IPDN yang Tak Pernah Jera
Woodward sudah menetapkan diri untuk tetap di Indonesia meskipun tugasnya menelisik dana DKP sudah selesai. Dia tergelitik dengan kondisi jurnalistik Indonesia yang katanya tidak mampu mengungkap sebuah peristiwa seterang-terangnya. Dalam kasus dana DKP dia menemukan bagaimana media sudah begitu rupa membuka kasus itu, tapi tidak ada “greget” pemerintah dan masyarakat untuk menuntaskannya.
Kemarin, dia tertarik dengan sebuah berita penganiayaan Praja IPDN oleh pengasuhnya sendiri. Akibat penganiayaan itu, Yogi, sang praja IPDN harus mengalami luka-luka di matanya. Bahkan dia harus menjalani operasi untuk itu. Woodward tertarik dengan judul berita yang dia lihat “IPDN yang Tidak Pernah Jera”. Insting jurnalistiknya segera bekerja. Berarti, lembaga ini sudah memiliki kasus serupa sebelumnya. Jika tidak kenapa dia disebut-sebut tidak pernah jera. Lagipula kenapa bisa sebuah lembaga kok dibiarkan melakukan kasus yang sama berkali-kali? Apakah media massa di Indonesia tidak pernah membuka kasus tersebut?
Bagi orang Indonesia seperti kita pertanyan-pertanyaan itu sudah sangat lazim. Saking biasanya, kita tidak pernah berpikir untuk menanyakan itu. Kalau IPDN melakukan kekerasan, ya itulah memang watak IPDN. Tapi apakah benar media massa tidak pernah membuka kasus ini? Lalu kenapa jika media massa sudah membukanya, tidak pernah ada perbaikan di lembaga itu sehingga kasus-kasus yang sama terus terulang lagi?
Setelah “searching” di internet, Woodward semakin bingung lagi. Kini dia menemukan bagaimana dia menemukan media telah berhasil menyingkap kasus kekerasan yang ada di IPDN. Bahkan, kasus IPDN akan meledak jika sudah berhasil diungkap media massa. Woodward menemukan, kasus IPDN pertama kali meledak tahun 2003. Saat itu, SCTV berhasil mendapatkan video rekaman kegiatan kekerasan di sekolah yang saat itu masih bernama STPDN. Kebetulan waktunya bertepatan dengan kematian salah satu siswa di sana yang bernama Wahyu Hidayat.
Saat kematian Wahyu Hidayat, tampaknya ada seseorang yang mengirimkan video itu ke SCTV. Mungkin orang itu terinspirasi kisahnya dalam film “All Presidents Men”. Dengan mengirim video itu, dia ingin memerankan diri sebagai “Deep Throat” yang membimbing media agar membuka kekerasan di sana.
Woodward termangu sejenak. Dia merasakan kemiripan kisah SCTV membuka kasus IPDN 2003 dengan kasusnya yang melegenda itu. Perasaan besar kepala sejenak menyelinap di relung hatinya. Oo, rupanya yang telah aku lakukan menginspirasi banyak orang di dunia. Aku sudah menjadi mitos dengan “deep throat”ku. Terlintas dalam pikirannya,sosok Mark Felt yang baru mengaku dialah “Deep Throat” itu.
Memang, sah-sah saja jika Woodward mau mengklaim demikian. Toh, penelitian terbarunya World Bank juga mengatakan demikian. Riset itu menemukan, kasus-kasus korupsi hanya akan terungkap dari kelompok-kelompok yang sakit hati. Mark Felt kan sakit hati gara-gara Nixon tidak mengangkatnya sebagai Kepala FBI menggantikan Hoover. Apa yang terjadi jika Mark Felt diangkat oleh Nixon? Apakah muncul legenda Watergate itu? Apa mungkin Woodward dan kawannya, Barnstein menjadi mitos seperti sekarang?
Ah, Woodward tersadar dari lamunannya. Efek keputusan SCTV menayangkan video itu cukup menggemparkan. Masyarakat mengeluarkan seluruh sumpah serapahnya untuk STPDN. Sampai-sampai alumni sekolah itu yang menjadi pegawai pemerintah menjadi bahan olok-olokan. Mereka semua harus menanggung beban sebagai pelaku kekerasan. Pemerintah sendiri terpaksa menutup STPDN selama setahun dan menggabungkannya dengan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Pejabat STPDN pun berganti.
Insting jurnalistik Woodward kembali bertanya. Mengapa yang harus bertanggungjawab hanya pejabat STPDN saja? Apakah ini tidak berkaitan dengan manajemen Departemen Dalam Negeri (pengelola STPDN) keseluruhan? Mengapa media tidak memeriksa keterkaitan kasus itu dengan keterlibatan Mendagri? Apakah pejabat STPDN saat itu sudah dinyatakan bersalah?
Woodward kembali menemukan ledakan saat kasus Cliff Muntu. Kini namanya sudah berubah menjadi IPDN. Rupanya ada missink link di sini. Pasca kematian Wahyu Hidayat, STPDN ditutup dan digabungkan dengan IIP. Lalu kenapa berubah menjadi IPDN? Apa dasar pejabat Depdagri merubah STPDN menjadi IPDN? Bagaimana mengatasai kasus sebelumnya? Kenapa media massa tidak meributkan hal itu?
Ingatan Woodward melayang pada jeda 18,5 menit dari rekaman pembicaraan Nixon. Jeda yang sampai sekarang belum terungkap, tapi berhasil menggiring Nixon untuk mengundurkan diri. Jeda waktu IPDN mungkin tidak akan terungkap jika kematian praja Clif Muntu tidak terbuka.
Kembali pola penyelesaian lama terulang. Masyarakat mengecam habis sekolah ini. Pejabatnya pun kembali berganti. Ada sedikit yang berbeda. Polisi menjadikan mantan Rektor IPDN dan pejabat IPDN menjadi tersangka. Mereka dituduh berusaha menutupi kasus kematian Clif Muntu dengan membuat skenario siswa ini meninggal karena sakit.
Woodward menemukan sosok Inu Kencana. Jika 2003, SCTV menjadi TV yang mendapat video secara eksklusif. Kini semua TV mendapatkan sumber yang sama secara terbuka pada diri Inu Kencana. Dosen IPDN ini, membuka secara blak-blakan borok sekolahnya sendiri. Dari dirinyalah terungkap fakta, praja pelaku kekerasan tidak pernah benar-benar mendapatkan hukuman. Praja-praja ini lulus dan berkarir di bidang pemerintahan. Dia pun mengungkap perilaku sex bebas di kampus itu lewat buku “STPDN Undercover”.
Woodward berpikir enak sekali media di Indonesia. Mereka tidak perlu bersusah-susah untuk mencari orang yang mau menjadi “Deep Throat”. Wartawan di Indonesia tidak perlu untuk memperhatikan tanda dari “Deep Throat”, lalu malam-malam bertemu di garasi bawah tanah dengan berganti-ganti taksi. Mereka tinggal menelusurui data yang dibuka oleh Inu Kencana.
Dia kemudian buru-buru berpikir, apa jadinya jika saat itu Mark Felt bertindak seperti Inu Kencana? Apa mungkin Watergate terungkap jika Felt membuka sendiri? Apakah kira-kira Mark Felt tidak segera dibungkam oleh Nixon dan kelompoknya? Apa mungkin dia seterkenal sekarang jika Mark Felt tidak memanfaatkan dirinya?
Woodward membandingkan dengan reaksi yang diterima oleh Inu Kencana. Dosen IPDN ini justru mendapat gugatan dari praja putri yang tidak terima dikatakan melakukan sex bebas. Inu Kencana didemo santri gara-gara di bukunya dia menyebut ada pelecehan terhadap agama Islam?
Kasihan Inu Kencana. Woodward membatin. Muncul kembali insting investigasinya. Kenapa media tidak menelusuri sinyelemen Inu Kencana? Bukankah jika media menelusuri dan ternyata tulisan Inu Kencana itu benar, tidak akan ada reaksi negatif terhadap buku Inu Kencana? Jika memang buku Inu Kencana salah, kenapa pihak IPDN harus memblokir buku itu? Apakah ada sesuatu yang disembunyikan di sini? Dan jika data di buku STPDN Undercover benar, bukankah pemerintah tidak punya alasan lagi mempertahankan IPDN?
Atau Inu Kencana salah strategi. Dia harusnya mengikuti pola “Deep Throat” sehingga reaksi tidak langsung mengarah ke dirinya. Kalau demikian, berarti pola “Deep Throat” akan lestari sebagai pola investigasi.
Yang jelas, kini kekerasan terulang lagi di IPDN. Meski rektor IPDN yang sekarang sudah menjelaskan ini kasus kecelakaan biasa. Modus yang selalu disebutkan dalam kekerasan-kekerasan terdahulu.
Woodward semakin tertarik dengan Indonesia. Dia sudah menetapkan hati mengirim email lagi ke Washington untuk memperpanjang keberadaannya di Indonesia. Tokoh kita satu ini masih ingin menyelami lebih dalam lagi kisah kolega-koleganya di Indonesia.
PS: cerita ini fiksi belaka. Aku hanya ingin bermimpi apa yang kira-kira akan terjadi jika Bob Woodward datang ke Indonesia melakukan investigasi berbagai peristiwa yang ada. Nikmati, petualangan Woodward selanjutnya.
Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 22 Juni 2007
11.30 WIB
EN