Friday, June 13, 2008

Media “Mengalihkan” Isu Kenaikan BBM


Banyak orang menuduh ramainya pemberitaan FPI dan Ahmadiyah adalah skenario pemerintah mengalihkan isu kenaikan harga BBM. Tudingan itu tidak salah. Faktanya seminggu ini berita kenaikan BBM di media massa menghilang entah kemana.

Aku sepakat, media memang memiliki agenda setting untuk meminimalkan berita penentangan kenaikan BBM. Tapi, aku tidak sepaka jika pemerintah sengaja ”membuat” kekerasan Monas 1 Juni 2008 untuk mengalihkan perhatian terhadap kenaikan BBM. Aku lebih memandang ini adalah berkah terselubung yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pihak-pihak yang pro kenaikan BBM. Termasuk media massa.

FPI dan Hizbut Tahrir saat itu berunjukrasa menentang kenaikan harga BBM. Hal ini masuk akal mengingat dalam sejarahnya FPI disokong oleh kelompok militer yang sekarang menjadi penentang kenaikan harga BBM. Dengan kejadian Monas, sebenarnya kelompok inilah yang paling dirugikan. Upaya mereka membangkitkan sentimen negatif publik terhadap pemerintah melalui isu kenaikan BBM ”gatot” (gagal total). Apakah AKKBB menjadi pihak sengaja mengalihkan isu kenaikan BBM? Aku tidak punya data pasti. Memang, pribadi-pribadi yang ikut dalam AKKBB adalah orang-orang yang pada tahu 2005 menandatangani iklan mendukung kenaikan BBM.

Media yang sejak awal sudah pro kenaikan BBM, mengolah isu ini sedemikian rupa sehingga isu kenaikan harga BBM semakin menguap tak berbekas. Setelah kekerasan Monas, media memperpanjang nafas dengan mengangkat isu pro-kontra pembubaran Ahmadiyah. Seminggu ke depan, berita soal ini masih mendominasi pemberitaan media.

Dengan kondisi yang demikian, mahasiswa harus terus melakukan aksi menyuarakan penolakan kenaikan harga BBM. Saat ini sebenarnya kesempatan bagus bagi mahasiswa untuk menunjukkan dirinyalah suara hati nurani masyarakat. Ketika masyarakat lelah dengan permainan media massa, mahasiswa harus tampil sebagai anak-anak yang tidak pernah lelah berbakti pada orang tuanya. Inilah saat yang tepat menyadarkan masyarakat agar tidak terjebak pada realitas yang telah dibangun oleh media.

Media Yang Masih Menggemari Konflik


Nunung Prajart
o, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, pernah menyatakan bahwa dalam sebuah konflik media massa dapat memerankan diri sebagai “intensifier” konflik. Media dapat meningkatkan intensitas konflik itu. Penelitianku untuk skripsi, juga menemukan media dapat mengolah konflik diantara dua kelompok elit politik, dalam hal ini Kubu Gus Dur dan kubu Megawati. Akhirnya kita tahu, Megawati akhirnya menggantikan Gus Dur yang dilengserkan dari kursi presiden. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika Megawati tidak bersedia.

Media kembali mempertontonkan hal yang sama ketika memberitakan soal FPI dan AKKBB. Berita-berita yang ditampilkan media hanya berisi pertentangan diantara kedua kelompok. Hal ini dapat dilihat dari tema-tema berita yang diangkat media. Seminggu ini kita disuguhi berita soal tuntutan pembubaran FPI, aksi massa terhadap FPI di berbagai daerah, tuduhan aksi AKKBB didanai asing, Munarman yang buron, “premanisme” FPI dan pembubaran Ahmadiyah.

Tema-tema berita itu hanya meningkatkan eskalasi pertentangan diantara dua kelompok. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan anggota FPI jika melihat berita kawan-kawan mereka di daerah didatangi massa dan dipaksa membubarkan diri. Di sisi lain, bagaimana massa pendukung Gus Dur tidak bereaksi jika kejadian Monas 1 Juni 2008 terus-menerus diangkat.

Bahkan setlah SKB Ahmadiyah dikeluarkan, media masih memberitakan tantangan Habib Rizieq, Ketua FPI terhadap Gus Dur untuk bermubahalah. Mubahalah adalah jalan dua orang yang bertikai untuk mendapatkan keadilan Tuhan. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan hal ini untuk membuktikan kebenaran Islam dihadapan orang kafir. Nabi saat itu mengajak seluruh keluarganya untuk menantang orang kafir itu meminta keadilan dari Tuhannya masing-masing. Tentu saja, tarikh Islam menyebutkan Nabi Muhammad lah yang memenangkan mubahalah itu.

Tema ini dapat berpotensi untuk membuka konflik lebih lebar FPI dan pendukung Gus Dur. Seandainya benar-benar terjadi, kita sangat susah mengukur siapa yang dibela oleh Tuhan. Apakah jika Gus Dur meninggal dalam masa itu dapat dimaknai jika Habib Rizieq lah yang benar? Bukankah Gus Dur memang sudah sakit-sakitan. Gus Dur tiap minggu harus cuci darah di RSCM.

Jika kita merunut sejarah Ahmadiyah, konflik mereka dengan kelompok Islam lainnya disebabkan kegemaran da’i-da’inya menantang mubahalah ulama dan kyai yang ada di daerah dakwahnya. Inilah yang menmbulkan sikap antipati terhadap Ahmadiyah. Jadi bukan persoalan Mirza Ghulam sebagai nabi atau bukan. Jika tradisi ini diteruskan media sama saja mereka menumbuhkan sikap antipati diantara kelompok masyarakat.

Media sebaiknya beusaha mengarahkan tema-tema beritanya untuk menurunkan eskalasi pertantangan dan kekerasan. Mereka bisa saja mendorong pemerintah untuk bertindak tegas menjaga keamanan dan ketertiban. Polisi harus mampu menihilkan aksi kekerasan atas nama apapun. Media juga dapat mendorong budaya dialog dan sikap saling menghargai pendapat yang berbeda. Bisa saja, media memfasilitasi debat antar tokoh sehingga mejadi penyaluran konflik.

Saturday, June 7, 2008

Antara Isu BBM dan FPI

Kata BBM dan pemberitaan media. FPI mnjadi berita utama setelah menyerbu massa AKKBB yang berdemo di Monas, Minggu 1 Juni 2008. Sebelumnya berta media dihiasi soal BBM. Mulai pro-kontra kenaikan, kebijakan menaikkan harga BBM dan aksi mahasiswa yang menolaknya.

Ada sinyalemen kasus FPI hanya dijadikan sarana unuk mengalihkan isu. Entah benar atau tidak sinyalemen ini, pemerintah memang mendapat keuntungan dari perubahan isu di media. Pemerintah sedikit bisa bernapas lega stelah dijadikan sasaran tembak aksi mahasiswa. Ada blessing in disguisse di sini. Aku berpendapat, pemerintah tidak memiliki kesengajaan utuk mengalihkan isu. Tapi ada berka yang tak sengaja mereka dapatkan.

Media juga tidak salah ketika mengalihkan isu. Peristiwa Monas 1 Juni2008 begitu aktual. Pasti, media lebih memperhatikan hal yang lebih baru. Apalagi isu ini tak kalah besarnya dengan isu kenaikan BBM. Salah satu pertimbangan media dalam mengangat berita adalah kebaruan selain besarnya dampak peristiwa bagi masyarakat.

Pemerintah pasti berkepentingan untuk memelihara isu FPI ini agar soal BBM pelan-pelan hilang dari media. Seminggu ke depan, isu FPI masih menguasai pemberitaan media. Isu yang muncul adalah pembubaran FPI, penuntasan kasus Monas, perlawanan FPI, dan aksi balasan terhadap FPI.

Pengusung isu BBM terutama mahasiswa tampaknya harus lebih bersabar. Aksi dalam minggu ini nampaknya akan terasa sedikit ”sia-sia”. Media lebih nyaman mem”blow up” isu FP. Apalagi media memang lebih suka isu BBM segera hilang dari media.

Mahasiswa tampaknya harus ”tiarap” dulu sambil berkonsolidasi. Minggu depan, ketika isu FPI ini mereda, mahasiswa dapat mengambil momentum dengan aksi yang lebih kreatif dan massif. Ini hanya persoalan timing dan menciptakan momentum belaka.

Berita Soal Kasus Unas

Jika orang membaca blog ini, mungkin ada yang beranggapan aku membenci media. Anggapan itu terlalu berlebihan. Aku hanya mencoba mengungkapkan bagaimana politik media dalam memandang sebuah peristiwa. Dalam kasus kenaikan BBM, aku berpendapat media sangat berpihak pada pemerintah yang menaikkan harga BBM. Salah satunya adalah soal kasus penyerbuan polisi ke Unas.

Kasus ini adalah kasus besar dan menyita perhatian meda dan masyarakat. Ketika kasus ini terjadi, media memberi perhatian cukup besar. Berbagai wacana mengemuka di situ. Kontroversi penyerbuan polisi ke kampus, aksi anarkis mahasiswa, adanya granat di kampus, adanya ganja di sana dan sebagainya.

Lalu bagaimana kasus itu selanjutnya? Media selanjutnya melanjutkan perhatiannya pada aksi mahasiswa sebagai reaksi dari peristiwa ini. Aksi UKI yang memacetkan jalan, aksi Universitas Borobudur yang membuat ketakutan anak kecil dan kemudian aksi di Moestopoyang diwarnai penganiayaan terhadap anggota polisi. Lalu, bagaimana kelanjutan berita soal Unas?

Di sini media menampakkan keberpihakan pada pemerintah dan polisi. Berita soal Unas didominasi oleh upaya membebaskan mahasiswa Unas yang masih ditahan polisi. Pertama dari aksi orang tua mahasiswa yang menginap di Polres Jakarta Selatan. Kemudian mahasiswa Unas yang setiap hari mendemo Polres Jakarta Selatan. Tapi tidak ada media yang memberitakan bahwa 6 anggota polisi yang menyerbu Unas dinyatakan bersalah melanggar prosedur tetap (protap). Padahal ini adalah ujung dari kasus penyerbuan itu.

Saat itu, polisi selalu berdalih apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur. Seorang Andi Mallarangeng bahkan mengeluarkan pernyataan tidak ada yang melarang polisi masuk kampus. Aksi mahasiswa dikatakan anarkis. Keputusan itu meruntuhkan semuanya. Polisi lah yang anarkis,mahasiswa tidak.

Media tidak memberi perhatian pada soal ini. Kompas, sabtu 31 Mei 2008 meuat berita ini di halaman dalam ”Metropolis”. Selasa, 3 Juni 2008, Kompas kmbali memuat soal akan diajukannya 6 anggota kepolisia ke sidang propam atas kasus yang sama. Kembali, Kompas hanya memuat di halaman dalam ”Metropolis”. Media lain tak terdengar kabar beritanya.

Jika media memberi perhatian yang sama, aku yakin dapat memulihkan citra mahasiswa yang dicap anarkis dan merugikan masyarakat. Media tampaknya tidak ingin mahasiswa memiliki nama harus di masyarakat. Polisi yan dinyatakan bersalah pun akhirnya hanya bagian dari berita kriminal biasa.

Media bisa saja berdalih isu ini tidak seksi lagi. Ada isu lain yang lebih hangat terutama kasus penyerbuan FPI terhadap AKKBB di Monas. Tapi keputusan polisi melanggar prosedur tetap harusnya memberi spirit pada mahasiswa bahwa merekalah nurani rakyat sesungguhnya. Meskipun mereka digambarkan merugikan masyarakat.

Pemerintah Pisahkan Mahasiswa Dengan Masyarakat

Jika kita perhatikan, pemerintah atau pihak-pihak yang pro kenaikan BBM menggunakan strategi memisahkan gerakan mahasiswa dengan masyarakat. Mereka menggunakan media untuk menunjukkan bahwa apa yang disuarakan mahasiswa bukanlah apa yang diinginkan masyarakat. Pemerintah melalui media mencoba melokalisir isu kenaikan BBM menjadi isu mahasiswa bukanlah isu masyarakat.

Bagaimana hal ini dilakukan? Media sangat gencar memberitakan soal Bantuan Langsung Tunai (BLT). Mereka memberitakan bagaimana masyarakat “miskin” rela bersusah payah antre untuk menerima BLT. Melalui cara ini, media ingin mengkonstruksikan bahwa yang menolak kenaikan BBM itu Cuma mahasiswa. Masyarakat bisa menerima kebijakan ini, yang dibuktikan dengan mereka menyambut gembira penyaluran BLT.

Media tampaknya sengaja tidak ingin mengeksplorasi lebih jauh apakah benar sikap masyarakat yang menerima penyaluran BLT otomatis menerima kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Bukankah masyarakat miskin memang akan dengan senang hati jika ada yang memberi uang, karena mereka sangat membutuhkannya. Tapi jika dikaitkan dengan penerimaan terhadap kebijakan kenaikan BBM, kita harus membuktikan lebih jauh.

Melalui pemberitaan BLT yang gencar, media terlihat ingin mengkonstruksikan bahwa pernyataan Wapres Kalla bahwa subsidi hanya untuk orang kaya adalah valid. Pemerintah telah mengalihkan subsidi hanya untuk orang miskin melalui penyaluran dana BLT. Media lupa bahwa orang kaya tidak pernah terkena pengaruh kenaikan harga BBM. Mereka tidak pernah peduli apakah BBM mau dinaikkan atau tidak. Justru orang miskin lah yang semakin dijauhkan dari akses terhadap BBM. Apakah dengan BLT sebesar Rp 100.000,- per bulan, masyarakat seperti Mbok Sarmi penjualan gorengan, Pak To penjual pecel dan golongan masyarakat miskin lainnya masih tetap bisa membeli minyak tanah atau elpiji untuk kebutuhan memasak sehari-hari?

Jika media memang memiliki keberpihakan terhadap nasib masyarakat kecil, hal ini harusnya dieksplorasi. Di sinilah sebenarnya suara hati masyarakat yang ingin disuarakan mahasiswa. Media harusnya ingat dengan pernyataan Aburizal Bakrie saat kenaikan BBM 2 tahun yang lalu. Saat itu, Ical yang katanya Forbes orang terkaya di Asia Tenggara mengatakan ”jika tidak mampu beli Elpiji ya jangan pakai Elpiji”. Pernyataan ini relevan dengan situasi sekarang.

Media juga mengkonstruksi terpisahnya aksi mahasiswa dengan masyarakat dengan cara tidak menurunkan berita soal inti tuntutan mahasiswa tapi efek negatif dari aksi itu. Detik.com misalnya. Dalam berita tentang aksi mahasiswa Atmajaya selalu menekankan pada macetnya Jalan Sudirman akibat demo itu. Pada berita 30 Mei 2008, Detik .Com menurunkan berita jalan Sudirman matot (macet total) sehingga akses dari Bunderan HI ke Blok M terputus. Detik.Com hanya mengambil sumber berita petugas TMC Polda Metro Jaya.
Jika kita membaca berita itu, Detik.Com ingin mengkonstruksikan bahwa masyarakat sebenarnya tidak menginginkan demo mahasiswa Atmajaya. Masyarakat justru mendapat kesusahan dengan demo itu, karena jalanan menjadi macet total. Apalagi Detik.Com sama sekali tidak mencari sumber berita dari pelaku aksi. Detik.Com juga tidak mengeksplorasi apakah benar masyarakat tidak terwakili dengan tuntutan yang disuarakan mahasiswa dalam aksi itu. Kalangan bermobil yang terkena kemacetan mungkin tidak terwakili. Tapi untuk masyarakat miskin jawabannya bisa lain.

Teman-teman mahasiswa mungkin harus menunjukkan bagaimana mahasiswa bersatu dengan masyarakat. Selama ini mungkin dukungan masyarakat terhadap aksi mahasiswa menjadi mayoritas diam (silent majority). Media memang tidak pernah mengungkapkan itu sebab mereka punya agenda untuk menggambarkan bahwa aksi mahasiswa tidak didukung oleh masyarakat. Jika dukungan itu sedikit diekspose ke permukaan akan dapat menjawab bagaimana fakta yang sesungguhnya.

Friday, May 30, 2008

Mahasiswa: Bermain Cantiklah

Media nampaknya sudah “disetir” oleh penguasa dalam pemberitaan media. Mahasiswa harus lebih berhati-hati dan bermain cantik dalam melakukan aksi. Jika ada aksi yang dapat digunakan untuk “menembak” aksi mahasiswa, pasti akan diblow up habis-habisan. Dua contoh nyata telah terpampang. Pertama, adegan penganiayaan polisi di Universitas Moestopo. Kedua, adegan penghadangan mobil plat merah yang di dalamnya ada anak kecil.

Mahasiswa jangan sampai memberikan kesempatan kepada media untuk menembak aksimu. Jika demikian, tentu mahasiswa akan dapat “mempermalukan” media dengan telak. Apalagi jika mahasswa mampu merancang aksi yang begitu kreatif. Mungkin mahasiswa perlu untuk cooling down, tapi bukan untuk tiarap melainkan mempersiapkan diri untuk aksi yang lebih massif dan kreatif.

Liputan 6 SCTV Terkena Amnesia Sejarah

Penguasa tampaknya sudah berhasil membangun kolaborasi yang harmonis dengan pemodal untuk menyetir pemberitaan.Termasuk Liputan 6 SCTV. Di sini kekecewaanku lebih besar dibandingkan terhadap ANTV. ANTV jelas dimiliki oleh Aburizal Bakrie, sehingga mudah mengetahui kemana keberpihakannya. Tapi Liputan 6 SCTV pernah memiliki prestasi dalam reformasi 1998 dengan melawan tekanan pemiliknya yang keluarga Cendana. Aku pun memilih Liputan 6 sebagai tempat penelitian skripsi. Aku merasa tak berlebihan untuk mengatakan Liputan 6 SCTV adalah barometer independensi media di Indonesia. Media lain boleh tidak independen, tapi tidak dengan Liputan 6.

Tapi, keyakinanku tentang Liputan 6 luntur karena berita-beritanya seputar kenaikan BBM. Liputan 6 Petang, Rabu 28 Mei 2008 memberitakan tentang sopir angkot yang melakukan pemogokan. Memang peristiwanya demikian. Tapi Liputan 6 menggambarkan bahwa sopir angkot yang mogok telah mengakibakan penumpang terlantar. Benar demikian. Tapi, Liputan 6 melupakan pertanyaan kenapa sopir angkot sampai mogok menuntut kenaikan tarif.

Liputan 6 mengkonstruksikan bagaimana sopir angkot adalah pihak yang egois, mau memang sendiri, tak peduli dengan penumpang dan hanya mau untung sendiri. Tapi Liputan 6 tidak pernah menyebutkan ini sebagai akibat kenaikan BBM. Apalagi menggambarkan bagaimana beratnya beban para sopir angkot itu. Lebih jauh lagi menggambarkan betapa berat beban yang harus ditanggung masyarakat kecil akibat kebijakan kenaikan harga BBM.

Liputan 6 juga semakin tersetir ketika mereka berulang kali menayangkan adegan penganiayaan terhadap polisi saat demontrasi di Universitas Moestopo. Mereka melabeli dengan mengapa demo mahasiswa begitu anarkis. Mereka tampaknya lupa ini terkait langsung dengan peristiwa UNAS. Kenapa Liputan 6 tidak memberikan porsi yang besar kepada tindakan polisi menyerbu UNAS. Apalagi menyelidiki apakah benar granat, ganja yang ditemukan di sana adalah milik mahasiswa UNAS. Bukankah sering dimuat di berbagai milis peringatan agar kita berhati-hati jika dirazia polisi. Karena, mereka bisa saja memasukkan ganja atau narkotika untuk menjerat kita. Kenapa Liputan 6 tidak mengembangkan kemungkinan itu untuk mengalihkan isu.

Sekedar mengingatkan saja, Liputan 6 pernah memiliki prestasi mengungkap kekerasan di STPDN (kini berubah menjadi IPDN). Pemerintah kebakaran jenggot saat itu. Tapi masyarakat berpihak kepada Liputan 6. Sehingga memaksa pemerintah melakukan reformasi dalam tubuh STPDN. Dimana keberanian itu sekarang? Dimana pemihakan Liputan 6 kepada rakyat. Ataukah sejarah itu telah tinggal menjadi kenangan.

Tampaknya demikian. Ketika aku mengkonfirmasi pada teman yang bekerja di SCTV, dia pun merasakan ada upaya untuk menyetir pemberitaan. Tapi sekali lagi, brain washing terhadap para jurnalis ini sudah sedemikian rupa sehingga hasilnya pun demikian dahsyatnya.