Friday, June 22, 2007

Ketika Bob Woodward di Indonesia (2)


IPDN yang Tak Pernah Jera


Woodward sudah menetapkan diri untuk tetap di Indonesia meskipun tugasnya menelisik dana DKP sudah selesai. Dia tergelitik dengan kondisi jurnalistik Indonesia yang katanya tidak mampu mengungkap sebuah peristiwa seterang-terangnya. Dalam kasus dana DKP dia menemukan bagaimana media sudah begitu rupa membuka kasus itu, tapi tidak ada “greget” pemerintah dan masyarakat untuk menuntaskannya.

Kemarin, dia tertarik dengan sebuah berita penganiayaan Praja IPDN oleh pengasuhnya sendiri. Akibat penganiayaan itu, Yogi, sang praja IPDN harus mengalami luka-luka di matanya. Bahkan dia harus menjalani operasi untuk itu. Woodward tertarik dengan judul berita yang dia lihat “IPDN yang Tidak Pernah Jera”. Insting jurnalistiknya segera bekerja. Berarti, lembaga ini sudah memiliki kasus serupa sebelumnya. Jika tidak kenapa dia disebut-sebut tidak pernah jera. Lagipula kenapa bisa sebuah lembaga kok dibiarkan melakukan kasus yang sama berkali-kali? Apakah media massa di Indonesia tidak pernah membuka kasus tersebut?

Bagi orang Indonesia seperti kita pertanyan-pertanyaan itu sudah sangat lazim. Saking biasanya, kita tidak pernah berpikir untuk menanyakan itu. Kalau IPDN melakukan kekerasan, ya itulah memang watak IPDN. Tapi apakah benar media massa tidak pernah membuka kasus ini? Lalu kenapa jika media massa sudah membukanya, tidak pernah ada perbaikan di lembaga itu sehingga kasus-kasus yang sama terus terulang lagi?

Setelah “searching” di internet, Woodward semakin bingung lagi. Kini dia menemukan bagaimana dia menemukan media telah berhasil menyingkap kasus kekerasan yang ada di IPDN. Bahkan, kasus IPDN akan meledak jika sudah berhasil diungkap media massa. Woodward menemukan, kasus IPDN pertama kali meledak tahun 2003. Saat itu, SCTV berhasil mendapatkan video rekaman kegiatan kekerasan di sekolah yang saat itu masih bernama STPDN. Kebetulan waktunya bertepatan dengan kematian salah satu siswa di sana yang bernama Wahyu Hidayat.

Saat kematian Wahyu Hidayat, tampaknya ada seseorang yang mengirimkan video itu ke SCTV. Mungkin orang itu terinspirasi kisahnya dalam film “All Presidents Men”. Dengan mengirim video itu, dia ingin memerankan diri sebagai “Deep Throat” yang membimbing media agar membuka kekerasan di sana.

Woodward termangu sejenak. Dia merasakan kemiripan kisah SCTV membuka kasus IPDN 2003 dengan kasusnya yang melegenda itu. Perasaan besar kepala sejenak menyelinap di relung hatinya. Oo, rupanya yang telah aku lakukan menginspirasi banyak orang di dunia. Aku sudah menjadi mitos dengan “deep throat”ku. Terlintas dalam pikirannya,sosok Mark Felt yang baru mengaku dialah “Deep Throat” itu.

Memang, sah-sah saja jika Woodward mau mengklaim demikian. Toh, penelitian terbarunya World Bank juga mengatakan demikian. Riset itu menemukan, kasus-kasus korupsi hanya akan terungkap dari kelompok-kelompok yang sakit hati. Mark Felt kan sakit hati gara-gara Nixon tidak mengangkatnya sebagai Kepala FBI menggantikan Hoover. Apa yang terjadi jika Mark Felt diangkat oleh Nixon? Apakah muncul legenda Watergate itu? Apa mungkin Woodward dan kawannya, Barnstein menjadi mitos seperti sekarang?

Ah, Woodward tersadar dari lamunannya. Efek keputusan SCTV menayangkan video itu cukup menggemparkan. Masyarakat mengeluarkan seluruh sumpah serapahnya untuk STPDN. Sampai-sampai alumni sekolah itu yang menjadi pegawai pemerintah menjadi bahan olok-olokan. Mereka semua harus menanggung beban sebagai pelaku kekerasan. Pemerintah sendiri terpaksa menutup STPDN selama setahun dan menggabungkannya dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Pejabat STPDN pun berganti.

Insting jurnalistik Woodward kembali bertanya. Mengapa yang harus bertanggungjawab hanya pejabat STPDN saja? Apakah ini tidak berkaitan dengan manajemen Departemen Dalam Negeri (pengelola STPDN) keseluruhan? Mengapa media tidak memeriksa keterkaitan kasus itu dengan keterlibatan Mendagri? Apakah pejabat STPDN saat itu sudah dinyatakan bersalah?

Woodward kembali menemukan ledakan saat kasus Cliff Muntu. Kini namanya sudah berubah menjadi IPDN. Rupanya ada missink link di sini. Pasca kematian Wahyu Hidayat, STPDN ditutup dan digabungkan dengan IIP. Lalu kenapa berubah menjadi IPDN? Apa dasar pejabat Depdagri merubah STPDN menjadi IPDN? Bagaimana mengatasai kasus sebelumnya? Kenapa media massa tidak meributkan hal itu?

Ingatan Woodward melayang pada jeda 18,5 menit dari rekaman pembicaraan Nixon. Jeda yang sampai sekarang belum terungkap, tapi berhasil menggiring Nixon untuk mengundurkan diri. Jeda waktu IPDN mungkin tidak akan terungkap jika kematian praja Clif Muntu tidak terbuka.

Kembali pola penyelesaian lama terulang. Masyarakat mengecam habis sekolah ini. Pejabatnya pun kembali berganti. Ada sedikit yang berbeda. Polisi menjadikan mantan Rektor IPDN dan pejabat IPDN menjadi tersangka. Mereka dituduh berusaha menutupi kasus kematian Clif Muntu dengan membuat skenario siswa ini meninggal karena sakit.

Woodward menemukan sosok Inu Kencana. Jika 2003, SCTV menjadi TV yang mendapat video secara eksklusif. Kini semua TV mendapatkan sumber yang sama secara terbuka pada diri Inu Kencana. Dosen IPDN ini, membuka secara blak-blakan borok sekolahnya sendiri. Dari dirinyalah terungkap fakta, praja pelaku kekerasan tidak pernah benar-benar mendapatkan hukuman. Praja-praja ini lulus dan berkarir di bidang pemerintahan. Dia pun mengungkap perilaku sex bebas di kampus itu lewat buku “STPDN Undercover”.

Woodward berpikir enak sekali media di Indonesia. Mereka tidak perlu bersusah-susah untuk mencari orang yang mau menjadi “Deep Throat”. Wartawan di Indonesia tidak perlu untuk memperhatikan tanda dari “Deep Throat”, lalu malam-malam bertemu di garasi bawah tanah dengan berganti-ganti taksi. Mereka tinggal menelusurui data yang dibuka oleh Inu Kencana.

Dia kemudian buru-buru berpikir, apa jadinya jika saat itu Mark Felt bertindak seperti Inu Kencana? Apa mungkin Watergate terungkap jika Felt membuka sendiri? Apakah kira-kira Mark Felt tidak segera dibungkam oleh Nixon dan kelompoknya? Apa mungkin dia seterkenal sekarang jika Mark Felt tidak memanfaatkan dirinya?

Woodward membandingkan dengan reaksi yang diterima oleh Inu Kencana. Dosen IPDN ini justru mendapat gugatan dari praja putri yang tidak terima dikatakan melakukan sex bebas. Inu Kencana didemo santri gara-gara di bukunya dia menyebut ada pelecehan terhadap agama Islam?

Kasihan Inu Kencana. Woodward membatin. Muncul kembali insting investigasinya. Kenapa media tidak menelusuri sinyelemen Inu Kencana? Bukankah jika media menelusuri dan ternyata tulisan Inu Kencana itu benar, tidak akan ada reaksi negatif terhadap buku Inu Kencana? Jika memang buku Inu Kencana salah, kenapa pihak IPDN harus memblokir buku itu? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan di sini? Dan jika data di buku STPDN Undercover benar, bukankah pemerintah tidak punya alasan lagi mempertahankan IPDN?

Atau Inu Kencana salah strategi. Dia harusnya mengikuti pola “Deep Throat” sehingga reaksi tidak langsung mengarah ke dirinya. Kalau demikian, berarti pola “Deep Throat” akan lestari sebagai pola investigasi.

Yang jelas, kini kekerasan terulang lagi di IPDN. Meski rektor IPDN yang sekarang sudah menjelaskan ini kasus kecelakaan biasa. Modus yang selalu disebutkan dalam kekerasan-kekerasan terdahulu.

Woodward semakin tertarik dengan Indonesia. Dia sudah menetapkan hati mengirim email lagi ke Washington untuk memperpanjang keberadaannya di Indonesia. Tokoh kita satu ini masih ingin menyelami lebih dalam lagi kisah kolega-koleganya di Indonesia.


PS: cerita ini fiksi belaka. Aku hanya ingin bermimpi apa yang kira-kira akan terjadi jika Bob Woodward datang ke Indonesia melakukan investigasi berbagai peristiwa yang ada. Nikmati, petualangan Woodward selanjutnya.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 22 Juni 2007
11.30 WIB

EN

Tuesday, June 19, 2007

Ketika Bob Woodward di Indonesia (1)

Kasus DKP yang Terang-Benderang

Kasus Dana Departemen Kelautan dan Perikanan (Dana DKP) tiba-tiba bergulir lagi. Pak Amien Rais sudah bermaafan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan tidak mau membuka data yang dia miliki. Tapi ada satu koran dari Amerika yaitu Washington Post yang penasaran terus menyelidiki kasus itu. Mereka tertantang untuk membuktikan benar-tidaknya apakah Presiden SBY jujur ketika mengatakan Munawar Fuad Nuh dan Blora Center bukanlah tim suksesnya. Kedua nama tersebut disinyalir menerima Dana DKP.

Washington Post tampaknya sudah melakukan asessment sebelumnya. Mereka mendapati kenyataan persoalan Dana DKP mungkin tidak melibatkan personal presiden secara langsung. Berbeda dengan Amien Rais yang menerima secara langsung dari tangan Rokhmin Dahuri sebesar 200 juta rupiah. Jadi secara hukum pidana, susah menjerat Presiden SBY dalam kasus ini. Pengacara-pengacara yang lihai soal menafsirkan dan mengakali pasal pasti sudah menyiapkan sederet argumen untuk melepaskan presiden dari jerat hukum.

Koran Amerika itu juga tahu, kondisi hukum di Indonesia seperti ini, hampir mustahil mengajukan presiden ke muka hukum. Apalagi presiden yang masih menjabat. Wong yang sudah mantan dan sakit-sakitan saja tidak pernah bisa diadili kok. Makanya, mereka hanya berpikir membuka kasus itu seterang-terangnya sehingga masyarakat Indonesia tahu. Setelah itu, terserah masyarakat Indonesia sendiri menilainya seperti apa. Toh yang punya pemimpin, orang Indonesia sendiri.

Washington Post nampaknya penasaran dengan sinyalemen bahwa berbagai peristiwa di Indonesia yang tidak pernah jelas. Tak tanggung-tanggung, mereka menerjunkan wartawannya Bob Woodward yang berpengalaman membuka kasus Watergate dengan bantuan “Deep Throat”. Sebagai tes case, Bob Woodward hanya sendirian. Dia tidak ditemani Carl Bernstein, mitranya saat membongkar kebobrokan Presiden Nixon.

Ternyata, Woodward mendapati kasus ini kurang menantang karena sudah sedemikian terang benderang. Untuk membuktikan Presiden SBY jujur atau tidak, cukup hanya dengan membuka kliping koran atau rekaman tayangan TV sebelum dan sesudah Pemilu 2004. Dari situ dia sudah dapat melihat ternyata Presiden SBY sudah tidak jujur. Bagaimana mungkin sang presiden tidak mengakui Blora Center, sementara dia beraktivitas di sana. Woodward membaca salah satu berita yang dia kliping. Berita itu dimuat Kompas.com 23Agustus 2004. Dari berita itu jelas, SBY menggunakan Blora Center sebagai tim kampanyenya. Malah, dia melakukan teleconference segala. Woodward juga melihat berita yang dimuat Tempo Interaktif, 21 Maret 2005. Berita yang ditulis Abdul Manan itu, jelas sekali menyebut Blora Center sebagai campaign manajer-nya SBY.

Woodward, merasa apa lagi yang perlu dibuka dari kasus ini, wong datanya sudah menjadi milik masyarakat kok. Bahkan Majalah Tempo sudah memuat bagaimana hubungan Munawar Fuad Nuh dengan SBY dimana Munawar menjabat staf ahli sosial politik di Tim Sukses SBY. Demikian halnya dengan Blora Center. Justru Woodward merasa heran, mengapa SBY sedemikian beraninya tidak mengakui Munawar Fuad dan Blora Center sebagai tim suksesnya.

Dia akhirnya juga mempertanyakan, apa betul surat kabar di Indonesia tidak mampu memberikan informasi yang menyeluruh tentang suatu peristiwa, seperti yang dituduhkan dalam posting di blog ini. Bukankah surat kabar sudah menunjukkan bagaimana Presiden SBY tidak jujur ketika membantah sinyalemen Amien Rais. Woodward juga yakin masyarakat tahu, kalau presidennya saat konferensi pers itu tidak jujur. Lalu mengapa media masih dituduh tidak terang? Kenapa juga masyarakat hanya diam ketika tahu Presidennya tidak jujur? Apakah ini gaya orang Indonesia menyelesaikan masalahnya? Gaya penyelesaian “Tahu Sama Tahu”.

Di tengah kebingungannya, Woodward teringat salah satu tulisan di Majalah Time saat membahas poligami di Indonesia. Majalah itu menyebutkan perempuan di Indonesia secara hukum tidak bisa menolak poligami. Salah satu sebabnya adalah banyaknya hukum yang berlaku di Indonesia. Selain hukum positif, hukum adat dan hukum agama juga begitu kuat mengatur kehidupan masyarakat. Bahkan dalam realitasnya hukum adat dan hukum agama jauh lebih kuat ketimbang hukum positif.

Time melanjutkan, tapi jangan berkesimpulan perempuan Indonesia tidak berdaya dan pasrah dengan kondisi itu. Perempuan Indonesia ternyata punya cara sendiri melawan poligami. Mereka menyerang sisi lain dari pelaku poligami. Terutama jika poligami dilakukan tokoh-tokoh terkenal. Aa’ Gym misalnya diserang dari sisi ekonomi. Jamaah Aa’ Gym berkurang drastis. Penampilannya di TV pun jauh menurun. Bahkan di infotainment disebutkan, beberapa unit bisnis Aa’ Gym merumahkan karyawannya.

Woodward berpikir lagi, apakah orang Indonesia punya cara sendiri menghukum presidennya yang telah berbohong. Jangan-jangan seperti inilah pola relasi media dan masyarakat versi Indonesia. Masyarakat tidak pernah meributkan sesuatu yang masih belum jelas benar dihadapannya, meski media sudah mencoba membuka itu seterang mungkin.

Dalam bahasa agamanya, masyarakat masih menganggap ketidakjujuran pemimpin masih dalam kategori samar-samar. Lebih baik mereka menjauhinya. Masyarakat akan ribut ketika media menampilkan perilaku politisi yang jelas-jelas melanggar moral dan etika. Kayak Yahya Zaini ketika video mesumnya bersama Maria Eva beredar. Masyarakat menghukum Yahya Zaini secara sosial hingga dia terpaksa turun dari seluruh jabatannya.

Woodward merasa pusing dalam perjumpaan pertamanya di Indonesia. Dia merasa harus menyusun lagi kerangka berpikirnya soal hubungan media dan masyarakat. Hubungan yang khas Indonesia. Sebagai seorang jurnalis, Woodward merasa tertantang untuk menemukan jawabannya. Itulah mengapa dia mengirim email ke Washington untuk terus di Jakarta.

PS: cerita ini fiksi belaka. Aku hanya ingin bermimpi apa yang kira-kira akan terjadi jika Bob Woodward datang ke Indonesia melakukan investigasi berbagai peristiwa yang ada. Nikmati, petualangan Woodward selanjutnya.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 19 Juni 2007
16.45 WIB

EN


Monday, June 11, 2007

Sunyinya Perjuangan Wong Cilik (2)

Mungkinkah PR Berpihak Pada Wong Cilik?

“Seorang iblis pun dapat mereka poles menjadi seorang malaikat, minimal iblis yang separo malaikat”

Ungkapan itu pertama kali diucapkan oleh tetangga baruku untuki menggambarkan kedahsyatan profesinya. Tampaknya dia ingin tetangganya yang sekarang tahu bahwa profesi yang dia jalankan bukanlah main-main. Memang, ketika pertama kali dia menjelaskan pekerjaannya sebagai seorang Public Relations (PR), beberapa orang langsung terbayang dengan pekerjaan kliping Koran, menemani tamu, mengatur tetek bengek protokoler bosnya.

Dia sendiri tidak menyalahkan semua yang dbayangkan orang-orang tersebut. Menurutnya itulah realitas image orang tentang PR. Dan lagi, sebagian besar perusahaan di Indonesia masih memperkerjakan PR-nya seperti itu. Padahal secara teori PR jauh lebih besar dari itu.

Menurutnya PR merupakan sebuah fungsi manajerial yang berguna untuk memberikan pemahaman tentang kebijakan yang diambil kepada khalayak. PR lah yang akan menentukan reputasi sebuah organisasi atau seorang public figure di mata publik. PR yang baik mampu membangun reputasi organisasi sehingga ketika ada persoalan yang menimpa organisasi, publik tidak serta-merta memberikan label negatif. PR ibaratnya harus melakukan segala macam cara untuk menjamin bagusnya pandangan masyarakat terhadap organisasi. Ya, seperti ungkapan di awal tulisan ini, PR harus mampu merubah iblis agar terlihat seperti malaikat.

Memang kalau dipikir-pikir dahsyat betul pekerjaan seorang PR itu. Mereka harus selau siap menjaga image organisasi dalam kondisi apapun. Ooo, itu ternyata alasan Panglima TNI segera menyatakan permintaan maaf kepada masyarakat segera sesudah peristiwa penembakan oleh Marinir di Pasuruan. Itupun masih disertai catatan reformasi TNI tercemar oleh peristiwa ini. Padahal saat itu Komandan Marinir bersikukuh anak buahnya hanya membela diri.

Panglima TNI tampaknya tahu, pembelaan sekeras apapun akan percuma. Publik pasti akan berpihak pada korban tak bersenjata. Lebih baik dia meminta maaf dulu untuk meredakan kemarahan publik. Baru setelah itu TNI akan berusaha mendesakkan kebenaran kejadian mereka versi mereka lewat media massa. Entah berhasil atau tidak, sekarang marinir pelaku penembakan itu malah menggugat masyarakat yang dia tembaki dengan alasan melakukan penganiayaan.

Mungkin PR juga yang memberi masukan pada Presiden SBY untuk menggelar konferensi pers menanggapi tuduhan Amien Rais. Presiden SBY, menganggap tuduhan Amien Rais bahwa dirinya ikut menerima dana korupsinya Rokhmin Dahuri sebagai sebuah fitnah yang kejam. Mungkin pertimbangan PR pula yang mendorong Presiden SBY tidak mengakui Blora Center dan Munawar Fuad Nuh sebagai tim suksesnya.

Aku bergumam rendah, “untuk kasus ini, PR SBY tampaknya telah berbuat bkunder”. Aku mengacu pada pemberitaan media yang justru menjadikan SBY sebagai bulan-bulanan. SBY malah terkesan defensif dan menutupi kesalahan. Tindakan tidak mengakui Blora Center sebagai tim sukses dapat menjadi bumerang. Jika kita rajin membuka kliping koran 2004, kita dengan mudah tahu lembaga ini adalah pendukung SBY nomor wahid.

Memang, tak berlebihan ungkapan tetanggaku soal PR ini. Tapi aku pikir PR ini kok hanya loyal pada organisasi atau orang yang membayarnya. Kalau meminjam slogan partainya Gus Dur, PR “maju tak gentar membela yang bayar”. Siapapun orangnya jika mampu bayar PR maka dia akan bisa memoles diri seperti yang diinginkan. Jika demikian, mungkinkah rakyat kecil dapat menggunakan jasa PR untuk membantunya menguasai opini publik?

Jika menilik penjelasan tadi, PR nampaknya berada di tengah-tengah antara organisasi dan masyarakat. PR harus menjadi jembatan yang menghubungkan organisasi dengan masyarakat. Tapi mungkinkah itu terjadi? Bisakah PR TNI memihak pada kepentingan masyarakat Alas Telogo meski itu akan mengorbankan marinir? Atau jika dihadapkan pada dua pilihan, kepentingan masyarakat dan kepentingan organisasi, ke arah mana pendulum PR bergerak?

Hanya PR lah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi aku belum menemukan contoh PR yang mengorbankan kepentingan organisasinya demi kepentingan masyarakat. Apalagi kepentingan masyarakat kecil. Entah kalau memang ada.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
17.30 WIB
AF

Sunyinya Perjuangan Wong Cilik

Wong Cilik Mengimpikan Media


“13 anggota Marinir yang menembak warga Alas Tlogo melaporkan masyarakat Alas Tlogo karena melakukan penganiayaan terhadap 13 marinir tersebut.” Berita TV pagi iitu langsung menarik perhatianku. Aneh, aku tidak nyinyir seperti biasanya jika melihat berita yang aku anggap menarik. Aku diam saja. Sepertinya ada yang aneh dengan berita tersebut.

Aku mematikan TV untuk mengerjakan aktivitas lainnya. Tapi, pikiranku tetap tertuju pada berita itu. Sangat jelas terngiang di telingaku “13 anggota Marinir yang menembak warga Alas Tlogo melaporkan masyarakat Alas Tlogo karena melakukan penganiayaan terhadap 13 marinir tersebut.”Tentara yang menembak masyarakat kini melaporkan masyarakat dengan tuduhan melakukan penganiayaan terhadap tentara tersebut.

Mungkin itu bukan sesuatu yang aneh, tapi jelas nalarku tidak mampu menangkap logika berita tersebut. 13 anggota marinir yang menembak kini melaporkan warga yang ditembakinya dengan alasan penganiayaan. Ah, semakin pusing kepalaku ketika mencari logika berita tersebut. Apa mungkin ini yang disebut sebagai tindakan marinir membela diri itu? Artinya, masyarakat-lah yang melakukan penyerangan. Kalau begitu mariner-marinir itu tidak bersalah dong? Jika memang marinir itu tidak bersalah, kenapa mereka justru ditahan? Apabila marinir itu benar hanya membela diri, mengapa justru masyarakat yang menjadi korban?

Pikiranku terus menerawang ke berita itu. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti pikiranku semakin banyak. Mengapa berita seperti itu dapat muncul di media massa? Mengapa aku sebagai penonton selalu dijejali informasi kasus Pasuruan itu dari versinya tentara? Malam sebelumnya, pengacara marinir-marinir itu telah berbusa-busa menjelaskan teori marinir membela diri. Jika ada sumber informasi yang bertentangan dengan teorinya tentara, media pasti menyuguhkan anggota DPR atau aktivis LSM ke hadapanku. Lalu dimana masyarakat yang langsung mengalami peristiwa itu? Kenapa masyarakat yang dilaporkan melakukan penganiayaan terhadap marinir-marinir tidak pernah disuguhkan kepada kita selaku penikmat media?

Aku teringat dengan penjelasan dosenku saat kuliah dulu. Dengan lancarnya dia membicarakan bagaimana media massa (TV adalah media massa) menjadi arena untuk membangun kebenaran. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Yang ada adalah konstruksi atas kebenaran itu. Media massa menjadi arena yang empuk untuk membangun kebenaran sesuai versi masing-masing. Biasanya, orang yang berkuasalah yang mampu menciptakan kebenaran sesuai versinya. Mereka punya kemampuan lebih untuk masuk ke media massa.

Aku ingat sekali penjelasan itu. Aku pun masih bisa menceritakan lanjutan dari penjelasan itu. Kekalahan masyarakat kecil (wong cilik) bermula dari ketidakmampuannya memperoleh akses menceritakan kebenaran versinya lewat media. Media sendiri jarang sekali yang menyediakan kapling bagi wong cilik untuk bersuara. Kapling arena media sudah habis untuk pemerintah, politisi, pengusaha, selebritis maupun aktivis LSM. Maka jika ada urusan kayak kasus Pasuruan itu, warga Alas Tlogo cukuplah diwakili DPR atau aktivis LSM itu. Habis perkara.

Aku tersenyum mengingat penjelasan dosenku itu. Kini aku baru tahu logika apa yang mendasari pemuatan berita marinir melaporkan warga Alas Telogo. Media pasti dengan senang hati memberi kapling bagi penguasa-penguasa itu menceritakan kebenaran versinya sendiri. Ya, itulah logikanya.

Bukan hanya itu, aku juga menyadari kenapa berita-berita soal Pemilihan Gubenrnur DKI hanya berisi calon-calon yang akan bertanding, tim sukses, partai politik atau pengamat politik. Media memanggungkan mereka untuk sekedar adu balap siapa yang akan memenangkan pemilihan gubernur itu. Omong kosong dengan kemacetan yang melanda Jakarta, persetan dengan banjir yang setiap lima tahun datang menerjang, terserah masyarakat mampu makan atau tidak.

Keningku kemdian berkerut memikirkan semua ini. Betapa susah menjadi wong cilik. Kebutuhan sehari-hari semakin sulit dipenuhi. Makan, sekolah, membuthkan uang yang tidak sedikit. Kini untuk bersuara pun mereka tidak diperbolehkan. Media, alat yang memungkinkan suara mereka terdengar tidak menyediakan tempat sedikit pun bagi mereka. Ah, celaka betul kehidupan wong cilik itu.

Tampaknya benar apa yang kupikirkan selama ini. Wong cilik tidak boleh menggantungkan diri pada media-media itu. Jika mereka melakukannya sama artinya mereka menggantungkan nasib pada politisi, selebritis, atau tokoh-tokoh LSM. Sampai kapanpun wong cilik itu hanya akan berharap orang lain yang menyuarakan keinginan mereka. Ironis kan?

Ya, memang cukup ironis. Tapi lebih ironis lagi diriku. Ketika sudah berpikir sampai di sini, aku tidak tahu solusi apa agar wong cilik bisa bersuara. Apa iya mereka harus bikin media sendiri? Memang ada peluang mendirikan media komunitas. Apakah itu solusi yang tepat? Media komunitas memiliki jangkauan terbatas pada areal tempat tinggal won cilik itu sendiri. Nanti semboyannya jadi dari wong cilik, untuk wong cilik dan didengar wong cilik. La, kapan penggede-penggede itu mendegarkan suara mereka? Entahlah, mungkin media hanya menjadi impian bagi wong cilik.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
11.25 WIB
AF

Surat Untuk Presiden SBY

Dimana Pesonamu Dulu?

Bapak Presiden Yth,
Salam hormat untukmu Pak Presiden. Ijinkanlah wargamu ini menumpahkan uneg-uneg buatmu. Uneg-uneg yang menggumpal di dadaku beberapa minggu ini jika melihat berita media massa tentangmu.

Presiden SBY Yth,
Dua minggu ini kau telah menjadi bulan-bulanan media massa. Mulai dari konferensi pers-mu ketika “menyerang” Amien Rais yang kau anggap memfitnahmu hingga polemikmu soal interpelasi DPR.

Pak SBY,
Aku ingin memanggilmu demikian biar ada keakraban antara rakyat dengan presidennya. Aku tidak tahu apakah kau merasa media massa telah menjadikanmu sasaran tembak dua bulan ini? Entah kau merasa atau tidak. Aku justru ingin bertanya padamu, strategi komunikasi apa yang dimainkan tim komunikasimu hingga membuatmu seperti ini? Taktik komunikasi apa yang kau mainkan haingga kau begitu suka bersilat lidah, menari-nari diantara prosedur hukum?

Pak SBY,
Itulah yang aku rasakan jika melihat konferensi pers soal Amien Rais dan interpelasi DPR. Saat menyerang Amien Rais kau menyatakan Blora Center dan Munawar Fuad Noeh bukanlah tim suksesmu saat pemilihan presiden 2004 lalu. Secara hukum kau benar Pak Presiden. Mereka tidak pernah terdaftar di KPU. Soal interpelasi pun demiakian. Kau hanya sibuk membahas boleh tidaknya jawabanmu disampaikan pembantumuatau tidak.Secara hukum pun kau juga benar, sebab tata tertib DPR memungkinkan jawabanmu diwakili.

Mr President,
Apakah kau cukup hanya benar secara prosedur hukum? Apakah kau menganggap rakyatmu begitu bodoh taka tahu substansi persoalan yangkau sampaikan? Kau salah Mr. President. Rakyatmu tahu siapa Blora Center dan Munawar Fuad Nuh. Terlebih membuka berita pemilu 2004 sekarang semudah membalik telapak tangan dengan pertolongan Mr. Google. Kau telah menanam bibit kebohongan. Aku tidak tahu apakah itu akan kau tuai saat Pemilu 2009 nanti.

Mr. President,
Terus terang aku heran dengan perubahan sikapmu itu. Dulu, kau begitu menawan media sehingga mereka berlomba-lomba menjadikanmu sebagai orang paling pantas memimpin negeri ini. Aku kagum dengan tim komunikasimu yang mampu menyulapmu sebagai sosok yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. Saat Darurat Militer di Aceh kau tampil ke depan melebihi presidenmu sendiri. Rakyat pun terkagum-kagum dan mengatakan inilah pemimpinku.

Pak SBY,
Tapi kini, kau begitu mudahnya mengelakdari kritik hanya dengan berlindung prosedur hukum tanpa menyentuh substansi persoalan. Kau telah begitu tega mengorbankan tim suksesmu hanya gara-gara kau tidak mau bertanggungjawab atas perbuatan yang mereka lakukan. Padahal mereka berbuat itu untuk menyokongmu. Lalu dimana karaktermu sebagai pemimpin yang menonjol menjelang 2004 yang lalu? Jangan-jangan benar kata orang, kau hanya tebar pesona.

Pak SBY,
Juru bicaramu, Andi Mallarangeng selalu mengajak PDI-P untuk tidak menerapkan standar ganda soal interpelasi. Rupanya melalui juru bicaramu itu, kau ingin berpesan Megawati pernah menyuruhmu mewakili menjawab interpelasi DPR. Aku jadi heran, kenapa kau kok cengeng dan suka merajuk seperti itu. Kalau kau ingin diperlakukan sama dengan Megawati, lalu apa bedanya kau dengan pendahulumu itu. Dimana letak keunggulanmu dibanding Megawati sehingga rakyat tidak salah memilihmu 2004 yang lalu? Di sini aku jadi berpikir jangan-jangan Taufik Kiemas benar ketika menyebutmu Jenderal Taman Kanak-Kanak?

Mr. President,
Kau boleh berbangga, survey orang kepercayaanmu masih menempatkan kau sebagai calon presiden terkuat dalam pemilu 2009 nanti. Tapi aku juga ingin mengingatkan perlawanan kepadamu semakin keras. DPR yang biasanya kau jinakkan, kini telah berani menolak kedatangan tujuh pembantumu. Media yang dulu menjadi penyokong utamamu kini telah menjadaikanmu bulan-bulanan sebulan terakhir ini.

Pak SBY,
Perbaikilah komunikasimu dengan media. Mereka telah “enjoy” menghajarmu. Ingat, media lah yang telah mengangkatmu jadi presiden. Jika mereka telah menghajarmu, rakyatmu pun akan berpikiran lain. Pak Presiden, rakyatmu sampai saat ini menjadikan media sebagai sumber informasi utama.

Pak SBY,
Itulah uneg-unegku, terserah kau dengar apa tidak.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
7.45 WIB
AF

Monday, June 4, 2007

Cangkem Turah Pasuruan

Sunyinya Perjuangan Rakyat Kecil

Geram, pedih, tak berdaya. Perasaan itulah yang aku rasakan saat mendengar berita penembakan warga Desa Alas Tlogo Pasuruan oleh pasukan marinir Angkatan Laut. Geram jika mengingat bagaimana peluru yang dibeli dengan uang rakyat ditembakkan kembali pada rakyat. Nampaknya tentara-tentara itu sengaja memplesetkan arti demokrasi yang dari rakyat untuk rakyat, menjadi peluru dari rakyat harus diperuntukkan bagi rakyat. Penghinaan besar untuk negeri yang katanya sedang reformasi ini. Aku hanya bisa diam menyimak adegan penembakan yang kebetulan direkam video amatir dan disebarluaskan lewat media TV.

Hatiku semakin pedih jika mengingat kembali track record pasukan marinir di masa lalu. Ingatanku kembali melayang peristiwa dahsyat 9 tahun silam, sebuah peristiwa yang membelokkan sejarah negeri ini. Waktu itu, 1998 aku baru saja lulus SMA dan mempersiapkan diri mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Saat itulah, masyarakat meluapkan kemarahannya dengan demo besar-besaran. Tentara yang berada di bawah ketiak penguasa tentu saja membela majikannya bersikap represif pada masyarakat. Ternyata ada sekelompok tentara yang memilih memihak pada masyarakat dan “melindungi” mahasiswa yang sedang berdemo. Konon, tindakan simpatik marinir inilah sal;ah satu penyebab kenapa pergantian kekuasaan 1998 tidak “seberdarah” yang dibayangkan. Kini, jika pasukan yang dekat dengan rakyat saja sudah tega menembaki rakyat kecil tak berdaya, siapa lagi yang bisa disebut sebagai tentara rakyat?

Lebih celaka lagi, marinir berbuat brutal seperti itu hanya karena membela kepentingan pengusaha, PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT-RNI). Biadaaaabbb, jerit hatiku. Apa sih kelebihan perusahaan itu sehingga nyawa masyarakat Alas Tlogo begitu murahnya? Apa tentara-tentara itu tidak berpikir bahwa mereka hanya dijadikan alat oleh pengusaha sehingga dia lupa dengan akarnya dari rakyat kecil? Tapi di Indonesia memang jamak terjadi perselingkuhan pengusaha dan tentara.

Aku semakin diam mendengar berita TV. Diam, tak dapat berbuat apa-apa. Perasaan tak berdaya semakin kuat menyergap dan menguasai diriku. Apa yang bisa dilakukan kepada tentara-tentara yang telah berbuat biadab itu? Paling, orang-orang hanya bisa berteriak atau mengumpat dalam hati saja. Kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi di negeri ini dan semuanya lenyap dalam kegelapan misteri. Masyarakat Alas Tlogo memang sempat melawan dengan memblokir jalan utama Pantura Jatim. Tapi itu pun hanya sebentar. Mungkin sebentar lagi kasus ini pun akan menguap seperti kejadian yang dulu-dulu.

Kenapa kamu pesimis seperti itu? Bukankah tidak ada penindasan yang langgeng di dunia ini? Apa kamu tidak ingat bagaimana kuatnya Soeharto saat itu, toh bisa runtuh juga. Apalagi serkedar marinir atau PT Rajawali? Hatiku berdebat panjang. Memang benar, Soeharto yang kuat saja bisa turun dengan demo rakyat. Tapi kan, kasus-kasus yang melibatkannya tidak pernah bisa diusut dengan tuntas. Apa benar kebrutalam marinir ini bisa diselesaikan dengan tuntas sehingga tidak terulang lagi di masa mendatang?
Rasa-rasanya sikap pesimisku itu benar adanya. Media massa yang menjadi arena utama pembentukan opini publik juga tidak serta-merta memihak kepada rakyat Alas Telogo. Aku sadar, media massa memang memiliki kekuasaan untuk ”berbicara dengan publik”. Mereka punya kemampuan untuk menentukan agenda mana yang menjadi perhatian publik. Dan mereka juga punya kuasa ikut bermain menentukan wacana mana yang dominan menggiring opini publik.

Aku hanya bisa berharap media memanfaatkan kekuasaannya untuk mengabdi pada kebenaran. Jurnalis Amerika, Bill Kovach menuliskan sembilan elemen jurnalisme yang salah satunya menyebutkan media hanya berpihak pada kebenaran. Dalam posisi yang tidak seimbang seperti marinir dan RNI melawan rakyat Alas Telogo, kebenaran menurutku adalah memihak rakyat tak berdaya.

Ya, media harus memihak rakyat kecil. Kalau media tidak mau berpihak, siapa lagi yang akan menemani rakyat kecil? Tekanan hidup sudah menghimpit mereka. Sumber daya apa lagi yang dapat mereka andalkan dalam memperjuangkan haknya bil;a tidak mengandalkan media?

Tidak, media tidak semudah itu untuk berpihak. Mereka juga punya mitos cover both side. Media tidak boleh hanya memberitakan dari versi rakyat Alas Telogo saja. Versi marinir pun harus didengarkan. Bahkan jika perlu RNI pun harus didengarkan omongannya. Jika tidak media akan jatuh pada penghakiman oleh media “trial by the press”. Aku terngiang ucapa dosenku saat kualiah dulu. Mitos-mitos tentang media yang harus kuhapalkan untuk kutulis lagi di lembar-lembar ujian demi sebuah nilai A dan IP di atas 3. Ah, mitos sekolah lebih lucu lagi. Meraih nilai bagus yang menjadi standar keberhasilan pendidikan ternyata tidak seserius yang dibayangkan. Aneh, jika mengingat betapa bangganya Wapres Jusuf Kalla dengan standar Ujian Nasional. Saudagar satu ini seakan tidak tahu kondisi sekolah di Indonesia seperti apa.

Bukankah dosenku dulu juga mengajarkan bahwa media massa tidak memberikan kesempatan yang sama untuk masuk mendapatkan pemberitaan media? Ada teknik-teknik tertentu yang mampu menarik media agar menulis berita sesuai dengan kepentingan seseorang atau suatu kelompok. Aku kemudian teringat dengan konsep spin doctor, yang mampu mengarahkan opini atas suatu peristiwa. Iya, bukankah dalam PR ada spesifikasi media relations yang khusus menangani hubungan dengan media.

Siapa yang punya akses ke media dialah yang akan menguasai opini publik. Ooo, itu to kenapa pihak TNI AL khususnya komandan marinir berbusa-busa menjelaskan kronologi tragedi Alas Telogo versi mereka. Mereka berusaha sejak awal ingin mendesakkan cerita Pasuruan sesuai skenario mereka. Marinir membela diri, rakyat kecil yang menjadi penyebab. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi tersangka.

Syukurlah, skenario itu tampaknya tidak sepenuhnya berhasil. Media tidak mudah untuk mereka kadali. Cerita versi rakyat kecil pun masih sesekali menyeruak, meski yang dominan tetap saja penguasa-penguasa itu. DPR, Panglima TNI, KSAL, Komandan Marinir, Komnas HAM selalu menghiasi pemberitaan media. Sementara Misnatin dan rekan-rekannya yang menjadi korban hanya sesekali muncul di media. Itu pun melengkapi kunjungan Jusuf Kalla yang sedang tebar pesona. Apesmu rakyat kecil.

Hatiku semakin kecut melihat berita-berita itu. Perjuangan rakyat kecil semakin sunyi saja. Tidak ada gegap-gempita silang pendapat berita media. Aku jadi ingat kenapa aku dulu menamakan tagline blog-ku ini ”sunyi dalam ramai”. Rasa sunyi itu tiba-tiba menguasai hatiku ketika ingin mengakhiri celotehanku ini.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Juni 2007
19.15 WIB
TS

Suratku Untuk Bung Karno

Dimana Pancasilamu Kini Berada?

Bung Karno yang terhormat,
Aku tahu, kau pasti tidak mengenaliku. Tapi aku sedikit mengenalmu. Aku tahu katanya kaulah yang mendirikan negara ini. Katanya pidatomulah yang menggetarkan hati rakyat Indonesia sehingga mau kau ajak untuk melawan Belanda. Padahal rakyatmu hanya punya bambu runcing, sedangkan Belanda punya senapan dan meriam. Suaramu pula yang telah menyentuh hati seorang pencopet seperti Nagabonar mau berjuang membela tanah airnya. Katanya, kenekatanmu bersama Bung Hatta memproklamasikan negara ini telah menjadikanmu Bapak Bangsa ini.

Bung Karno Bapakku,
Boleh kan aku memanggilmu seperti itu? Meski aku sadar tidak punya hubungan biologis seperti putra-putrimu. Tidak juga punya hubungan ideologis seperti anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kau dirikan, atau pengurus PDI Perjuangan yang dipimpin salah seorang putrimu Megawati. Juga bukan aktivis partai beraliran nasionalis yang selalu mengklaim sebagai pewaris ideologimu. Tapi, aku tiba-tiba harus terlahir sebagai anak bangsa yang telah kau lahirkan. Maka aku merasa berhak menganggapmu sebagai seorang bapak dan mengadu kepadamu.

Bung Karno,
Aku ingin mengadukan hilangnya Pancasila yang telah engkau lahirkan 1 Juni, 62 tahun yang lalu. Sebuah dasar negara yang kau wariskan pada bangsa ini sebagai pedoman untuk membangun peradaban. Aku tahu, kau sadar betapa primitifnya peradaban bangsa ini sehingga kau menganggap tidak bisa membiarkan mereka hidup dengan menggali budaya-nya sendiri. Aku tahu engkau juga sadar betapa malsnya bangsamu berpikir sehingga kau harus merumuskan lima hal yang harus diwujudkan agar negara yang baru kau lahirkan memberikan ksejahteraan kepada rakyatnya dan kemaslahatan bagi dunia.

Bung,
Tapi lihatlah dari kuburmu apa yang terjadi sekarang. Lima sila yang kau lahirkan kini hanya menjadi slogan kosong belaka. Aku memang hafal betul dengan lima sila itu. Bagaimana tidak? Sejak SD hingga kuliah aku harus menghafalkannya minimal setiap senin ketika upacara bendera. Tapi aku selalu bingung ketika harus mencarinya dalam kehidupan sehari-hari.

Bung,
Aku hafal di luar kepala kalau sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Aku tidak percaya kalau kau menginginkan Ketuhanan yang individual seperti ini. Tidak ada dari Bangsa ini yang tidak punya Tuhan. Tapi kenapa ketidakjujuran menjadi budaya bangsa? Bung, negerimu yang kamu lahirkan selalu menduduki posisi 10 besar negeri terkorup di dunia. Walaupun negerimu ini punya orang yang bergelar haji paling banyak dunia. Meski negaramu ini punya tempat ibadah paling banyak di dunia. Biarpun, bangsamu ini punya hari raya keagamaan yang harus diperingati paling banyak di dunia. Bahkan, kau pasti akan menangis jika melihat kenyataan anak-anakmu yang mencoba berbuat jujur justru dianggap mencemarkan nama baik. Kau tidak percaya? Tanyalah pada anggota Komunitas Air Mata Guru di Medan sana.

Bung Karno,
Kau menuliskan sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tapi lihatlah kemanusiaan macam apa yang dipertontokan oleh “anak-anakmu” sekarang? Bangsa ini sekarang sudah terkenal sebagai bangsa yang mudah berbuat kekerasan terhadap saudaranya yang lain dengan dalih agama, suku dan segala macamnya. Bahkan tentara yang sudah dibelikan senjata oleh rakyat tega menembaki orang yang telah membiayainya. Itulah yang sekarang dipertontonkan Marinir di Pasuruan sana.

Bung,
Persatuan Indonesia yang kau impikan sehingga kamu tulis menjadi sila ketiga kini hanya menjadi impian belaka. Bentuk negara mu memang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi kau jangan senang dulu Bung, tidak ada orang yang bangga menjadi Bangsa Indonesia seperti cita-sitamu melakukan “nation building”. Mereka lebih bangga menjadi Bangsa Jawa, Bangsa Aceh, Bangsa Melayu dan sebagainya. Kalau boleh meminjam istilah-nya Ben Anderson, Bangsa Indonesia hanyalah imajinasimu belaka.

Bung Karno,
Sila keempat Pancasila berbunyi Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Bung, ini sila yang paling susah kuhafal. Sila ini juga yang paling aku tidak tahu wujudnya dalam kehidupan nyata. Entah apa yang kau bayangkan ketika merumuskan sila ini. Apakah kau menyuruh bangsamu selalu mengedepankan musyawarah dalam mengambil keputusan? Atau apakah kau menginginkan rakyatmu tidak saling menindas dalam perbedaan? Apapun, yang jelas sekarang negaramu ini mempraktekkan namanya dominasi yang kuat atas yang lemah. Yang mayoritas menindas yang minoritas. Yang sedikit “mengkadali” yang banyak.

Bung,
Untuk sila kelima aku taku menceritakannya karena akan membuatmu tambah sedih. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia sekarang telah menjadi kosakata yang hilang dari bahasa sehari-hari.

Bung Karno,
Aku tidak tahu ini membuatmu tambah sedih atau tidak. Tapi aku tidak tahu kepada siapa aku harus mengadu kalau tidak padamu. Kalau kau menangis setelah membaca ini, menangislah. Yang pasti, inilah negara yang telah kamu lahirkan.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Juni 2007
11.00 WIB
TS