Friday, June 22, 2007

Ketika Bob Woodward di Indonesia (2)


IPDN yang Tak Pernah Jera


Woodward sudah menetapkan diri untuk tetap di Indonesia meskipun tugasnya menelisik dana DKP sudah selesai. Dia tergelitik dengan kondisi jurnalistik Indonesia yang katanya tidak mampu mengungkap sebuah peristiwa seterang-terangnya. Dalam kasus dana DKP dia menemukan bagaimana media sudah begitu rupa membuka kasus itu, tapi tidak ada “greget” pemerintah dan masyarakat untuk menuntaskannya.

Kemarin, dia tertarik dengan sebuah berita penganiayaan Praja IPDN oleh pengasuhnya sendiri. Akibat penganiayaan itu, Yogi, sang praja IPDN harus mengalami luka-luka di matanya. Bahkan dia harus menjalani operasi untuk itu. Woodward tertarik dengan judul berita yang dia lihat “IPDN yang Tidak Pernah Jera”. Insting jurnalistiknya segera bekerja. Berarti, lembaga ini sudah memiliki kasus serupa sebelumnya. Jika tidak kenapa dia disebut-sebut tidak pernah jera. Lagipula kenapa bisa sebuah lembaga kok dibiarkan melakukan kasus yang sama berkali-kali? Apakah media massa di Indonesia tidak pernah membuka kasus tersebut?

Bagi orang Indonesia seperti kita pertanyan-pertanyaan itu sudah sangat lazim. Saking biasanya, kita tidak pernah berpikir untuk menanyakan itu. Kalau IPDN melakukan kekerasan, ya itulah memang watak IPDN. Tapi apakah benar media massa tidak pernah membuka kasus ini? Lalu kenapa jika media massa sudah membukanya, tidak pernah ada perbaikan di lembaga itu sehingga kasus-kasus yang sama terus terulang lagi?

Setelah “searching” di internet, Woodward semakin bingung lagi. Kini dia menemukan bagaimana dia menemukan media telah berhasil menyingkap kasus kekerasan yang ada di IPDN. Bahkan, kasus IPDN akan meledak jika sudah berhasil diungkap media massa. Woodward menemukan, kasus IPDN pertama kali meledak tahun 2003. Saat itu, SCTV berhasil mendapatkan video rekaman kegiatan kekerasan di sekolah yang saat itu masih bernama STPDN. Kebetulan waktunya bertepatan dengan kematian salah satu siswa di sana yang bernama Wahyu Hidayat.

Saat kematian Wahyu Hidayat, tampaknya ada seseorang yang mengirimkan video itu ke SCTV. Mungkin orang itu terinspirasi kisahnya dalam film “All Presidents Men”. Dengan mengirim video itu, dia ingin memerankan diri sebagai “Deep Throat” yang membimbing media agar membuka kekerasan di sana.

Woodward termangu sejenak. Dia merasakan kemiripan kisah SCTV membuka kasus IPDN 2003 dengan kasusnya yang melegenda itu. Perasaan besar kepala sejenak menyelinap di relung hatinya. Oo, rupanya yang telah aku lakukan menginspirasi banyak orang di dunia. Aku sudah menjadi mitos dengan “deep throat”ku. Terlintas dalam pikirannya,sosok Mark Felt yang baru mengaku dialah “Deep Throat” itu.

Memang, sah-sah saja jika Woodward mau mengklaim demikian. Toh, penelitian terbarunya World Bank juga mengatakan demikian. Riset itu menemukan, kasus-kasus korupsi hanya akan terungkap dari kelompok-kelompok yang sakit hati. Mark Felt kan sakit hati gara-gara Nixon tidak mengangkatnya sebagai Kepala FBI menggantikan Hoover. Apa yang terjadi jika Mark Felt diangkat oleh Nixon? Apakah muncul legenda Watergate itu? Apa mungkin Woodward dan kawannya, Barnstein menjadi mitos seperti sekarang?

Ah, Woodward tersadar dari lamunannya. Efek keputusan SCTV menayangkan video itu cukup menggemparkan. Masyarakat mengeluarkan seluruh sumpah serapahnya untuk STPDN. Sampai-sampai alumni sekolah itu yang menjadi pegawai pemerintah menjadi bahan olok-olokan. Mereka semua harus menanggung beban sebagai pelaku kekerasan. Pemerintah sendiri terpaksa menutup STPDN selama setahun dan menggabungkannya dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Pejabat STPDN pun berganti.

Insting jurnalistik Woodward kembali bertanya. Mengapa yang harus bertanggungjawab hanya pejabat STPDN saja? Apakah ini tidak berkaitan dengan manajemen Departemen Dalam Negeri (pengelola STPDN) keseluruhan? Mengapa media tidak memeriksa keterkaitan kasus itu dengan keterlibatan Mendagri? Apakah pejabat STPDN saat itu sudah dinyatakan bersalah?

Woodward kembali menemukan ledakan saat kasus Cliff Muntu. Kini namanya sudah berubah menjadi IPDN. Rupanya ada missink link di sini. Pasca kematian Wahyu Hidayat, STPDN ditutup dan digabungkan dengan IIP. Lalu kenapa berubah menjadi IPDN? Apa dasar pejabat Depdagri merubah STPDN menjadi IPDN? Bagaimana mengatasai kasus sebelumnya? Kenapa media massa tidak meributkan hal itu?

Ingatan Woodward melayang pada jeda 18,5 menit dari rekaman pembicaraan Nixon. Jeda yang sampai sekarang belum terungkap, tapi berhasil menggiring Nixon untuk mengundurkan diri. Jeda waktu IPDN mungkin tidak akan terungkap jika kematian praja Clif Muntu tidak terbuka.

Kembali pola penyelesaian lama terulang. Masyarakat mengecam habis sekolah ini. Pejabatnya pun kembali berganti. Ada sedikit yang berbeda. Polisi menjadikan mantan Rektor IPDN dan pejabat IPDN menjadi tersangka. Mereka dituduh berusaha menutupi kasus kematian Clif Muntu dengan membuat skenario siswa ini meninggal karena sakit.

Woodward menemukan sosok Inu Kencana. Jika 2003, SCTV menjadi TV yang mendapat video secara eksklusif. Kini semua TV mendapatkan sumber yang sama secara terbuka pada diri Inu Kencana. Dosen IPDN ini, membuka secara blak-blakan borok sekolahnya sendiri. Dari dirinyalah terungkap fakta, praja pelaku kekerasan tidak pernah benar-benar mendapatkan hukuman. Praja-praja ini lulus dan berkarir di bidang pemerintahan. Dia pun mengungkap perilaku sex bebas di kampus itu lewat buku “STPDN Undercover”.

Woodward berpikir enak sekali media di Indonesia. Mereka tidak perlu bersusah-susah untuk mencari orang yang mau menjadi “Deep Throat”. Wartawan di Indonesia tidak perlu untuk memperhatikan tanda dari “Deep Throat”, lalu malam-malam bertemu di garasi bawah tanah dengan berganti-ganti taksi. Mereka tinggal menelusurui data yang dibuka oleh Inu Kencana.

Dia kemudian buru-buru berpikir, apa jadinya jika saat itu Mark Felt bertindak seperti Inu Kencana? Apa mungkin Watergate terungkap jika Felt membuka sendiri? Apakah kira-kira Mark Felt tidak segera dibungkam oleh Nixon dan kelompoknya? Apa mungkin dia seterkenal sekarang jika Mark Felt tidak memanfaatkan dirinya?

Woodward membandingkan dengan reaksi yang diterima oleh Inu Kencana. Dosen IPDN ini justru mendapat gugatan dari praja putri yang tidak terima dikatakan melakukan sex bebas. Inu Kencana didemo santri gara-gara di bukunya dia menyebut ada pelecehan terhadap agama Islam?

Kasihan Inu Kencana. Woodward membatin. Muncul kembali insting investigasinya. Kenapa media tidak menelusuri sinyelemen Inu Kencana? Bukankah jika media menelusuri dan ternyata tulisan Inu Kencana itu benar, tidak akan ada reaksi negatif terhadap buku Inu Kencana? Jika memang buku Inu Kencana salah, kenapa pihak IPDN harus memblokir buku itu? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan di sini? Dan jika data di buku STPDN Undercover benar, bukankah pemerintah tidak punya alasan lagi mempertahankan IPDN?

Atau Inu Kencana salah strategi. Dia harusnya mengikuti pola “Deep Throat” sehingga reaksi tidak langsung mengarah ke dirinya. Kalau demikian, berarti pola “Deep Throat” akan lestari sebagai pola investigasi.

Yang jelas, kini kekerasan terulang lagi di IPDN. Meski rektor IPDN yang sekarang sudah menjelaskan ini kasus kecelakaan biasa. Modus yang selalu disebutkan dalam kekerasan-kekerasan terdahulu.

Woodward semakin tertarik dengan Indonesia. Dia sudah menetapkan hati mengirim email lagi ke Washington untuk memperpanjang keberadaannya di Indonesia. Tokoh kita satu ini masih ingin menyelami lebih dalam lagi kisah kolega-koleganya di Indonesia.


PS: cerita ini fiksi belaka. Aku hanya ingin bermimpi apa yang kira-kira akan terjadi jika Bob Woodward datang ke Indonesia melakukan investigasi berbagai peristiwa yang ada. Nikmati, petualangan Woodward selanjutnya.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 22 Juni 2007
11.30 WIB

EN

Tuesday, June 19, 2007

Ketika Bob Woodward di Indonesia (1)

Kasus DKP yang Terang-Benderang

Kasus Dana Departemen Kelautan dan Perikanan (Dana DKP) tiba-tiba bergulir lagi. Pak Amien Rais sudah bermaafan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tidak mau membuka data yang dia miliki. Tapi ada satu koran dari Amerika yaitu Washington Post yang penasaran terus menyelidiki kasus itu. Mereka tertantang untuk membuktikan benar-tidaknya apakah Presiden SBY jujur ketika mengatakan Munawar Fuad Nuh dan Blora Center bukanlah tim suksesnya. Kedua nama tersebut disinyalir menerima Dana DKP.

Washington Post tampaknya sudah melakukan asessment sebelumnya. Mereka mendapati kenyataan persoalan Dana DKP mungkin tidak melibatkan personal presiden secara langsung. Berbeda dengan Amien Rais yang menerima secara langsung dari tangan Rokhmin Dahuri sebesar 200 juta rupiah. Jadi secara hukum pidana, susah menjerat Presiden SBY dalam kasus ini. Pengacara-pengacara yang lihai soal menafsirkan dan mengakali pasal pasti sudah menyiapkan sederet argumen untuk melepaskan presiden dari jerat hukum.

Koran Amerika itu juga tahu, kondisi hukum di Indonesia seperti ini, hampir mustahil mengajukan presiden ke muka hukum. Apalagi presiden yang masih menjabat. Wong yang sudah mantan dan sakit-sakitan saja tidak pernah bisa diadili kok. Makanya, mereka hanya berpikir membuka kasus itu seterang-terangnya sehingga masyarakat Indonesia tahu. Setelah itu, terserah masyarakat Indonesia sendiri menilainya seperti apa. Toh yang punya pemimpin, orang Indonesia sendiri.

Washington Post nampaknya penasaran dengan sinyalemen bahwa berbagai peristiwa di Indonesia yang tidak pernah jelas. Tak tanggung-tanggung, mereka menerjunkan wartawannya Bob Woodward yang berpengalaman membuka kasus Watergate dengan bantuan “Deep Throat”. Sebagai tes case, Bob Woodward hanya sendirian. Dia tidak ditemani Carl Bernstein, mitranya saat membongkar kebobrokan Presiden Nixon.

Ternyata, Woodward mendapati kasus ini kurang menantang karena sudah sedemikian terang benderang. Untuk membuktikan Presiden SBY jujur atau tidak, cukup hanya dengan membuka kliping koran atau rekaman tayangan TV sebelum dan sesudah Pemilu 2004. Dari situ dia sudah dapat melihat ternyata Presiden SBY sudah tidak jujur. Bagaimana mungkin sang presiden tidak mengakui Blora Center, sementara dia beraktivitas di sana. Woodward membaca salah satu berita yang dia kliping. Berita itu dimuat Kompas.com 23Agustus 2004. Dari berita itu jelas, SBY menggunakan Blora Center sebagai tim kampanyenya. Malah, dia melakukan teleconference segala. Woodward juga melihat berita yang dimuat Tempo Interaktif, 21 Maret 2005. Berita yang ditulis Abdul Manan itu, jelas sekali menyebut Blora Center sebagai campaign manajer-nya SBY.

Woodward, merasa apa lagi yang perlu dibuka dari kasus ini, wong datanya sudah menjadi milik masyarakat kok. Bahkan Majalah Tempo sudah memuat bagaimana hubungan Munawar Fuad Nuh dengan SBY dimana Munawar menjabat staf ahli sosial politik di Tim Sukses SBY. Demikian halnya dengan Blora Center. Justru Woodward merasa heran, mengapa SBY sedemikian beraninya tidak mengakui Munawar Fuad dan Blora Center sebagai tim suksesnya.

Dia akhirnya juga mempertanyakan, apa betul surat kabar di Indonesia tidak mampu memberikan informasi yang menyeluruh tentang suatu peristiwa, seperti yang dituduhkan dalam posting di blog ini. Bukankah surat kabar sudah menunjukkan bagaimana Presiden SBY tidak jujur ketika membantah sinyalemen Amien Rais. Woodward juga yakin masyarakat tahu, kalau presidennya saat konferensi pers itu tidak jujur. Lalu mengapa media masih dituduh tidak terang? Kenapa juga masyarakat hanya diam ketika tahu Presidennya tidak jujur? Apakah ini gaya orang Indonesia menyelesaikan masalahnya? Gaya penyelesaian “Tahu Sama Tahu”.

Di tengah kebingungannya, Woodward teringat salah satu tulisan di Majalah Time saat membahas poligami di Indonesia. Majalah itu menyebutkan perempuan di Indonesia secara hukum tidak bisa menolak poligami. Salah satu sebabnya adalah banyaknya hukum yang berlaku di Indonesia. Selain hukum positif, hukum adat dan hukum agama juga begitu kuat mengatur kehidupan masyarakat. Bahkan dalam realitasnya hukum adat dan hukum agama jauh lebih kuat ketimbang hukum positif.

Time melanjutkan, tapi jangan berkesimpulan perempuan Indonesia tidak berdaya dan pasrah dengan kondisi itu. Perempuan Indonesia ternyata punya cara sendiri melawan poligami. Mereka menyerang sisi lain dari pelaku poligami. Terutama jika poligami dilakukan tokoh-tokoh terkenal. Aa’ Gym misalnya diserang dari sisi ekonomi. Jamaah Aa’ Gym berkurang drastis. Penampilannya di TV pun jauh menurun. Bahkan di infotainment disebutkan, beberapa unit bisnis Aa’ Gym merumahkan karyawannya.

Woodward berpikir lagi, apakah orang Indonesia punya cara sendiri menghukum presidennya yang telah berbohong. Jangan-jangan seperti inilah pola relasi media dan masyarakat versi Indonesia. Masyarakat tidak pernah meributkan sesuatu yang masih belum jelas benar dihadapannya, meski media sudah mencoba membuka itu seterang mungkin.

Dalam bahasa agamanya, masyarakat masih menganggap ketidakjujuran pemimpin masih dalam kategori samar-samar. Lebih baik mereka menjauhinya. Masyarakat akan ribut ketika media menampilkan perilaku politisi yang jelas-jelas melanggar moral dan etika. Kayak Yahya Zaini ketika video mesumnya bersama Maria Eva beredar. Masyarakat menghukum Yahya Zaini secara sosial hingga dia terpaksa turun dari seluruh jabatannya.

Woodward merasa pusing dalam perjumpaan pertamanya di Indonesia. Dia merasa harus menyusun lagi kerangka berpikirnya soal hubungan media dan masyarakat. Hubungan yang khas Indonesia. Sebagai seorang jurnalis, Woodward merasa tertantang untuk menemukan jawabannya. Itulah mengapa dia mengirim email ke Washington untuk terus di Jakarta.

PS: cerita ini fiksi belaka. Aku hanya ingin bermimpi apa yang kira-kira akan terjadi jika Bob Woodward datang ke Indonesia melakukan investigasi berbagai peristiwa yang ada. Nikmati, petualangan Woodward selanjutnya.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 19 Juni 2007
16.45 WIB

EN


Monday, June 11, 2007

Sunyinya Perjuangan Wong Cilik (2)

Mungkinkah PR Berpihak Pada Wong Cilik?

“Seorang iblis pun dapat mereka poles menjadi seorang malaikat, minimal iblis yang separo malaikat”

Ungkapan itu pertama kali diucapkan oleh tetangga baruku untuki menggambarkan kedahsyatan profesinya. Tampaknya dia ingin tetangganya yang sekarang tahu bahwa profesi yang dia jalankan bukanlah main-main. Memang, ketika pertama kali dia menjelaskan pekerjaannya sebagai seorang Public Relations (PR), beberapa orang langsung terbayang dengan pekerjaan kliping Koran, menemani tamu, mengatur tetek bengek protokoler bosnya.

Dia sendiri tidak menyalahkan semua yang dbayangkan orang-orang tersebut. Menurutnya itulah realitas image orang tentang PR. Dan lagi, sebagian besar perusahaan di Indonesia masih memperkerjakan PR-nya seperti itu. Padahal secara teori PR jauh lebih besar dari itu.

Menurutnya PR merupakan sebuah fungsi manajerial yang berguna untuk memberikan pemahaman tentang kebijakan yang diambil kepada khalayak. PR lah yang akan menentukan reputasi sebuah organisasi atau seorang public figure di mata publik. PR yang baik mampu membangun reputasi organisasi sehingga ketika ada persoalan yang menimpa organisasi, publik tidak serta-merta memberikan label negatif. PR ibaratnya harus melakukan segala macam cara untuk menjamin bagusnya pandangan masyarakat terhadap organisasi. Ya, seperti ungkapan di awal tulisan ini, PR harus mampu merubah iblis agar terlihat seperti malaikat.

Memang kalau dipikir-pikir dahsyat betul pekerjaan seorang PR itu. Mereka harus selau siap menjaga image organisasi dalam kondisi apapun. Ooo, itu ternyata alasan Panglima TNI segera menyatakan permintaan maaf kepada masyarakat segera sesudah peristiwa penembakan oleh Marinir di Pasuruan. Itupun masih disertai catatan reformasi TNI tercemar oleh peristiwa ini. Padahal saat itu Komandan Marinir bersikukuh anak buahnya hanya membela diri.

Panglima TNI tampaknya tahu, pembelaan sekeras apapun akan percuma. Publik pasti akan berpihak pada korban tak bersenjata. Lebih baik dia meminta maaf dulu untuk meredakan kemarahan publik. Baru setelah itu TNI akan berusaha mendesakkan kebenaran kejadian mereka versi mereka lewat media massa. Entah berhasil atau tidak, sekarang marinir pelaku penembakan itu malah menggugat masyarakat yang dia tembaki dengan alasan melakukan penganiayaan.

Mungkin PR juga yang memberi masukan pada Presiden SBY untuk menggelar konferensi pers menanggapi tuduhan Amien Rais. Presiden SBY, menganggap tuduhan Amien Rais bahwa dirinya ikut menerima dana korupsinya Rokhmin Dahuri sebagai sebuah fitnah yang kejam. Mungkin pertimbangan PR pula yang mendorong Presiden SBY tidak mengakui Blora Center dan Munawar Fuad Nuh sebagai tim suksesnya.

Aku bergumam rendah, “untuk kasus ini, PR SBY tampaknya telah berbuat bkunder”. Aku mengacu pada pemberitaan media yang justru menjadikan SBY sebagai bulan-bulanan. SBY malah terkesan defensif dan menutupi kesalahan. Tindakan tidak mengakui Blora Center sebagai tim sukses dapat menjadi bumerang. Jika kita rajin membuka kliping koran 2004, kita dengan mudah tahu lembaga ini adalah pendukung SBY nomor wahid.

Memang, tak berlebihan ungkapan tetanggaku soal PR ini. Tapi aku pikir PR ini kok hanya loyal pada organisasi atau orang yang membayarnya. Kalau meminjam slogan partainya Gus Dur, PR “maju tak gentar membela yang bayar”. Siapapun orangnya jika mampu bayar PR maka dia akan bisa memoles diri seperti yang diinginkan. Jika demikian, mungkinkah rakyat kecil dapat menggunakan jasa PR untuk membantunya menguasai opini publik?

Jika menilik penjelasan tadi, PR nampaknya berada di tengah-tengah antara organisasi dan masyarakat. PR harus menjadi jembatan yang menghubungkan organisasi dengan masyarakat. Tapi mungkinkah itu terjadi? Bisakah PR TNI memihak pada kepentingan masyarakat Alas Telogo meski itu akan mengorbankan marinir? Atau jika dihadapkan pada dua pilihan, kepentingan masyarakat dan kepentingan organisasi, ke arah mana pendulum PR bergerak?

Hanya PR lah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi aku belum menemukan contoh PR yang mengorbankan kepentingan organisasinya demi kepentingan masyarakat. Apalagi kepentingan masyarakat kecil. Entah kalau memang ada.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
17.30 WIB
AF

Sunyinya Perjuangan Wong Cilik

Wong Cilik Mengimpikan Media


“13 anggota Marinir yang menembak warga Alas Tlogo melaporkan masyarakat Alas Tlogo karena melakukan penganiayaan terhadap 13 marinir tersebut.” Berita TV pagi iitu langsung menarik perhatianku. Aneh, aku tidak nyinyir seperti biasanya jika melihat berita yang aku anggap menarik. Aku diam saja. Sepertinya ada yang aneh dengan berita tersebut.

Aku mematikan TV untuk mengerjakan aktivitas lainnya. Tapi, pikiranku tetap tertuju pada berita itu. Sangat jelas terngiang di telingaku “13 anggota Marinir yang menembak warga Alas Tlogo melaporkan masyarakat Alas Tlogo karena melakukan penganiayaan terhadap 13 marinir tersebut.”Tentara yang menembak masyarakat kini melaporkan masyarakat dengan tuduhan melakukan penganiayaan terhadap tentara tersebut.

Mungkin itu bukan sesuatu yang aneh, tapi jelas nalarku tidak mampu menangkap logika berita tersebut. 13 anggota marinir yang menembak kini melaporkan warga yang ditembakinya dengan alasan penganiayaan. Ah, semakin pusing kepalaku ketika mencari logika berita tersebut. Apa mungkin ini yang disebut sebagai tindakan marinir membela diri itu? Artinya, masyarakat-lah yang melakukan penyerangan. Kalau begitu mariner-marinir itu tidak bersalah dong? Jika memang marinir itu tidak bersalah, kenapa mereka justru ditahan? Apabila marinir itu benar hanya membela diri, mengapa justru masyarakat yang menjadi korban?

Pikiranku terus menerawang ke berita itu. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti pikiranku semakin banyak. Mengapa berita seperti itu dapat muncul di media massa? Mengapa aku sebagai penonton selalu dijejali informasi kasus Pasuruan itu dari versinya tentara? Malam sebelumnya, pengacara marinir-marinir itu telah berbusa-busa menjelaskan teori marinir membela diri. Jika ada sumber informasi yang bertentangan dengan teorinya tentara, media pasti menyuguhkan anggota DPR atau aktivis LSM ke hadapanku. Lalu dimana masyarakat yang langsung mengalami peristiwa itu? Kenapa masyarakat yang dilaporkan melakukan penganiayaan terhadap marinir-marinir tidak pernah disuguhkan kepada kita selaku penikmat media?

Aku teringat dengan penjelasan dosenku saat kuliah dulu. Dengan lancarnya dia membicarakan bagaimana media massa (TV adalah media massa) menjadi arena untuk membangun kebenaran. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Yang ada adalah konstruksi atas kebenaran itu. Media massa menjadi arena yang empuk untuk membangun kebenaran sesuai versi masing-masing. Biasanya, orang yang berkuasalah yang mampu menciptakan kebenaran sesuai versinya. Mereka punya kemampuan lebih untuk masuk ke media massa.

Aku ingat sekali penjelasan itu. Aku pun masih bisa menceritakan lanjutan dari penjelasan itu. Kekalahan masyarakat kecil (wong cilik) bermula dari ketidakmampuannya memperoleh akses menceritakan kebenaran versinya lewat media. Media sendiri jarang sekali yang menyediakan kapling bagi wong cilik untuk bersuara. Kapling arena media sudah habis untuk pemerintah, politisi, pengusaha, selebritis maupun aktivis LSM. Maka jika ada urusan kayak kasus Pasuruan itu, warga Alas Tlogo cukuplah diwakili DPR atau aktivis LSM itu. Habis perkara.

Aku tersenyum mengingat penjelasan dosenku itu. Kini aku baru tahu logika apa yang mendasari pemuatan berita marinir melaporkan warga Alas Telogo. Media pasti dengan senang hati memberi kapling bagi penguasa-penguasa itu menceritakan kebenaran versinya sendiri. Ya, itulah logikanya.

Bukan hanya itu, aku juga menyadari kenapa berita-berita soal Pemilihan Gubenrnur DKI hanya berisi calon-calon yang akan bertanding, tim sukses, partai politik atau pengamat politik. Media memanggungkan mereka untuk sekedar adu balap siapa yang akan memenangkan pemilihan gubernur itu. Omong kosong dengan kemacetan yang melanda Jakarta, persetan dengan banjir yang setiap lima tahun datang menerjang, terserah masyarakat mampu makan atau tidak.

Keningku kemdian berkerut memikirkan semua ini. Betapa susah menjadi wong cilik. Kebutuhan sehari-hari semakin sulit dipenuhi. Makan, sekolah, membuthkan uang yang tidak sedikit. Kini untuk bersuara pun mereka tidak diperbolehkan. Media, alat yang memungkinkan suara mereka terdengar tidak menyediakan tempat sedikit pun bagi mereka. Ah, celaka betul kehidupan wong cilik itu.

Tampaknya benar apa yang kupikirkan selama ini. Wong cilik tidak boleh menggantungkan diri pada media-media itu. Jika mereka melakukannya sama artinya mereka menggantungkan nasib pada politisi, selebritis, atau tokoh-tokoh LSM. Sampai kapanpun wong cilik itu hanya akan berharap orang lain yang menyuarakan keinginan mereka. Ironis kan?

Ya, memang cukup ironis. Tapi lebih ironis lagi diriku. Ketika sudah berpikir sampai di sini, aku tidak tahu solusi apa agar wong cilik bisa bersuara. Apa iya mereka harus bikin media sendiri? Memang ada peluang mendirikan media komunitas. Apakah itu solusi yang tepat? Media komunitas memiliki jangkauan terbatas pada areal tempat tinggal won cilik itu sendiri. Nanti semboyannya jadi dari wong cilik, untuk wong cilik dan didengar wong cilik. La, kapan penggede-penggede itu mendegarkan suara mereka? Entahlah, mungkin media hanya menjadi impian bagi wong cilik.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
11.25 WIB
AF

Surat Untuk Presiden SBY

Dimana Pesonamu Dulu?

Bapak Presiden Yth,
Salam hormat untukmu Pak Presiden. Ijinkanlah wargamu ini menumpahkan uneg-uneg buatmu. Uneg-uneg yang menggumpal di dadaku beberapa minggu ini jika melihat berita media massa tentangmu.

Presiden SBY Yth,
Dua minggu ini kau telah menjadi bulan-bulanan media massa. Mulai dari konferensi pers-mu ketika “menyerang” Amien Rais yang kau anggap memfitnahmu hingga polemikmu soal interpelasi DPR.

Pak SBY,
Aku ingin memanggilmu demikian biar ada keakraban antara rakyat dengan presidennya. Aku tidak tahu apakah kau merasa media massa telah menjadikanmu sasaran tembak dua bulan ini? Entah kau merasa atau tidak. Aku justru ingin bertanya padamu, strategi komunikasi apa yang dimainkan tim komunikasimu hingga membuatmu seperti ini? Taktik komunikasi apa yang kau mainkan haingga kau begitu suka bersilat lidah, menari-nari diantara prosedur hukum?

Pak SBY,
Itulah yang aku rasakan jika melihat konferensi pers soal Amien Rais dan interpelasi DPR. Saat menyerang Amien Rais kau menyatakan Blora Center dan Munawar Fuad Noeh bukanlah tim suksesmu saat pemilihan presiden 2004 lalu. Secara hukum kau benar Pak Presiden. Mereka tidak pernah terdaftar di KPU. Soal interpelasi pun demiakian. Kau hanya sibuk membahas boleh tidaknya jawabanmu disampaikan pembantumuatau tidak.Secara hukum pun kau juga benar, sebab tata tertib DPR memungkinkan jawabanmu diwakili.

Mr President,
Apakah kau cukup hanya benar secara prosedur hukum? Apakah kau menganggap rakyatmu begitu bodoh taka tahu substansi persoalan yangkau sampaikan? Kau salah Mr. President. Rakyatmu tahu siapa Blora Center dan Munawar Fuad Nuh. Terlebih membuka berita pemilu 2004 sekarang semudah membalik telapak tangan dengan pertolongan Mr. Google. Kau telah menanam bibit kebohongan. Aku tidak tahu apakah itu akan kau tuai saat Pemilu 2009 nanti.

Mr. President,
Terus terang aku heran dengan perubahan sikapmu itu. Dulu, kau begitu menawan media sehingga mereka berlomba-lomba menjadikanmu sebagai orang paling pantas memimpin negeri ini. Aku kagum dengan tim komunikasimu yang mampu menyulapmu sebagai sosok yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. Saat Darurat Militer di Aceh kau tampil ke depan melebihi presidenmu sendiri. Rakyat pun terkagum-kagum dan mengatakan inilah pemimpinku.

Pak SBY,
Tapi kini, kau begitu mudahnya mengelakdari kritik hanya dengan berlindung prosedur hukum tanpa menyentuh substansi persoalan. Kau telah begitu tega mengorbankan tim suksesmu hanya gara-gara kau tidak mau bertanggungjawab atas perbuatan yang mereka lakukan. Padahal mereka berbuat itu untuk menyokongmu. Lalu dimana karaktermu sebagai pemimpin yang menonjol menjelang 2004 yang lalu? Jangan-jangan benar kata orang, kau hanya tebar pesona.

Pak SBY,
Juru bicaramu, Andi Mallarangeng selalu mengajak PDI-P untuk tidak menerapkan standar ganda soal interpelasi. Rupanya melalui juru bicaramu itu, kau ingin berpesan Megawati pernah menyuruhmu mewakili menjawab interpelasi DPR. Aku jadi heran, kenapa kau kok cengeng dan suka merajuk seperti itu. Kalau kau ingin diperlakukan sama dengan Megawati, lalu apa bedanya kau dengan pendahulumu itu. Dimana letak keunggulanmu dibanding Megawati sehingga rakyat tidak salah memilihmu 2004 yang lalu? Di sini aku jadi berpikir jangan-jangan Taufik Kiemas benar ketika menyebutmu Jenderal Taman Kanak-Kanak?

Mr. President,
Kau boleh berbangga, survey orang kepercayaanmu masih menempatkan kau sebagai calon presiden terkuat dalam pemilu 2009 nanti. Tapi aku juga ingin mengingatkan perlawanan kepadamu semakin keras. DPR yang biasanya kau jinakkan, kini telah berani menolak kedatangan tujuh pembantumu. Media yang dulu menjadi penyokong utamamu kini telah menjadaikanmu bulan-bulanan sebulan terakhir ini.

Pak SBY,
Perbaikilah komunikasimu dengan media. Mereka telah “enjoy” menghajarmu. Ingat, media lah yang telah mengangkatmu jadi presiden. Jika mereka telah menghajarmu, rakyatmu pun akan berpikiran lain. Pak Presiden, rakyatmu sampai saat ini menjadikan media sebagai sumber informasi utama.

Pak SBY,
Itulah uneg-unegku, terserah kau dengar apa tidak.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
7.45 WIB
AF

Monday, June 4, 2007

Cangkem Turah Pasuruan

Sunyinya Perjuangan Rakyat Kecil

Geram, pedih, tak berdaya. Perasaan itulah yang aku rasakan saat mendengar berita penembakan warga Desa Alas Tlogo Pasuruan oleh pasukan marinir Angkatan Laut. Geram jika mengingat bagaimana peluru yang dibeli dengan uang rakyat ditembakkan kembali pada rakyat. Nampaknya tentara-tentara itu sengaja memplesetkan arti demokrasi yang dari rakyat untuk rakyat, menjadi peluru dari rakyat harus diperuntukkan bagi rakyat. Penghinaan besar untuk negeri yang katanya sedang reformasi ini. Aku hanya bisa diam menyimak adegan penembakan yang kebetulan direkam video amatir dan disebarluaskan lewat media TV.

Hatiku semakin pedih jika mengingat kembali track record pasukan marinir di masa lalu. Ingatanku kembali melayang peristiwa dahsyat 9 tahun silam, sebuah peristiwa yang membelokkan sejarah negeri ini. Waktu itu, 1998 aku baru saja lulus SMA dan mempersiapkan diri mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Saat itulah, masyarakat meluapkan kemarahannya dengan demo besar-besaran. Tentara yang berada di bawah ketiak penguasa tentu saja membela majikannya bersikap represif pada masyarakat. Ternyata ada sekelompok tentara yang memilih memihak pada masyarakat dan “melindungi” mahasiswa yang sedang berdemo. Konon, tindakan simpatik marinir inilah sal;ah satu penyebab kenapa pergantian kekuasaan 1998 tidak “seberdarah” yang dibayangkan. Kini, jika pasukan yang dekat dengan rakyat saja sudah tega menembaki rakyat kecil tak berdaya, siapa lagi yang bisa disebut sebagai tentara rakyat?

Lebih celaka lagi, marinir berbuat brutal seperti itu hanya karena membela kepentingan pengusaha, PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT-RNI). Biadaaaabbb, jerit hatiku. Apa sih kelebihan perusahaan itu sehingga nyawa masyarakat Alas Tlogo begitu murahnya? Apa tentara-tentara itu tidak berpikir bahwa mereka hanya dijadikan alat oleh pengusaha sehingga dia lupa dengan akarnya dari rakyat kecil? Tapi di Indonesia memang jamak terjadi perselingkuhan pengusaha dan tentara.

Aku semakin diam mendengar berita TV. Diam, tak dapat berbuat apa-apa. Perasaan tak berdaya semakin kuat menyergap dan menguasai diriku. Apa yang bisa dilakukan kepada tentara-tentara yang telah berbuat biadab itu? Paling, orang-orang hanya bisa berteriak atau mengumpat dalam hati saja. Kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi di negeri ini dan semuanya lenyap dalam kegelapan misteri. Masyarakat Alas Tlogo memang sempat melawan dengan memblokir jalan utama Pantura Jatim. Tapi itu pun hanya sebentar. Mungkin sebentar lagi kasus ini pun akan menguap seperti kejadian yang dulu-dulu.

Kenapa kamu pesimis seperti itu? Bukankah tidak ada penindasan yang langgeng di dunia ini? Apa kamu tidak ingat bagaimana kuatnya Soeharto saat itu, toh bisa runtuh juga. Apalagi serkedar marinir atau PT Rajawali? Hatiku berdebat panjang. Memang benar, Soeharto yang kuat saja bisa turun dengan demo rakyat. Tapi kan, kasus-kasus yang melibatkannya tidak pernah bisa diusut dengan tuntas. Apa benar kebrutalam marinir ini bisa diselesaikan dengan tuntas sehingga tidak terulang lagi di masa mendatang?
Rasa-rasanya sikap pesimisku itu benar adanya. Media massa yang menjadi arena utama pembentukan opini publik juga tidak serta-merta memihak kepada rakyat Alas Telogo. Aku sadar, media massa memang memiliki kekuasaan untuk ”berbicara dengan publik”. Mereka punya kemampuan untuk menentukan agenda mana yang menjadi perhatian publik. Dan mereka juga punya kuasa ikut bermain menentukan wacana mana yang dominan menggiring opini publik.

Aku hanya bisa berharap media memanfaatkan kekuasaannya untuk mengabdi pada kebenaran. Jurnalis Amerika, Bill Kovach menuliskan sembilan elemen jurnalisme yang salah satunya menyebutkan media hanya berpihak pada kebenaran. Dalam posisi yang tidak seimbang seperti marinir dan RNI melawan rakyat Alas Telogo, kebenaran menurutku adalah memihak rakyat tak berdaya.

Ya, media harus memihak rakyat kecil. Kalau media tidak mau berpihak, siapa lagi yang akan menemani rakyat kecil? Tekanan hidup sudah menghimpit mereka. Sumber daya apa lagi yang dapat mereka andalkan dalam memperjuangkan haknya bil;a tidak mengandalkan media?

Tidak, media tidak semudah itu untuk berpihak. Mereka juga punya mitos cover both side. Media tidak boleh hanya memberitakan dari versi rakyat Alas Telogo saja. Versi marinir pun harus didengarkan. Bahkan jika perlu RNI pun harus didengarkan omongannya. Jika tidak media akan jatuh pada penghakiman oleh media “trial by the press”. Aku terngiang ucapa dosenku saat kualiah dulu. Mitos-mitos tentang media yang harus kuhapalkan untuk kutulis lagi di lembar-lembar ujian demi sebuah nilai A dan IP di atas 3. Ah, mitos sekolah lebih lucu lagi. Meraih nilai bagus yang menjadi standar keberhasilan pendidikan ternyata tidak seserius yang dibayangkan. Aneh, jika mengingat betapa bangganya Wapres Jusuf Kalla dengan standar Ujian Nasional. Saudagar satu ini seakan tidak tahu kondisi sekolah di Indonesia seperti apa.

Bukankah dosenku dulu juga mengajarkan bahwa media massa tidak memberikan kesempatan yang sama untuk masuk mendapatkan pemberitaan media? Ada teknik-teknik tertentu yang mampu menarik media agar menulis berita sesuai dengan kepentingan seseorang atau suatu kelompok. Aku kemudian teringat dengan konsep spin doctor, yang mampu mengarahkan opini atas suatu peristiwa. Iya, bukankah dalam PR ada spesifikasi media relations yang khusus menangani hubungan dengan media.

Siapa yang punya akses ke media dialah yang akan menguasai opini publik. Ooo, itu to kenapa pihak TNI AL khususnya komandan marinir berbusa-busa menjelaskan kronologi tragedi Alas Telogo versi mereka. Mereka berusaha sejak awal ingin mendesakkan cerita Pasuruan sesuai skenario mereka. Marinir membela diri, rakyat kecil yang menjadi penyebab. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi tersangka.

Syukurlah, skenario itu tampaknya tidak sepenuhnya berhasil. Media tidak mudah untuk mereka kadali. Cerita versi rakyat kecil pun masih sesekali menyeruak, meski yang dominan tetap saja penguasa-penguasa itu. DPR, Panglima TNI, KSAL, Komandan Marinir, Komnas HAM selalu menghiasi pemberitaan media. Sementara Misnatin dan rekan-rekannya yang menjadi korban hanya sesekali muncul di media. Itu pun melengkapi kunjungan Jusuf Kalla yang sedang tebar pesona. Apesmu rakyat kecil.

Hatiku semakin kecut melihat berita-berita itu. Perjuangan rakyat kecil semakin sunyi saja. Tidak ada gegap-gempita silang pendapat berita media. Aku jadi ingat kenapa aku dulu menamakan tagline blog-ku ini ”sunyi dalam ramai”. Rasa sunyi itu tiba-tiba menguasai hatiku ketika ingin mengakhiri celotehanku ini.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Juni 2007
19.15 WIB
TS

Suratku Untuk Bung Karno

Dimana Pancasilamu Kini Berada?

Bung Karno yang terhormat,
Aku tahu, kau pasti tidak mengenaliku. Tapi aku sedikit mengenalmu. Aku tahu katanya kaulah yang mendirikan negara ini. Katanya pidatomulah yang menggetarkan hati rakyat Indonesia sehingga mau kau ajak untuk melawan Belanda. Padahal rakyatmu hanya punya bambu runcing, sedangkan Belanda punya senapan dan meriam. Suaramu pula yang telah menyentuh hati seorang pencopet seperti Nagabonar mau berjuang membela tanah airnya. Katanya, kenekatanmu bersama Bung Hatta memproklamasikan negara ini telah menjadikanmu Bapak Bangsa ini.

Bung Karno Bapakku,
Boleh kan aku memanggilmu seperti itu? Meski aku sadar tidak punya hubungan biologis seperti putra-putrimu. Tidak juga punya hubungan ideologis seperti anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kau dirikan, atau pengurus PDI Perjuangan yang dipimpin salah seorang putrimu Megawati. Juga bukan aktivis partai beraliran nasionalis yang selalu mengklaim sebagai pewaris ideologimu. Tapi, aku tiba-tiba harus terlahir sebagai anak bangsa yang telah kau lahirkan. Maka aku merasa berhak menganggapmu sebagai seorang bapak dan mengadu kepadamu.

Bung Karno,
Aku ingin mengadukan hilangnya Pancasila yang telah engkau lahirkan 1 Juni, 62 tahun yang lalu. Sebuah dasar negara yang kau wariskan pada bangsa ini sebagai pedoman untuk membangun peradaban. Aku tahu, kau sadar betapa primitifnya peradaban bangsa ini sehingga kau menganggap tidak bisa membiarkan mereka hidup dengan menggali budaya-nya sendiri. Aku tahu engkau juga sadar betapa malsnya bangsamu berpikir sehingga kau harus merumuskan lima hal yang harus diwujudkan agar negara yang baru kau lahirkan memberikan ksejahteraan kepada rakyatnya dan kemaslahatan bagi dunia.

Bung,
Tapi lihatlah dari kuburmu apa yang terjadi sekarang. Lima sila yang kau lahirkan kini hanya menjadi slogan kosong belaka. Aku memang hafal betul dengan lima sila itu. Bagaimana tidak? Sejak SD hingga kuliah aku harus menghafalkannya minimal setiap senin ketika upacara bendera. Tapi aku selalu bingung ketika harus mencarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Bung,
Aku hafal di luar kepala kalau sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Aku tidak percaya kalau kau menginginkan Ketuhanan yang individual seperti ini. Tidak ada dari Bangsa ini yang tidak punya Tuhan. Tapi kenapa ketidakjujuran menjadi budaya bangsa? Bung, negerimu yang kamu lahirkan selalu menduduki posisi 10 besar negeri terkorup di dunia. Walaupun negerimu ini punya orang yang bergelar haji paling banyak dunia. Meski negaramu ini punya tempat ibadah paling banyak di dunia. Biarpun, bangsamu ini punya hari raya keagamaan yang harus diperingati paling banyak di dunia. Bahkan, kau pasti akan menangis jika melihat kenyataan anak-anakmu yang mencoba berbuat jujur justru dianggap mencemarkan nama baik. Kau tidak percaya? Tanyalah pada anggota Komunitas Air Mata Guru di Medan sana.

Bung Karno,
Kau menuliskan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tapi lihatlah kemanusiaan macam apa yang dipertontokan oleh “anak-anakmu” sekarang? Bangsa ini sekarang sudah terkenal sebagai bangsa yang mudah berbuat kekerasan terhadap saudaranya yang lain dengan dalih agama, suku dan segala macamnya. Bahkan tentara yang sudah dibelikan senjata oleh rakyat tega menembaki orang yang telah membiayainya. Itulah yang sekarang dipertontonkan Marinir di Pasuruan sana.

Bung,
Persatuan Indonesia yang kau impikan sehingga kamu tulis menjadi sila ketiga kini hanya menjadi impian belaka. Bentuk negara mu memang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi kau jangan senang dulu Bung, tidak ada orang yang bangga menjadi Bangsa Indonesia seperti cita-sitamu melakukan “nation building”. Mereka lebih bangga menjadi Bangsa Jawa, Bangsa Aceh, Bangsa Melayu dan sebagainya. Kalau boleh meminjam istilah-nya Ben Anderson, Bangsa Indonesia hanyalah imajinasimu belaka.

Bung Karno,
Sila keempat Pancasila berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Bung, ini sila yang paling susah kuhafal. Sila ini juga yang paling aku tidak tahu wujudnya dalam kehidupan nyata. Entah apa yang kau bayangkan ketika merumuskan sila ini. Apakah kau menyuruh bangsamu selalu mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan? Atau apakah kau menginginkan rakyatmu tidak saling menindas dalam perbedaan? Apapun, yang jelas sekarang negaramu ini mempraktekkan namanya dominasi yang kuat atas yang lemah. Yang mayoritas menindas yang minoritas. Yang sedikit “mengkadali” yang banyak.

Bung,
Untuk sila kelima aku taku menceritakannya karena akan membuatmu tambah sedih. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sekarang telah menjadi kosakata yang hilang dari bahasa sehari-hari.

Bung Karno,
Aku tidak tahu ini membuatmu tambah sedih atau tidak. Tapi aku tidak tahu kepada siapa aku harus mengadu kalau tidak padamu. Kalau kau menangis setelah membaca ini, menangislah. Yang pasti, inilah negara yang telah kamu lahirkan.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Juni 2007
11.00 WIB
TS

Thursday, May 31, 2007

Duka Pasuruan

Mengapa Rakyat Selalu Menjadi Korban?

Darah kembali tumpah dari moncong senjata tentara
Rakyat Pasuruan yang menuntut haknya harus meregang nyawa
Entah apa yang bisa membenarkan tindakan-tindakan mereka.

Cukupkah alasan membela diri dan menjaga lahannya sebagai kata yang membenarkan?
Mengapa hanya rakyat yang bisa menjadi korban? Apakah ini sudah takdir karenahidupnya sebagai rakyat jelata, bukan seorang pengusaha?
Entahlah, tapi aku ingin menunjukkan dukaku untuk Rakyat Pasuruan.

Itu saja

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 31 Mei 2007
12.00
Simpati Bagi Rakyat Pasuruan

Monday, May 28, 2007

Ketika Presiden SBY Marah Sama Amien Rais

Presiden Kok Marah Sama Rakyatnya?

Seperti suasana di pedesaan Jawa pada umumnya, kehidupan malam di Desa Tanjung berpusat di dua tempat, masjid dan warung. Penyebutan dua tempat itu bukan dalam arti berlawanan, warung tempat orang yang tidak mau ke masjid atau sebaliknya. Dua tempat itu justru melengkapi. Orang berkumpul di warung setelah mereka menunaikan ibadah Sholat Isya’. Bahkan tak jarang mereka baru datang ke warung lama setelah ngobrol ba’da isya’ di masjid. Jam ramainya warung pun jadi tak tentu, kadang jam delapan, kadang jam sembilan,bahkan jam sepuluh. Penyebutan yang mudah, pokoknya warung ramai setelah isya’.

Gambaran kehidupan Desa Tanjung di atas berbeda dengan tipologi klasiknya Clifford Gertz. Ketika meneliti kehidupan di Mojokutho (banyak menyebut yang diteliti sebenarnya adalah Pare, Kediri), Geertz membagi masyarakat menjadi kaum santri dan abangan. Tipologi ini menyiratkan adanya pertentangan antara masjid dan warung. Masjid sebagai representasi kaum santri dan warung sebagai representasi kaum abangan. Tapi di desa Tanjung, kaum santri dan abangan lebur di masjid dan warung. Sulit sekali membedakan masyarakat Tanjung menjadi kaum santri dan abangan.

Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di masjid denyut kehidupan masih terasa dengan banyaknya jamaah yang masih ngobrol. Padahal sholat Isya’ sudah mereka tunaikan satu jam yang lalu. Cak Pa’i, tokoh kita itu juga tak ketinggalan berada di antara jamaah itu. Dia tampak asyik ngobrol dengan Gus Isol, Kang Kamdi, Lek Djarot dan Pak Guru Wanto.

“Wah, kasus Pak Amien tampaknya semakin seru Gus. Pak Presiden SBY tampaknya betul-betul marah dengan Pak Amien. Dia sampe mengadakan konferensi pers khusus untuk menanggapi tudingan Pak Amien soal dana kampanye dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Seluruh TV meliput acara itu secara langsung”, kata Cak Pa’i.

Belum sempat Gus Isol menjawab, Kang Kamdi sudah menambahkan,”Nggih Gus, sampe Koran Tempo (Koran Tempo, 26 Mei 2007) menghitung ada 13 kali Pak SBY menyebut nama Pak Amien. Wajahnya pun kayak orang menahan marah.”

“La itu, satu lagi bukti bahwa kita sebenarnya tidak memiliki budaya kejujuran. Kasus itu tidak dibuktikan malah berkelahi sendiri. Kalau memang Pak SBY tidak menerima dana DKP ya buktikan saja kalau memang tidak menerima. Nggak perlu marah-marah ke Pak Amien. Gampang to?”, jawab Gus Isol ringan.

“Iya Gus. Sekarang isunya malah melebar tudingan Presiden SBY bahwa Pak Amien sudah memfitnah dirinya. Malah ada kata naudzubillah hi mindzalik segala. Nanti habis ini Pak Amien jumpa pers juga untuk menanggapi pernyataan presiden. Nanti presiden ganti nanggapi lagi. Lama-lama kan kita nggak tahu yang benar yang mana”, tambah Pak Guru Wanto.

“Terus gimana Gus?”, tanya Lek Djarot.
“Ini sebenarnya momentum bagus untuk membangun budaya kejujuran di negeri kita ini. Sekarang kesempatan meminta pemimpin-pemimpin kita membuktikan kejujurannya. Pak Amien sudah mengakui “kesalahannya”, ya sekarang tinggal melihat bagaimana pertanggungjawabannya secara hukum. Untuk capres-cawapres yang membantah ya tinggal suruh membuktikan saja mereka benar-benar tidak menerima”, jawab Gus Isol bijak.

“Kalau dalam asas hukum itu namanya pembuktian terbalik. Indonesia memang tidak menganut itu. Tapi dalam kasus ini karena ada capres yang membantah padahal pembukuan di DKP sudah jelas ya merekalah yang harus membuktikan. Memang itu tidak wajib bagi mereka. Namun ini terkait dengan kredibilitas dan track record mereka nantinya. Jika mereka nanti maju pilpres 2009dan kasus ini belum clear kan yang rugi mereka sendiri. Rakyat pasti akan mencatat tingkah laku mereka sekarang”, tambah Gus Isol.

Cak Pa’i menimpali komentar Gus Isol itu dengan menambahkan,”Leres Gus, ketimbang marah-marah sama Pak Amien, mending Pak SBY itu membuktikan kala dirinya bersih di sini. Saya kok agak risih presiden kok marah-marah sama rakyatnya. Kesannya Presiden SBY itu anti kritik.”

“Mungkin dia merasa difitnah itu Cak. Kan sebelumnya dia juga diam tidak pernah menanggapi”, jawab Pak Guru Wanto. Pak Guru kita ini rupanya simpatisan Presiden SBY meski tidak pernah resmi menjadi tim sukses ketaika pilpres 2004 lalu.

Kalau di elit politik, Pak Guru Wanto ini mungkin seperti Imam Ad Daruqutni atau Munawar Fuad Nuh. Dua orangnya SBY yang menerima dana DKP tapi tidak diakui sebagai tim sukses Presiden SBY.

“Kalau menurutku memang percuma juga Presiden SBY marah-marah dengan Pak Amien. Masyarakat kan juga bisa mikir ngapain marah-marah kalau memang dia tidak merasa berbuat. Biasanya orang yang marah ketika dituduh malah menunjukkan tuduhan itu benar. Pak SBY tinggal membuktikan saja kalau dirinya benar-benar tidak menerima dana DKP”, Cak Kamdi memberikan pendapatnya.

“Bener Ndi. Kalau dari sisi strategi komunikasi Presiden SBY sudah terjebak permainannya Pak Amien. Sekarang kalau Pak Amien membalas jumpa pers presiden dengan membuka bukti-bukti kalau Pak SBY menerima dana DKP kan berabe. Sekarang posisi Pak SBY kan jadi defensif. Bola permainan ada di tangan Pak Amien, dia mau nembak, mau oper, mau nahan terserah Pak Amien”, analisis Cak Pa’i.

“Wah analisismu sudah kayak Effendi Gazali pakar komunikasi politik itu”, sindiri lek Djarot.

“Betul kan Gus?” Cak Pa’i seakan minta dukungan Gus Isol.

“Mungkin juga betul, mungkin juga tidak. May be yes may be no kalo kata iklannya. Yang jelas Pak SBY sekarang harus membuktikan pada seluruh masyarakat dirinya benar-benar tidak menerima dana DKP. Jika tidak bisa membuktikan, hukuman masyarakat lebih kejam daripada hukuman negara. Kalau masyarakat sudah nggak percaya, Pak SBY dapat saja tidak terpilih lagi kalau maju pilpres 2009. Tapi yang aneh, kemarin Pak jusuf Kalla kok tidak mendampingi Pak SBY ya?” Gus Isol melempar tanya.

“Emang kenapa Gus?”, tanya lek Djarot.

“Kasus ini kan bukan Pak Sby sebagai presiden. Tapi pasangan capres-cawapres SBY-JK”, jelas Gus Isol sambil berdiri.

“Iya Gus, kok aneh ya?”, tambah Cak Pa’i ikut-ikutan berdiri.

Obrolan mereka pun bubar dengan meninggalkan pertanyaan yang tidak terjawab.

Cangkem Turahe Faisol
UK, 26 Mei 2006
11.30 WIB

Thursday, May 24, 2007

Heboh Pernyataan Amien Rais

Kejujuran atau Keluguankah?


Tidak seperti biasanya, Cak Pa’i nampak tak sabar ingin membuka majelis reboan ba’da pengajian rutin yang disampaikan Gus Isol. Kelihatannya dia memendam sesuatu yang ingin segera didiskusikan dengan jamaah lainnya. Begitu Gus Isol menutup ceremahnya, Cak Pa’i sudah melingkar dengan Kang Dul, Pak Guru Wanto dan yang lainnya. Gus Isol pun ikut nimbrung tak lam kemudian.

“Wah Gus, milih tema pengajiannya kok pas sekali dengan berita ayang sedang aktual di media. Soal kejujuran kan sedang heboh gara-gara pernyataan Pak Amien Rais yang mengakui kalau dirinya menerima dana dari Rokhmin Dahuri sebesar 200 juta rupiah. Kayaknya malam ini sengaja milih tema itu ya Gus”, Cak Pa’i membuka obrolan.

“Iyo Cak, aku memang sengaja milih tema itu karena baru sadar ternyata namanya kejujuran tidak pernah menjadi budaya bangsa kita. La wong Pak Amien Rais ngakui kalau dia nerima dana dari Rokhmin yang ternyata dari Departemen Kelautan dan Perikanan kita semua jadi kaget. Itu kan membuktikan kalau kita semua ini tidak pernah jujur kan?”, jawab Gus Isol.

“Leres Gus, kedahe kita memberikan apresiasi kepada Pak Amien yang mau mengakui kesalahannya. Beliau kan sudah bilang kalau khilaf dan siap untuk dihukum”, tambah Kang Dul.

“Iki tambah siji meneh bukti yen kejujuran tidak pernah menjadi budaya kita. Ada orang jujur kita apresiasi. Artinya kan kita itu tidak pernah mengetahui ada orang jujur di negeri ini. Kita beranggapan semuanya hanya bohong belaka. Makanya ketika ada satu yang blak-blakan apa adanya kita berebut mengapresiasinya. Seakan-akan baru pertama kali ini ada orang jujur diantara kita”, Gus Isol menukas.

“Kalau diantara politisi kan emang gitu Gus. Image politisi itu kan identik dengan kebohongan di negara kita. Lengkap dengan pernyataan dunia politik itu kotor. Iwan Fals menambahkan kalau politik itu kejam. Ini ada politisi kok ngomong apa adanya. Masyarakat kan harusnya mengapresiasi”, Kang Khamid ikut nimbrung.

“Kampanye..kampanye...kampanye”, celetuk jamaah yang lain.

Kang Khamid memang menjadi tim suksesnya Pak Amien saat pemilihan presiden 2004 lalu. Pantas saja jamaah lain menganggapnya kampanye mempromosikan Pak Amien.

“Ini satu lagi bukti kalau kejujuran tidak pernah menjadi budaya kita. Dunia politik yang menurut Arendt harusnya menjadi tempat kita membicarakan persoalan bersama ternyata diisi dengan kebohongan. Pasti dunia politik kita juga mengijinkan adanya penipuan, penikaman, manipulasi dan sederet perbuatan tidak baik lainnya”, Gus Isol menjawab.

Mantap juga kyai kita satu ini. Tidak mau kalah dengan mahasiswa dia mengutip Hannah Arendt, filsuf perempuan dari Jerman. Arendt memang membagi dunia menjadi dunia politik dan dunia ekonomi. Politik harus menjadi ruang bersama dimana muncul sikap saling menghargai satu sama lain dilandasi oleh kejujuran dan kebaikan bersama. Sementara dunia ekonomi merupakan dunia privat yang mengijinkan kita “melampiaskan nafsu kebinatangan kita” termasuk menyakiti orang lain. Menumpuk harta menjadi diijinkan karenatermasuk ranah pribadi kita.

“Iya Gus, wong ada sebagian orang yang menganggap Pak Amien itu lugu. Wong yang lain semua membantah, kok malah dia sendiri yang mengakui”, cetus Pak Guru Wanto.

“Itulah Pak Guru, mengapa negara kita tidak pernah bisa memberikan kebaikan kepada masyarakatnya. Ternyata selama 60 tahun negara Indonesia ada tidak pernah yang namanya dilandasi kejujuran. Padahal kalau dalam Islam, kejujuran merupakan pondasi kemanusiaan dalam kaitannya sebagai seorang manusia, bagian dari masyarakat atau menjadi warga negara. Imam Ali Bin Abi Tholib yang menantu Nabi pernah mengatakan lebih baik kamu menjadi kafir daripada menjadi orang yang tidak jujur. Kalau demikian kan, kita semua ini derajatnya lebih rendah daripada orang kafir. Iya kan? Wong budaya kita adalah budaya ketidakjujuran.” Tambah Gus Isol.

“Lalu kasus Pak Amien menurut Gus Isol bagaimana?”, Cak Pa’i meminta pendapat Gus Isol.

“Bagaimana apanya Cak?” Gus Isol balik bertanya.

“Pak Amien jujur nggak Gus?” Cak Pa’i kembali bertanya.

“Ya nggak tahu. Kalau melihat track recordnya Pak Amien sangat mungkin dia jujur. Tapi kenyataannya yang lain membantah pernah menerima dana itu meski ikut disebut namanya. Semuanya nggak jelas. Bisa saja yang menerima Cuma Pak Amien, yang lain memang tidak menerima. Atau memang hanya Pak Amien yang mau jujur, yang lain berbohong semua. Pokoknya nggak jelas lah” jawab Gus Isol.

“Kok gitu Gus. Kebenaran kan cuma satu. Kalau Pak Amien jujur ya yang lain kan bohong”, Kang Khamid ikut bingung.

“Kang, kita itu kan sumber informasinya media. Malah itu menjadi satu-satunya sumber informasi kita. Kalau kita baca koran, nonton TV, atau dengerin radio, kita bisa tahu nggak yang jujur mana, yang bohong mana. Kalau aku tidak tahu. La sekarang Pak Amien ngaku, besok SBY membantah, Jusuf Kalla malah nyalahin akuntan, Wiranto bersumpah tidak menerima, Kyai Hasyim Muzadi bilang tidak menerima. Kyai lo ini yang bilang. Terus yang benar yang mana. Apa benar semuanya. Mungkin saja. Tapi catatan Rokhmin Dahuri mereka ikut menerima.” Gus Isol menjelaskan.

“Menurut Gus Isol harus gimana?” Pak Guru Wanto ikut bertanya.

“Ya harus dibuktikan siapa yang jujur siapa yang berbohong. Masalahnya kalau dibiarkan seperti ini ya tidak menumbuhkan budaya jujur di bangsa ini. Semakin banyak pula hal yang tidak pernah di jelas di Indonesia. Pembantaian tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, Peristiwa 98, pembunuhan Munir sampai sekarang masih gelap. Jika kasus ini tidak terbuka ya lengkap sudah tidak adanya ketidakjujuran di Indonesia. Soalnya ini sudah menyangkut pemimpin”

Gus Isol kemudian manmbahkan, “aku tidak tahu caranya seperti apa. Tapi yang jelas media massa harus menginvestigasi kasus ini. Mereka harus menelusuri pendanaan calon presiden. Caranya gimana ya nggak tahu, wong aku bukan wartawan kok. Mungkin mereka bisa menelusuri data-data di Komisi Pemilihan Umum (KPU).”

“Kira-kira berhasil nggak sih Gus. Saya kok sangsi. Pasti sekarang tim sukses pemimpin itu sibuk menyembunyikan atau memoles data yang mereka punya biar kelihatan bagus”, Cak Pa’i urun rembug.

“Kepastian kan hanya milik Allah, kalau manusia ya may, may be yes may be no. Kayak iklan itu” pungkas Gus Isol.

“ha haha” Tawa mereka mengakhiri majelis dengan penuh tanda tanya.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 24 Mei 2007
4.00 WIB]
Hore AC Milan Menang

Friday, May 4, 2007

Cangkem Turahe Penonton TV

Ketika Thukul Di-Rasani

Sebuah penelitian di Amerika tentang waktu untuk menonton TV yang hanya kalah banyak dengan waktu bekerja, nampaknya berlaku di mana saja. Tak terkecuali di Desa Tanjung ini. Kegiatan menonton TV sudah menjadi kegiatan utama nomer dua sehari-hari. Nomer satunya ya bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi. Malah untuk anak-anak, waktu belajar baik di sekolah atau di rumah pun masih kalah dengan waktu untuk nonton. TV. Persis seperti penelitian di Amerika tadi. Mungkin Bu Kasur harus merubah lirik lagunya bukan lagi “bangun tidur ku terus mandi” tapi “bangun tidur ku terus nonton TV”.

Tak heran jika masyarakat desa itu, baik tua, muda maupun anak-anak sangat fasih ketika membicarakan acara TV. Mereka fasih menirukan gayanya Thukul, anak-anak sebandel Sinchan, menguasai jalan cerita sinteron Intan. Pokoknya apa yang disajikan TV pasti menempel kuat dalam ingatan mereka. Acara-acara TV pun seringkalimenjadi topic pembicaraan hangat warga Desa Tanjung. Tak peduli di masjid atau warung kopi, ada saja acara TV yang mereka bicarakan.

Tak terkecuali obrolan di warung kopi Yu Kayah malam itu. Kang Salam yang memang menjadi pelanggan tetap di sana mulai membuka obrolan. “Katanya Thukul mau ditegur sama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ya? Dengar-dengar sih dia dianggap porno melecehkan perempuan. KPI menganggap Thukul sering menggunakan kata-kata yang vulgar.”

“Masa kang. Perasaanku guyonannya Thukul biasa saja. Guyonane wong ndeso ya memang seperti itu. Kan nggak ada bedanya dengan guyonan kita ini,”Kang Triman seakan membela Thukul. Pantas saja dia nggak terima Thukul dianggap porno, lha wong Kang Triman ini penggemar berat acara Empat Mata. Tidak ada satu epidode pun yang terlewatkan olehnya. Sampe-sampe istrinya cemburu terhadap Thukul.

Pernah suatu kali ketika bertengkar istrinya menyebut Kang Triman tidak waras karena menggandrungi Thukul. “Wong orangnya jelek, ora bisa bahasa Inggris, mulutnya maju, kok bisa-bisanya digandrungi,” begitu Kang Triman menirukan kemarahan istrinya saat cerita pada tetanngganya. Yang mendengar ketawa terpingkal-pingkal sambil nanggapi, “Ya sing ora waras istrimu. Wong Thukul kok dicemburui.”

“Bagi kita guyonan seperti itu memang biasa. Dan kita pun kalau ngomongin yang agar ngeres semalaman nggak terasa berat. Makanya Thukul sekarang sangat digemari. Mungkin mereka merasa terwakili oleh Thukul. Jarang-jarang to guyonane wong ndeso bisa masuk TV. Biasane TV kan diisi dengan orang kaya, rumahnya mewah, tapi saling iri dan dengki.” Kang Salimun menyampaikan pendapatnya.

“Tapi kalau kita guyonannya kan hanya di warung. Yang mendengarkan kan hanya kita-kita sendiri. Paling Yu Kayah yang terkadang sok ikut-ikut mendengar. Kalau Thukul guyon gitu di TV. Siarannya nasional lagi. Yang nonton kan ya bukan hanya orang dewasa saja. Anak-anak juga banyak yang ikut nonton. Guyonan saru kayak gitu kan memberi pelajaran kurang baik. Istilahnya Thukul ki ora empan papan” Kang Salam mencoba menjelaskan.

Thukul tampaknya benar-benar menjadi obyek pembicaraan jamaah warung kopi-nya Yu Kayah. Tidak ada topik lain yang dibicarakan. Dengan doping Kopi BRONTOSENO, mereka tahan berdiskusi berjam-jam.

Kang Salam terus menambahkan,”Malah kemarin anak-anak SD di Surabaya melakukan demontrasi menentang gaya Thukul yang sering cium pipi artis perempuan bintang tamunya. Terbukti kan kalau anak-anak banyak yang nonton Empat Mata. Apalagi sekarang jamnya malah dimajuin lagi”

“Tapi menurutku KPI juga nggak bisa negur seenaknya, Kang Salam” bela Kang Triman seolah mengenal betul apa KPI itu.

“Seenaknya gimana. Kan memang tugas KPI salah satunya mengawasi isi tayangan TV. Kalau memang ada tayangan TV yang dianggap menyimpang dari aturannya KPI ya ditegur. Apalagi TV itu kan menggunakan barang publik yang namanya frekuensi. Jadi ya nggak bisa seenaknya dia menayangkan acara. Harus benar-benar dapat memberikan pendidikan pada masyarakat.” Kang Salam menerangkan lebih lanjut.

“Kalau memang begitu seharusnya KPI juga menegur sinetron yang hanya menonjolkan kemewahan dan mimpi. Juga sinetron religius yang justru menyesatkan. Masak ada kuburan penuh ular. Wajarlah di dalam tanah banyak ularnya. Atau acara kuis-kuis yang yang bikin orang malas bekerja saja. Aku cari uang setengah mati aja susah dapatnya, ini cuma ketawa-ketiwi udah dapat uang jutaan rupiah.” cerocos Kang Triman.

Kang Triman nampaknya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia terus menumpahkan uneg-unegnya tanpa bisa disela, “Tayangan-tayangan itu kan tidak menunjukkan kepekaan terhadap masyarakat bawah kayak kita ini. Bayangin saja, kita tiap hari disuruh lihat rumah mewah, konflik diantara orang-orang kaya. Pendidikan macam apa itu. Apa kita dididik untuk bersikap culas dan licik untuk mencapai tujuan. Trus apa iya kita disuruh ngiler lihat mewahnya kehidupan orang-orang itu.”

“Terus sekarang ketika kita merasa terwakili oleh Thukul, sekarang KPI menegurnya. Jelas saja kita sakit hati. Yang bilang Thukul porno dan vulgar kan orang-orang kota. Kita orang-orang desa kan nggak pernah nganggap Thukul itu porno. Toh semuanya ha ha hi hi. Buktinya masyarakat suka. Kenapa kita yang tiap hari disuguhi budaya mimpi yang tidak mendidik tidak pernah mempermasalahkan, sekarang mereka mempermasalahkan guyonan “ndeso” ini.” gerundel Kang Triman.

“Sik to Man. Kok kamu malah melebar orang kota dan orang desa ini gimana. Ini masalah tayangan yang dianggap porno di TV.”Kang Salimun mencoba meredam emosi Triman.

Tapi emosi Kang Triman justru semakin memuncak.”Itulah Kang Salimun. Aku melihat KPI tidak adil di sini. Kalau patokannya tayangan itu harus mendidik, tayangan TV itu apa ada yang mendidik. Ya sinetronnya, infotainment-nya, kuisnya, reality show-nya. Kenapa orang-orang kota itu tidak pernah meributkannya. Apa kita yang di desa sebenarnya senang dengan tontonan itu. Kita kan cuma nggak punya pilihan lain aja.”

“Lagipula orang kota itu kan dekat sekali dengan media massa. Sehingga keluhan mereka dimuat media dan seakan-akan keluhan masyarakat. Coba media dengerin suara kita yang di desa ini ya akan lain ceritanya.” Triman melanjutkan ocehannya.

“Tapi kamu nggak sepakat kan kalau ada tayangan TV yang tidak mendidik?” Kang Salam ingin menegaskan, sambil bangkit untuk membayar kopinya.

“Tentu Kang. Tapi ya itu tadi kriterianya jangan bias kota dan desa. Mentang-mentang Thukul mewakili wong ndeso mau ditegur. Sinetron, kuis dan reality show juga harus ditegur. Jika tidak KPI jelas hanya memihak orang kota saja.” kata Kang Triman sambil ikut bayar.

Obrolan warung kopi memang tidak harus menghasilkan kesimpulan, solusi atau kesepakatan. Tapi mereka selalu menghasilkan kejutan-kejutan. Seperti KPI memihak siapa, orang kota atau orang desa? Lalu bagaimana penonton desa terwakili oleh KPI?

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Mei 2006
19.40 WIB
(TS)

Thursday, May 3, 2007

Cangkem Turahe Wong Cilik (3)

Wong Cilik Berbicara Pendidikan

Seperti sebuah ritual, begitu Gus Isol mengakhiri ceramahnya, jemaah pengajian Desa Tanjung sudah membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Mereka asyik “berdiskusi” membunuh waktu sambil mempererat silaturahmi. Cak Pa’i juga tak ketinggalan langsung larut dalam keasyikan berdiskusi. Tokoh kita ini memang keranjingan berdiskusi. Tak tanggung-tanggung topiknya pun cukup berat untuk ukuran desa. Apalagi untuk orang sehari-hari bekerja di POM Bensin. Tapi dengan kebiasaan mengkonsumsi media massa, Cak Pa’i nggak ketinggalan informasi dibanding orang kota.
Cak Pa’i membuka obrolan, “wah hari ini Pak Guru Wanto pasti berbahagia ya. Kan sedang memperingati hari pendidikan nasional.Harinya untuk pak guru-pak guru.”

Yang disebut cuma mesam-mesem saja. Sambil tersenyum dia menanggapi,”Nggih mboten Cak. Ini kan hari pendidikan nasional bukan hari guru. Kalau hari guru, baru sampeyan cocok memberi ucapan selamat pada saya. Ini kan hari pendidikan, berarti yang memperingati bukan hanya guru tapi seluruh masyarakat Indonesia terutama yang terkait langsung dengan sektor pendidikan. Ya pemerintahnya di sini Depertamen Pendidikan, ya sekolahnya, muridnya, gurunya, orang tua siswanya, DPR nya. Pokoknya semua harusnya merayakan.”

“O o ngoten to Pak Guru. Pantesan lek nonton berita TV beritanya ada mahasiswa yang demo. Malah mau kelahi sama polisi gara-gara mahasiswa ngototnurunin bendera merah putih. Katanya prihatin pendidikan kok mahal”, timpal Kang Pangat.

“Benar Kang. Kalau di UUD 1945 kan anggaran pendidikan harusnya 20 %. Tapi pemerintah ngakunya belum mampu menyediakan. Benar nggak itu Pak Guru,” Mas Santo ikut nimbrung. Mas Santo ini orang baru di Desa Tanjung. Dia tinggal di situ gara-gara menikahi gadis desa tersebut.

“Kalau kita baca koran memang begitu Mas. Pemerintah menyatakan belum mampu menyediakan anggaran pendidikan 20 %. Tapi benar ndaknya ya wallahualam. Itu kan pernyataan wakil presiden dan meteri pendidikan yang dikutip oleh wartawan. Kenyataannya gimana ya nggak tahu. Koran sendiri juga tidak pernah menyatakan pernyataan pejabat-pejabat itu benar atau salah. Pokoknya ngambang. Kita mau percaya atau tidak juga nggak punya buktinya,” jelas Pak Guru Wanto.

“Iya , saya juga heran. Koran itu nampaknya nggak pernah ngecek kebenaran pernyataan pejabat itu. Pokoknya diberitakan aja. Harusnya kan mereka ngecek benar nggak sih omongan pejabat itu. Kalau kita kan tinggal baca aja.” cerocos Lek Pardi.

Cak Pa’i nggak mau ketinggalan urun rembug soal itu,” Tapi pejabat-pejabat juga kanya juga bebal. Kemarin aku baca di Kompas 28 April ada yang kayak gitu. Coba bayangin aja jelas-jelas guru pengawas melaporkan ada kecurangan pelaksanaan UN. Lengkap dengan bukti dan modusnya. Tapi Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan malah membantah terjadi kecurangan hanya gara-gara nggak ada laporan di berita acara ujian. Itu kan sama saja dengan nyuruh maling ijin dulu ke polisi sebelum melakukan pencurian alias nggak mungkin gitu looh.”

“Gayamu Cak kayak ABG kota aja ngucap gitu looh. Kenapa nggak sekalian capeek deh atau temennya bawang cabe deeh”, Kang Jarot sewot.

“Wah, nggak nyangka aku. Kang Jarot ternyata berjiwa muda juga. Tontonannya Extravaganza juga”, balas Cak Pa’i.

Kang Parman gatal juga ingin unjuk bicara,” Kalau koran atau TV itu mau beritain terus aku yakin pasti akan terungkap kecurangan lain pelaksanaan UN. Kayak IPDN itu. Koran dan TV beritain terus kan kematian siswanya yang dulu-dulu juga terungkap satu per satu.”

“Semoga aja seperti itu. Media nampaknya memberi perhatian besar soal pendidikan hanya saat hari pendidikan saja. Ada banyak banget persoalan pendidikan yang terungkap. Ya soal anggaran lah, soal kesejahteraan guru lah, soal kondisi gedung sekolah lah, soal kualitas pendidikan. Kita yang dari golongan pendidik merasa diperhatikan,” tutur Pak Wanto.

“Iya Pak Wanto. Sebenarnya jika media mau nyorotin soal-soal pendidikan kayaknya pemerintah akan memberi perhatian serius soal ini. Kalau guru yang ngomong pemerintah malah marah. Ingat nggak Wapres Jusuf Kalla marah-marah dengan puisinya Prof Winarno Surahmad. Saat itu kan Hari Pendidikan juga. Kalau nggak salah waktu itu di Solo deh. Dalam pusinya Professor Winarno nyebut gedung sekolah lebih buruk dari kandang ayam. Wapres menganggap puisi itu menjelekkan bangsa sendiri” celetuk Mas Santo.

“Iya coba aja. Apa wapres berani sama media” Cak Pa’i menimpali.

“May be yes may be no, wong namanya juga mencoba bisa ya bisa tidak. Iya kan?” Pak Guru Wanto menirukan iklan rokok.

Tawa orang-orang mengiringi bubarnya diskusi wong Desa Tanjung.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 3 Mei 2007
17.30
(TS)


Wednesday, May 2, 2007

Cangkem Turahe Wong Cilik (2)

Demo Buruh
Cara Wong Cilik Mencari Perhatian


Seperti suasana pedesaan lainnya, kehidupan malam di Desa Tanjung didominasi oleh kesunyian. Salah satu tempat yang masih ada denyut di kehidupan adalah warung kopi. Mungkin ini paralel dengan diskotek atau klub malam di perkotaan. Jika orang kota menyalurkan hasrat malamnya dengan clubbling, maka orang kampung menjadikan warung kopi sebagai pemuas nafsu begadang. Tapi obrolan di warung kopi ini lebih seru dibanding dengan klub malam. Bagaimana tidak, wong di klub malam lebih seru musiknya ketimbang ngobrolnya. Lebih banyak goyangnya ketimbang bicaranya.

Jika Habermas sempat bertandang ke warung kopi di Desa Tanjung ini mungkin akan memasukkan ke dalam kategori ruang publik (public sphere) yang dia idealkan. Warung kopi ini sudah memenuhi syarat ruang publik-nya Habermas. Seluruh pengunjung warung kopi dapat dengan bebas mengemukakan pendapatnya tanpa adanya larangan-larangan atau penindasan pihak lain. Bahkan di warung kopi ini mereka dapat membicarakan persoalan desanya meski terkadang tidak menemukan solusi. Hampir mirip dengan peran warung angkringan di Yogya. Banyak yang menyebut di warung sego kucing ini aktivis mahasiswa di sana merancang gerakan reformasi 1998.

Malam itu, tampak ada lima pemuda nampak asyik ngobrol sambil menikmati kopi buatan yu Kayah. Kopi yu Kayah ini memang terkenal ampuh untuk menemani begadang. Pokoknya kagak ada matinye jika sudah minum kopi ini. Mungkin Yu Kayah pake Kopi Brontoseno yang memang ces pleng mengusir kantuk.

“Berita TV kok isine demo buruh thok. Dimana-mana buruh demo. Di Jakarta, Medan, Sidoarjo, Gresik. Wis pokoke neng ngendi-ngendi buruh demo, “Yitno Senuk membuka pembicaraan.

“La wong 1 Mei ki pancen hari buruh kok Nuk. Piye to kowe ki. Wajar ae lek buruh demo merayakan hari kemenangannya. Katanya peringatan itu untuk menandai menangnya tuntutan buruh di Perancis seabad yang lalu, “jawab Puji Bogeng.

“Ning lek ra yo kudu demo to Geng. Lihat aja, wis buruhe ora kerjo, jalanan macet, yang lain banyak dirugikan. Jakarta katanya 1 Mei kemarin macet total agara-gara demo itu. “Yitno Senuk menanggapi.

“Yo ora ngono. Pedagang kaki lima malah untung yen ono demo. Dagangane luwih laris diborong sing demo” Bogeng nggak mau kalah.

“yo ora ngono” Senuk masih tidak puas.

“Yen aku kok lihat demo buruh ki kok bentuk wong cilik golek perhatian, “Adi Lembung ikut nimbrung.

“Maksudmu piye, Mbung” Bogeng semangat karena ada yang sepaham dengannya.

“Bayangno wae, kapan buruh iso mengajukan tuntutane kecuali pas hari buruh sedunia iki. Pernah nggak apa yang dituntut buruh kemarin itu menjadi agenda media. Maksude media pernah nggak menyuarakan kepentingan buruh kalau tidak menjelang 1 Mei. Ketika memberitakan pun pernah nggak media menjadikan buruh sebagai sumber berita” Adi Lembung menjelaskan berapi-api.

“Pancen nggak pernah. Buruh nggak pernah bisa bersuara di media. Ketika membicarakan nasib buruh, media selalu mencari tokoh terkenal sebagai sumber berita. Lek ora pemerintah, yo presidene, wakile, atau mentrine, pasti anggota DPR yang ngomong. Padahal orang-orang itu kan nggak pernah merasakan jadi buruh. Mana punya kepekaan akan nasib buruh” Darto Joen tiba-tiba ikut ngomong.

“Makane kuwi, demo menjadi jalan paling bagus untuk menarik perhatian pemerintah media. Ketika demo bikin macet, media pasti akan memberitakan. Apalagi TV. Media ini kan menyukai event-event yang sifatnya dramatis. Pemerintah pun pasti akan mendengarkan apa yang disuarakan buruh. Meskipun aku yakin pemerintah nanti pasti melupakannya juga. Pemerintah kan senengane mlebu kuping tengen metu kuping kiwo.”Adi Lembung menambahkan analisisnya.

“Kayaknya kalau masuk media itu harus ekstrim yo. Yen ora berprestasi apik banget, yo gawe huru-hara sing aneh banget.”sambut Wito Garu.

“ Apa kuwi Ru. Demo kok dibilang huru-hara aneh banget, “cibir Senuk.

“Ora huru-hara kepriye. Coba wae kowe dewekan moro neng istana presiden mau menyampaikan aspirasi. Pulang pasti mukamu bengkak semua dipukuli Paspampres, Garu nggak mau kalah.

“Ning politisi ki pancen pinter. Musim-musim menjelang reshuffle atau pemilu 2009, mereka sekarang jadi ramah banget dengan orang yang demo. Sutiyoso aja kemarin ikut orasi di Demo Buruh. Wakil Presiden malah menerima perwakilan buruh. Padahal tahun lalu, Sutiyoso menetapkan Jakarta siaga satu menjelang May Day. Kok iso-isone sekarang mendukung aksi buruh.”Lembung menambahkan omongan.

“Ketoke yo ngono. Wingi pas warga Perum Tanggulangin Sejahtera (TAS) yang menjadi korban lumpur Lapindo ngurug ke Jakarta, Sutiyoso ikut menjamunya. Malah presiden karo wakile rebutan nrimo perwakilan korban lumpur. Setelah wapres menerima, sejam kemudian presiden ikut-ikutan menerima. Asem, koyo cah cilik tenan pemimpine awake dewe ki.”timpal Darto.

“lek aku gampang saja. Itu media-nya yang salah. Ngapain media memberitakan hal-hal yang nggak penting kayak gitu. Politisi kan kerjaannya tebar pesona. Wajar saja tiap ada kesempatan cari muka. Salahnya media kok mau dijadikan tempat poles muka.” Jawab Garu sok menirukan Gus Pur, guru bangsa di tayangan Republik mimpi.

“Asu kok malah nyalahke media to. Media kan cuma memberitakan saja.”Senuk uring-uringan.

“Iyo, emang kowe sopo kok wani nyalahne media” Bogeng ikut menyalahkan sambil membayar kopinya.

“Emang kita nggak boleh nyalahin media?” jawab Garu ikut-ikutan berdiri membayar.

Setelah membayar kopi ke Yu Kayah, mereka bubar dengan membawa pertanyaan apakah media tidak boleh disalahkan? Apakah masyarakat kecil tidak boleh menyalahkan media?

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 2 Mei 2007
11.00 WIB
(TS)

Cangkem Turahe Wong Cilik

Wong Cilik Memandang Reshuffle


Saat pengajian reboan, merupakan saat paling ditunggu oleh masyarakat Desa Tanjung. Mengapa? Karena hanya pada saat itulah mereka dapat berkumpul dan bertemu dengan warga lainnya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi ditengah perjuangan memenuhi tuntutan ekonomi sehari-hari. Tidak hanya mendengar siraman rohani dari Gus Isol sang ulama kampung, mereka juga dapat memperbincangkan segala hal seusai acara. Bahkan yang terakhir ini lebih “hot” ketimbang pengajiannya.

Seperti malam itu. Ketika Gus Isol sudah mengakhiri ceramahnya, beberapa orang langsung membentuk majelis-majelis kecil. Salah satu yang terlihat paling ramai adalah majelisnya Cak Pa’i. Meski sehari-hari cuma pegawai pom bensin, kawan kita satu ini tidak kalah dengan pengamat politik di Jakarta dalam hal informasi. Selain rutin nonton berita TV, dia juga langganan koran dan majalah. Tak tanggung-tanggung Cak Pa’i langganan Kompas, Jawa Pos dan Majalah Tempo. Tak heran, dia selalu menjadi trend setter ketika membicarakan isu aktual.
Pada kesempatan itu, Cak Pa’i rupanya tertarik membicarakan soal rencana Presiden SBY melakukan reshuffle kabinet. Presiden memang menjanjikan akan melakukan bongkar-pasang kabinetnya awal Mei ini. Rencana yang kemudian diplesetkan menjadi may be yes may be no. Meniru iklan rokok yang cocok dengan watak presiden kita itu.

“Politisi-politisi di Jakarta sudah sibuk bermanuver untuk mendekati presiden. Tujuan mereka cuma satu, jagonya dapat duduk menjadi menteri”, Cak Pa’i membuka obrolan.

“Ojo sok tahu Cak. Bagaimana sampeyan tahu manuver politisi-politisi la wong sampeyan ki kerjaannya ngisi bensin. Kalo harga bensin naik baru aku percaya karo sampeyan Cak”, timpal Lek Sarno.

“Makane to sampeyan ki lek nonton TV jangan sinteron thok. Tontonan seperti itu nggak ada manfaatnya buat sampeyan kecuali bisa menangis atau tertawa. Kabeh kuwi dagelan lek. Sampeyan harusnya itu nonton Liputan 6 atau Seputar Indonesia. Wis pokoke berita lah. Kuwi sing bermanfaat”, Cak Pa’i menannggapi.

Lek Sarno yang petani ini memang penggemar berat sinetron. Dia sangat hafal sinetron apa yang sedang tayang di TV kita. Tetangga kita satu ini sangat fasih kalau cerita soal Intan, Wulan atau sinteron lainnya.

Cak Pa’i meneruskan perkataannya, “Dari berita TV atau koran tiap hari pasti ada itu cerita bagaimana nasib menteri anu, menteri itu. Bagaimana partai A ingin presiden mengganti menteri B. Atau politisi itu mendekati wakil presiden untuk memastikan nasib menteri yang dia dukung.”

Puji Gandhen, yang biasanya hanya diam dan asyik merokok, tertarik juga untuk bersuara. “Sik to Cak. Sampeyan kok cerita manuver menteri ini, menteri itu, politisi anu, politisi ini. Terus pentinge bagi awake dewe ki opo?” tanyanya pada Cak Pa’i.

“Pancen beritane media isinya gitu Ndhen. Nggak ada berita yang cerita masyarakat desa A tidak ingin reshuffle. Atau Presiden SBY meminta saran pedagang kaki lima untuk mengganti menteri perdagangan atau petani desa kita untuk menilai kinerja menteri pertanian. Yang ada di media cuma politisi thok. Terus gimana.”yang ditanya menjawab.

“Kalau mendengar ceritamu tadi kelihatan sekali politisi-politisi itu hanya mementingkan dirinya sendiri. Si ini ingin dapat posisi menteri itu. Si anu ingin mengamankan kawannya. Lalu siapa yang menyuarakan kepentingan kita Cak?” Kang Jarot ikut nimbrung.

“ya harusnya media yang menyuarakan Kang. Mereka kan punya tanggungjawab sosial untuk selalu mengabdi pada kepentingan masyarakat. Itu sebagai konsekuensi kemampuannya berbicara dengan banyak orang secara serempak tanpa dibatasi ruang dan waktu. Apalagi TV, wajib hukumnya melayani kepentingan masyarakat karena menggunakan gelombang frekuensi yang jumlahnya terbatas. Tapi kenyataannya media selalu menampilkan apa yang dikatakan Cak Pa’i tadi. Leres ngoten to Gus?” Pak Guru Wanto minta penguatan Gus Isol yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
“Leres Pak Guru. Harusnya memang begitu. Kata anak saya yang kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM media sekarang memang menerapkan jurnalisme omongan. Jurnalisme yang memungkinkan berita dibuat berdasar omongan pihak A kemudian dibantah pihak B. Istilah Inggrise ki talking journalism, utawa istilahe dewe yo jurnalisme cangkeman. Cilakane meneh sing nyangkem pun dipilih-dipilih. Istilahe ki media menerapkan prinsip prominence. Hanya orang-orang terkenal lah yang bisa nyangkem di media.” Gus Isol menjelaskan.

“Ngoten nggeh Gus?” Lek Sarno mencari penguatan.

“Coba deloken No, siapa saja yang bisa nyangkem di media. Pasti presiden, menteri, politisi, partai atau artis. Masyarakat pun pasti harus ada embel-embelnya pengamat atau cendekiawan. Meskipun kadang cangkemane ki yo ra mutu kae. La koyok awake dewe iki hampir mustahil bisa masuk ke media. Kowe misale. Meskipun tiap malam nonton sinetron nggak pernah dilirik karo wong media. Paling-paling carane yo kowe kudu nyopet disik terus ketangkep dan digebuki massa, mesthi kowe mlebu buser” Gus Isol menambahkan lebih lanjut.

“Ah, Gus Isol saget mawon,” jawab Lek Sarno sambil cengar-cengiri diketawain teman-temannya yang lain.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 2 Mei 2007
09.40 WIB
(TS)

Monday, April 9, 2007

Horor IPDN (2)

Bangga dengan Cangkem Turahe Media Massa:
SCTV Melampiaskan Kejengkelannya


Horor IPDN memberiku banyak sekali sesuatu yang ingin kutuliskan. Salah satunya adalah peranan media massa. Aku cukup bangga dengan apa yang telah dilakukan media massa dalam mengungkap kasus IPDN. Media massa mampu “menelanjangi”kebobrokan IPDN. Mereka tidak terpangaruh dengan setting kehumasan pihak IPDN.

Mengapa membanggakan? Media massa di Indonesia seringkali dikatakan tidak memberikan nilai tambah bagi pemirsanya. Media cetak disebut-sebut menganut “jurnalisme cangkem” atau talking journalism menurut anak yang kuliah di jurusan komunikasi. Pengertian fakta sudah berubah bagi media. Jika dulu fakta adalah sebuah peristiwa maka sekarang omongan orang yang dianggap sebagai fakta.

Media TV sami mawon. Layar kaca kita dituding hanya menayangkan acara yang tidak memberikan manfaat apa-apa. Sinetron kita dituding hanya menjual mimpi. Infotainment hanya mendatangkan budaya ghibbah atau ngrumpi. NU, ormas Islam terbesar sempat berencana mengeluarkan fatwa haram atas tayangan infotainment. Barisan Muda PAN sempat mendemo Trans TV atas tayangan sinteron Selebritis Juga Manusia yang dianggap menyinggung ketua umumnya Sutrisno Bachir.

Pendeknya, media kita hanya menyajikan cangkem turah belaka. Maka ketika media mampu mengungkap kasus IPDN kita dapat menyebut sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Media langsung memblow-up kasus ini sehingga publik tahu bahwa IPDN tidak pernah berubah. Akibatnya upaya kehumasan pihak IPDN tidak mempan untuk menggalang opini publik.

SCTV menurutku layak mendapat catatan khusus di sini. Stasiun TV ini seakan menumpahkan kekesalannya terhadap IPDN. Tahun 2003, TV ini menayangkan acara “Siksa di Balik Tembok STPDN”. Tayangan berdurasi satu jam ini memaparkan secara vulgar bentuk kekerasan yang terjadi di STPDN. Masyarakat pun terhenyak ketika melihat proses pendidikan di sekolah calon pamong praja ini. Secara tidak langsung SCTV mampu memaksa STPDN berbenah diri termasuk merubah nama menjadi IPDN.

Saat itu, SCTV bukan hanya menerima pujian. Tapi juga cacian dari pihak Depdagri dan alumni STPDN. Mendagri menuduh SCTV menyebarkan kebencian kepada STPDN. Mendagri melalui Sekjennya Siti Nurbaya melaoprkan SCTV ke Dewan Pers terkait pemberitaannya soal STPDN. Beruntunglah Dewan Pers tidak keder dengan keangkuhan Depdagri dan menyatakan pemberitaan SCTV tidak melanggar etika dan profesionalisme pemberitaan.

Kini, ketika kekerasan di sekolah itu berulang, SCTV seperti mendapat amunisi untuk bereaksi. SCTV membuat title “IPDN Belum Jera” untuk membingkai upayanya mengungkap kekerasan sistemik di sana. Sikap media ini sedikit banyak menyulitkan pihak IPDN meredam aroma kekerasan terhadap siswa menjadi sekedar aroma sakit liver.

Media sudah mampu menggiring opini perlunya perubahan fundamental sistem pendidikan IPDN. Pertanyaannya, mampukah media menuntaskannya? Tahun 2003 media menghasilkan perubahan nama. Apa yang dihasilkan media tahun 2007? Kita liat aja berita tentang horor IPDN selanjutnya.


Cangkem Turahe Faisol
UK, 9 April 2007
12.29
Lapar banget

Horor IPDN (1)

Cangkem Turah Pejabat IPDN
Plintat-Plintut Soal Kematian Siswanya


IPDN gonjang-ganjing lagi. Sekolah yang dulu bernama STPDN ini kembali menuai masalah soal kematian siswanya. Clif Muntu, siswa IPDN asal Sulawesi Utara meninggal akibat dipukuli oleh kakak angkatannya. Berarti, kasus ini menambah panjang daftar siswa meninggal di sekolah tersebut.

Nah, yang menarik dari kasus terbaru kemarin adalah upaya pejabat IPDN menutup-nutupi penyebab kematian Clif Muntu. Pertama, juru bicara IPDN dengan gagah-berani menyatakan penyebab kematian siswanya akibat penyakit lever. Untung saja media massa tidak begitu saja percaya dengan penjelesan ini. Mereka terus memblow up soal ini dengan memanfaatkan keterangan Inu Kencana, dosen yang membuka kasus kekerasan di IPDN. Polisi pun akhirnya menemukan titik terang bahwa ada unsur kekerasan dalam kasus ini.

Pihak IPDN akhirnya mengeluarkan pernyataan kedua. Kali ini Rektor IPDN I Nyoman Soemaryadi menyatakan pihaknya kecolongan atas kejadian ini. Pihak IPDN menganggap ini adalah kesalahan oknum siswa bukan kesalahan institusi. Sang rektor membuktikan anggapannya dengan memecat siswa yang dijadikan tersangka oleh polisi.

Media massa, sekali lagi tidak terkecoh oleh upaya kehumasan pihak IPDN melokalisir isu. Mereka kembali memblow-up kasus ini dengan memposisikan Clif Muntu dan siswa yang dipecat sama-sama sebagai korban. Keluarga siswa yang dipecat mulai diberi tempat untuk menyampaikan uneg-unegnya melalui media. Isu besar yang muncul pun beralih ke pertanyaan tentang system pendidikan di IPDN. Malah beberapa pihak mulai memunculkan wacana pembubaran IPDN.

Kini, pihak IPDN memunculkan upaya ketiganya dengan memberikan sanksi kepada Inu Kencana. Dosen ini dianggap terlalu “ember” membuka kasus IPDN keluar. Kini sang dosen tidak diperbolehkan mengajajar karena harus menghadapi tim pemeriksa internal Depdagri.

Aku tidak tahu sejauhmana upaya ini mampu mengalihkan isu IPDN yang sudah menggelinding kayak bola salju. Presiden SBY saja sudah berjanji untuk melakukan perubahan fundamental dalam tubuh IPDN. Semoga aja media tidak termakan dengan upaya kehumasan pihak IPDN.

Tapi yang jelas, pimpinan IPDN sudah plintat-plintut soal kasus ini. Kita kemudian dapat mempertanyakan pimpinan macam apa yang justru berusaha menutup-nutupi kekerasan yang menimpa siswanya? Apa yang mereka rasakan ketika mengatakan siswanya sakit liver padahal dia meregang nyawa akibat pukulan dan tendangannya? Ketika kemudian upaya itu gagal, mereka malah tega mengorbankan anak didiknya? Kita dapat menilai lulusan macam apa yang dihasilkan oleh pengajar yang mempunyai perilaku seperti itu. Beruntung, media kita masih tidak bosan untuk mengungkap kasus ini.


Cangkem Turahe Faisol
UK, 9 April 2007
11.02 WIB
Geregetan baca berita IPDN

Tuesday, April 3, 2007

Cangkem Turahe Ketua KNKT

Mencla-Mencle Membantah Pernyataannya Sendiri

TV Australia, Nine Network dalam berita edisi 1 April 2007 memberitakan pernyataan Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi soal penyebab kecelakaan pesawat Garuda. Menurut Tatang, ada percekcokan antara pilot dan co pilot sesaat sebelum Garuda 200 celaka 7 Maret 2007.

Sehari sesudahnya (2 April 2007), Tatang membantah telah mengeluarkan pernyataan tersebut. Pejabat kita ini beralasan soal penyebab kecelakaan adalah kerja investigator yang tentu saja hasilnya belum bisa diekspos ke publik. Bahkan dia menuduh TV Australia itu telah memelintir pernyataannya. Ketua KNKT ini berharap dapat bertemu dengan wartawan yang mewawancarainya untuk membuktikan pernyataannya.

Pejabat kita satu ini jelas menunjukkan cangkem turahe. Bagaimana mungkin dia menuduh sebuah media memelintir pernyataannya. Sementara di sisi lain dia mengakui telah diwawancarai TV Australia. Apa lagi namanya selain mencla-mencle? Memang kita dapat menuduh TV Australia sengaja merekayasa pernyataan tersebut dengan tujuan membangun opini public di negerinya? Terlebih ada beberapa pejabat kedutaan besar Australia yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.

Menurutku asumsi itu adalah asumsi yang cukup naïf. Sebuah media massa tentu tidak mungkin mengorbankan kredibilitasnya hanya dengan merekayasa sebuah pernyataan. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan dan kredibilitas. Semakin kredibel berita yang diturunkan, masyarakat akan mempercayai media yang bersangkutan. Benar-benar konyol jika sebuah media mau merusak susu kredibilitas sebelanga dengan nila rekayasa pernyataan yang cuma setitik.

Perkembangan teknologi informasi juga memungkinkan kita sebagai publik untuk memverifikasi tayangan berita TV Australia ini. Bagi yang berlangganan TV Kabel mungkin melihat secara langsung berita tersebut. Atau bagi yang sering browsing dapat mendownload berita tersebut via internet. Pemirsa yang setia dengan televisi swasta kita juga dapat menikmatinya dalam berita-berita yang mereka tayangkan. Semuanya jelas sekali memperlihatkan bahwa ketua KNKT memang mengeluarkan statemen tersebut?

Lalu mengapa dia mengeluarkan bantahan yang demikian keras? Mungkin saja ini terkait dengan status informasi yang dia sampaikan. Hasil penyelidikan KNKT atas sebuah kecelakaan transportasi dapat digolongkan sebagai informasi yang tidak bisa dibuka pada publik. Bila ketua KNKT membuka informasi itu maka dia melakukan sebuah pelanggaran. Makanya dia mati-matian membuat bantahan.

Jika memang ketua KNKT yakin dia tidak mengeluarkan pernyataan itu. Artinya, TV Australia melakukan rekayasa, dia dapat membuktikannya lewat mekanisme ombudsman media. Ombudsman media dimungkinkan untuk memeriksa seluruh catatan redaksi termasuk rekaman wawancara wartawan dengan sumber berita. Dari pemeriksaan tersebut, ombudsman dapat menentukan apakah berita yang diturunkan sebuah media benar atau tidak.

Bila Ketua KNKT menempuh cara ini dapat saja menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, akan memulihkan kredibilitasnya seandainya dalam pemeriksaan ombudsman, TV Australia terbukti melakukan rekayasa. Tapi sebaliknya, akan mempermalukan dirinya andai pernyataan itu benar adanya.

Cangkem Turahe Faisol
UK, 2 April 2007
2.00 dinihari
Membunuh aktu ketika nggak bisa tidur

Wednesday, March 28, 2007

Tentang Blog Cangkem Turah

Cangkem Turah: Bukan Sekedar Cangkeman
Tapi Salah Satu Bentuk Media Literacy


Seminggu yang lalu, tepatnya 21 Maret 2007 aku ikut diskusi tentang estetika fil Indonesia sekarang. Kebetulan salah satu pembicaranya adalah Mas Budi Ir (Budi Irawanto), dosenku di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Diskusi itu sendiri diselenggarakan di Teater Utan Kayu (TUK), Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur.

Salah satu pembicaraan yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah ketidakberdayaan penonton film di Indonesia. Jika penonton televisi, tidak suka dengan acaranya, maka dia bisa memindah ke channel lainnya. Atau jika mereka tidak puas dapat mengadu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi kalau penonton film, masuk ke gedung bioskop pun harus membeli tiket. Belum lagi harus membeli pop corn dan Coca Cola sebagai teman menikmati film. Tapi jika sudah sampe di dalam tidak ada yang bisa mereka perbuat bila fim yang diputar tidak memuaskan keinginannya. Mau nyuruh ganti filmnya tidak mungkin. Paling mungkin adalah penonton itu keluar dari gedung bioskop meski film belum habis.

Salah satu solusi alternatif yang dikembangkan adalah penonton menuliskan apresiasi atas film yang mereka tonton dalam bentuk website, blog atau milis. Cara ini dianggap sebagai bentuk keberdayaan penonton film atas dominasi industri. Menurut Mas Eric Sasono, salah satu pembicara dalam diskusi ini, pekerja film ternyata memperhatikan perbincangan tentang film mereka yang berkembang di milis atau blog. Dari sisi ini penonton dapat memberi umpan balik kepada pekerja film.

Lalu apa hubungannya dengan blog “cangkem turah” ini? Aku tertarik mengadopsi pemikiran itu dalam konteks televisi. Memang penonton televisi dapat berpindah channel atau mengadu ke KPI. Tapi publik sekali lagi tidak punya kuasa apa-apa. Jika mengadu ke KPI, mereka tidak bisa mengontrol tindakan KPI selanjutnya. Benar nggak sih KPI menindak stasiun TV yang kita adukan? Toh yang bertemu hanya pihak KPI dan stasiun TV. Sebenarnya penonton TV pun sama tidak berdayanya dengan penonton film. Maka perlu adanya sebuah upaya memberdayakan penonton TV atau dalam istilah ilmu komunikasi dikenal sebagai “media literacy”.

Dari situ aku ingin menegaskan kembali bahwa blog “Cangkem Turah” ini merupakan seabuah bentuk media literacy dimana aku ingin menunjukkan keberdayaanku sebagai konsumen. Sebagaimana telah kujelaskan dalam pengantar blog-ku ini, cangkem turah bertujuan untuk menyoroti pernyataan pejabat yang asal bunyi atau asal ngomong di media massa.

Jadi, semua yang aku tulis di sini aku maksudkan memberi umpan balik atas segala yang aku baca atau aku tonton di media massa. Dengan ini, minimal aku tidak “mbudegi” atas segala yang ditampilkan media.

Bahkan istilah “cangkem turah” yang kupakai pun bukannya tanpa alasan. Kata ini cukup kasar untuk beberapa kelompok masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak heran jika Wendra, salah satu kawan akrabku (Baca tulisan Ngisor Kepel, Area Cangkem Turah) sempat bertanya, “Sol, kok kamu kasar banget pake istilah cangkem?”. Aku menjawab, aku memang geregetan dengan pernyataan pejabat yang terkesan asal bunyi. Celakanya, media massa pun mengamini dengan memuatnya sebagai berita. Rasa jengkelku membawaku memakai “Cangkem Turah” sebagai nama blog.

Meski dilandasi kejengkelan, aku tidak berpretensi untuk memberi masukan kepada pekerja TV. Aku tidak mau berpikir sejauh itu. Jika kegelisahanku ini sampe ke sana ya syukur. Jika tidak, yang paling penting aku bisa meluapkan segala keresahan atas kepura-puraan yang ditampilkan media. Wis pokoke nyangkem. Titik.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 28 Maret 2007
9.41 WIB
Resah, jengkel, bingung. Wis pokoke mumet.

Cangkem Turahe Anggota DPR

Kisah Laptop 21 Juta Anggota DPR
Tak Selucu Laptopnya Thukul


Seminggu ini media massa telah memberi suguhan berita tentang rencana pemberian laptop kepada seluruh anggota DPR. Total ada 550 laptop yang masing-masing bernilai 21 juta rupiah akan dibagikan. Mau tidak mau, kita pasti akan membandingkan dengan Mas Thukul. Ucapan Thukul “balik maning neng laptop” telah membuat telinga masyarakat akrab dengan kata laptop. Entah mau memanfaatkan momentum atau bagaimana, sekjen DPR melansir pemberitaan bertepatan dengan ngetopnya bintang Thukul.

Kisah laptop anggota DPR ternyata tidak selucu laptop si Thukul. Jika Thukul melalui cangkem turahnya mampu “menurunkan” derajat laptop menjadi memasyarakat, anggota DPR justru “menurunkan” derajatnya sendiri. Bagaimana tidak alasan-alasan yang dikemukakan anggota DPR itu menunjukkan “cangkem turahnya”. Tak pelak, berbagai kelompok masyarakat menjadikannya sansak yang dipukul kanan dan kiri.

Anggota DPR yang setuju diberi laptop beralasan pemberian itu akan meninagkatkan kinerjanya. Orang Tulungagung akan menyebut alasan seperti ini sebagai asal njeplak atau cangkem turah. Tidak ada hubungan yang signifikan pemberian laptop dengan peningkatan kinerja anggota DPR. Pengalamanku berhubungan dengan angaagota DPR tidak menunjukkan tanda-tanda mereka membutuhkan laptop.

Pola kerja anggota DPR selama ini membuat mereka sangat bergantung kepada data yang dipasok pada mereka. Satu anggota DPR biasanya memiliki tugas rangkap. Menjadi anggota komisi, anggota pansus beberapa undang-undang, belum tugas esebagai pengurus partai. Mereka sangat mementingkan mobilitas tinggi. Seringkali mereka mengikuti rapat komisi hanya untuk sekedar bertanya lalu keluar untuk mengikuti rapat lainnya. Lalu untuk apa mereka diberi laptop. Apa untuk sekedar bahan tentengan ke sana kemari. Nggak mungkinlah, wong bawa berkas saja mereka selalu nyuruh sekretaris pribadinya.

Mungkin anggota DPR berpikiran mereka dapat menyimpan data yang mereka perlukan di laptop sehingga tinggal buka saat rapat. Kayaknya alasan ini juga waton nylekop. Selama ini anggota DPR hampir tidak punya waktu untuk melakukan riset persoalan-persoalan yang harus mereka tangani. Wakil rakyat kita ini sangat mengandalkan bahan yang dikumpulkan asistennya atau bahan loby yang diberikan pihak luar. Itupun jarang yang mereka baca. Waktu rapat pun argumen-argumen yang mereka lontarkan seringkali berasal dari fraksi balkon. Penonton sidang ini mengirimkan sms ke anggota DPR untuk dikemukakan dalam rapat. Apa masih ada gunanya laptop bagi anggota dewan yang terhormat itu? Jelas tidak.

Lalu apa yang diperlukan para wakil kita ini? Berdasar pengalamanku mereka lebih membutuhkan staf ahli. Seringkali jika bertemu anggota DPR, dia selalu mengeluhkan minimnya staf ahli yang dapat memback up permasalahan yang sangat banyak. Asisten anggota DPR yang sudah ada lebih banyak berperan sebagai sekretaris pribadi. Anggota dewan yang terhormat selalu mebandinagkan dengan koleganya di Filipina yang mendapat 4-5 staf ahli per anggota. Inilah yang membuat DPR Filipina lebih berdaya dibanding DPR RI. Jika DPR berniat memberdayakan dirinya sendiri, harusnya mereka menganggarkan keperluan staf ahli ini. Bukan malah ingin menyaingi Thukul. Mereka harus sadar diri lelucon yang mereka buat sangat tidak lucu.

Syukurlah, setelah Faisoldihantam kanan-kiri, DPR membatalkan lelucon ini. Di sini peranan media sangat besar. Seluruh media memblow-up isu ini sehingga memberi kesemapatan publik untuk ikut memberi tekanan ke DPR. Sekali lagi media memberikan contoh betapa kuatnya tekanan yang ditimbulkan dari pemberitaannya.

Kita juga dapat belajar, jika ingin menekan pemerintah dan DPR cara paling ampuh adalah merebut opini media. Memang hal ini sangat sulit tapi dengan tekanan tanpa henti ini bukan suatu hal yang mustahil.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 28 Maret 2007
8.35 WIB
Emosi liat tingkah polah anggota dewan.