Framing demikian menunjukkan ANTV memang berusaha mendiskreditkan mahasiswa. ANTV lupa bahwa mahasiswa bukanlah politisi yang sangat memperdulikan popularitas. Mahasiswa selalu menyuarakan hati nurani rakyat. Mahasiswa tidak akan melakukan demonstrasi jika mereka tidak melihat masyarakat yang begitu menderita. Itulah mengapa mahasiswa hanya bergerak jika pemerintah sudah melakukan ”kekejaman” sedemikian rupa terhadap rakyatnya. Sejarah negeri ini menunjukkan hanya mahasiswa-lah yang bisa benar-benar murni menyuarakan aspirasi rakyat. Meski setelah itu perjuangan mereka dibajak oleh para politisi dan penguasa. Kegagalan reformasi 1998 menunjukkan bagaimana politisi telah membajak perjuangan mahasiswa.

Jadi salah besar jika Muladi menyuruh mahasiswa menyiapkan konsep. Jika mahasiswa juga yang melakukan itu, lalu apa gunanya pemerintah. Apa gunanya birokrat-birokrat yang dibiayai secara mahal menggunakan uang rakyat. Apa gunanya ada Lemhanas yang sekarang dia pimpin. Mahasiswa berfungsi sebagai early warning system yang memberikan alarm bahwa kebijakan pemerintah telah menyengsarakan rakyat.

Keberpihakan ANTV semakin kental dengan penggabungan isu pemberian dana kompensasi kenaikan BBM bagi mahasiswa. ANTV menyebutkan pemerintah telah berniat baik dengan kebijakan BKM itu. ANTV memang memberikan tempat kepada sikap Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang menolak kebijakan BKM ini dan menuntut pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan 20%. Tapi ANTV menutup berita dengan pertanyaan ”Pemerintah telah berniat baik, sekarang terserah kepada mahasiswa untuk menghentikan aksinya atau tidak”.

ANTV sengaja ingin mengkonstruksi cerita bahwa jika mahasiswa masih melakukan aksi berarti bukan salah pemerintah lagi. Mahasiswalah yang tidak bisa diajak berdialog, yang ”ndableg” karena tidak melihat niat baik pemerintah ini. ANTV lupa bahwa pemerintah tidak pernah berniat baik memenuhi perintah konstitusi menyediakan anggaran pendidikan 20 %. Jika selama ini pemerintah beralasan tidak memiliki anggaran yang cukup, kenapa sekarang tiba-tiba memiliki uang unuk "disebarkan" begitu saja kepada mahasiswa?

Latar kepemilikan ANTV yang dikuasai oleh Aburizal Bakrie tampaknya menguatkan kenapa ANTV mengambil posisi demikian. Aburizal Bakrie adalah pejabat yang berada dalam pusaran kebijakan kenaikan harga BBM. Redaksi ANTV pasti akan membantah asumsi ini. Mereka pasti terusik jika dikatakan tidak independen. Tapi framing berita ANTV mengatakan demikian. Bukankah berita merupakan cerminan politik sebuah media?

Habis Cangkem Turah” Terbitlah ”Jangan Pernah Percaya Media”

Come backnya blog ini aku tandai dengan menghilangnya tagline ”Cangkem Turah”. ku perlu merasa melakukan perubahan karena tulisan-tulisan dalam blog ini bukanlah sekedar ungkapanku, tulisanku atau celotehanku yang tidak berguna. Melainkan, sikap dan tanggung jawab moralku sebagai orang yang pernah belajar ilmu komunikasi.

Maka blog ini sekarang memiliki title ”Jangan Pernah Percaya Media”. Pelajaran penting yang selalu kuingat dari bangku kuliah adalah perlunya kita untuk selalu mengkritisi media. Jangan pernah sekali-sekali memberikan kepercayaan penuh pada media. Mereka akan dengan mudah mengkhianati kita untuk menghamba kepada pemilik, pemodal, pengiklan dan tentu saja penguasa.

Ada Apa Dengan Media

Sudah setahun blog ini tidak aku up date lagi. Terus-terang aku jenuh dengan kehidupan media di Indonesia. Mereka menjadi contoh gambaran kehidupan media yang tidak ideal berdasarkan teori yang telah aku pelajari saat kuliah dulu. Aku merasa tidak ada gunanya untuk menulis blog ini. Toh, media sudah terlalu berkuasa untuk memperhatikan penonton seperti aku ini.

Tapi, Amien Rais telah menyadarkanku melalui bukunya “Selamatkan Indonesia”. Beliau mengatakan, "mungkin banyak yang tidak sepakat dengan saya. Mungkin banyak yang mencibir apa yang saya tulis dalam buku ini. Tapi yang jelas saya telah menunaikan kewajiban pribadi untuk selalu menyuarakan apa yang kuanggap sebuah kebenaran."

Aku pun demikian. Sebagai orang yang beruntung mengenyam pendidikan ilmu komunikasi (di UGM lagi), aku memiliki kewajiban moral untuk menulis apa yang aku ketahui tentang kehidupan media. Blog adalah sarana yang kumiliki untuk menuangkan sikapku ini.

Berita soal kenaikan BBM, sekali lagi menunjukkan bagaimana media di Indonesia menunjukkan keberpihakan pada penguasa. Kini, media menghantam gerakan mahasiswa. Dalam blog ini aku ingin mengatakan betapa media telah berlaku tidak adil kepada mahasiswa. Media menggunakan ”kekuatannya” untuk menganiaya kelompok yang menjadi suara hati nurani rakyat. Seperti orang bersenjata memukuli orang yang tak bersenjata sama sekali. Betapa tak adilnya.