Cangkem Turah: Bukan Sekedar Cangkeman
Tapi Salah Satu Bentuk Media Literacy
Seminggu yang lalu, tepatnya 21 Maret 2007 aku ikut diskusi tentang estetika fil Indonesia sekarang. Kebetulan salah satu pembicaranya adalah Mas Budi Ir (Budi Irawanto), dosenku di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Diskusi itu sendiri diselenggarakan di Teater Utan Kayu (TUK), Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur.
Salah satu pembicaraan yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah ketidakberdayaan penonton film di Indonesia. Jika penonton televisi, tidak suka dengan acaranya, maka dia bisa memindah ke channel lainnya. Atau jika mereka tidak puas dapat mengadu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi kalau penonton film, masuk ke gedung bioskop pun harus membeli tiket. Belum lagi harus membeli pop corn dan Coca Cola sebagai teman menikmati film. Tapi jika sudah sampe di dalam tidak ada yang bisa mereka perbuat bila fim yang diputar tidak memuaskan keinginannya. Mau nyuruh ganti filmnya tidak mungkin. Paling mungkin adalah penonton itu keluar dari gedung bioskop meski film belum habis.
Salah satu solusi alternatif yang dikembangkan adalah penonton menuliskan apresiasi atas film yang mereka tonton dalam bentuk website, blog atau milis. Cara ini dianggap sebagai bentuk keberdayaan penonton film atas dominasi industri. Menurut Mas Eric Sasono, salah satu pembicara dalam diskusi ini, pekerja film ternyata memperhatikan perbincangan tentang film mereka yang berkembang di milis atau blog. Dari sisi ini penonton dapat memberi umpan balik kepada pekerja film.
Lalu apa hubungannya dengan blog “cangkem turah” ini? Aku tertarik mengadopsi pemikiran itu dalam konteks televisi. Memang penonton televisi dapat berpindah channel atau mengadu ke KPI. Tapi publik sekali lagi tidak punya kuasa apa-apa. Jika mengadu ke KPI, mereka tidak bisa mengontrol tindakan KPI selanjutnya. Benar nggak sih KPI menindak stasiun TV yang kita adukan? Toh yang bertemu hanya pihak KPI dan stasiun TV. Sebenarnya penonton TV pun sama tidak berdayanya dengan penonton film. Maka perlu adanya sebuah upaya memberdayakan penonton TV atau dalam istilah ilmu komunikasi dikenal sebagai “media literacy”.
Dari situ aku ingin menegaskan kembali bahwa blog “Cangkem Turah” ini merupakan seabuah bentuk media literacy dimana aku ingin menunjukkan keberdayaanku sebagai konsumen. Sebagaimana telah kujelaskan dalam pengantar blog-ku ini, cangkem turah bertujuan untuk menyoroti pernyataan pejabat yang asal bunyi atau asal ngomong di media massa.
Jadi, semua yang aku tulis di sini aku maksudkan memberi umpan balik atas segala yang aku baca atau aku tonton di media massa. Dengan ini, minimal aku tidak “mbudegi” atas segala yang ditampilkan media.
Bahkan istilah “cangkem turah” yang kupakai pun bukannya tanpa alasan. Kata ini cukup kasar untuk beberapa kelompok masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak heran jika Wendra, salah satu kawan akrabku (Baca tulisan Ngisor Kepel, Area Cangkem Turah) sempat bertanya, “Sol, kok kamu kasar banget pake istilah cangkem?”. Aku menjawab, aku memang geregetan dengan pernyataan pejabat yang terkesan asal bunyi. Celakanya, media massa pun mengamini dengan memuatnya sebagai berita. Rasa jengkelku membawaku memakai “Cangkem Turah” sebagai nama blog.
Meski dilandasi kejengkelan, aku tidak berpretensi untuk memberi masukan kepada pekerja TV. Aku tidak mau berpikir sejauh itu. Jika kegelisahanku ini sampe ke sana ya syukur. Jika tidak, yang paling penting aku bisa meluapkan segala keresahan atas kepura-puraan yang ditampilkan media. Wis pokoke nyangkem. Titik.
Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 28 Maret 2007
9.41 WIB
Resah, jengkel, bingung. Wis pokoke mumet.
Tapi Salah Satu Bentuk Media Literacy
Seminggu yang lalu, tepatnya 21 Maret 2007 aku ikut diskusi tentang estetika fil Indonesia sekarang. Kebetulan salah satu pembicaranya adalah Mas Budi Ir (Budi Irawanto), dosenku di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Diskusi itu sendiri diselenggarakan di Teater Utan Kayu (TUK), Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur.
Salah satu pembicaraan yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah ketidakberdayaan penonton film di Indonesia. Jika penonton televisi, tidak suka dengan acaranya, maka dia bisa memindah ke channel lainnya. Atau jika mereka tidak puas dapat mengadu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi kalau penonton film, masuk ke gedung bioskop pun harus membeli tiket. Belum lagi harus membeli pop corn dan Coca Cola sebagai teman menikmati film. Tapi jika sudah sampe di dalam tidak ada yang bisa mereka perbuat bila fim yang diputar tidak memuaskan keinginannya. Mau nyuruh ganti filmnya tidak mungkin. Paling mungkin adalah penonton itu keluar dari gedung bioskop meski film belum habis.
Salah satu solusi alternatif yang dikembangkan adalah penonton menuliskan apresiasi atas film yang mereka tonton dalam bentuk website, blog atau milis. Cara ini dianggap sebagai bentuk keberdayaan penonton film atas dominasi industri. Menurut Mas Eric Sasono, salah satu pembicara dalam diskusi ini, pekerja film ternyata memperhatikan perbincangan tentang film mereka yang berkembang di milis atau blog. Dari sisi ini penonton dapat memberi umpan balik kepada pekerja film.
Lalu apa hubungannya dengan blog “cangkem turah” ini? Aku tertarik mengadopsi pemikiran itu dalam konteks televisi. Memang penonton televisi dapat berpindah channel atau mengadu ke KPI. Tapi publik sekali lagi tidak punya kuasa apa-apa. Jika mengadu ke KPI, mereka tidak bisa mengontrol tindakan KPI selanjutnya. Benar nggak sih KPI menindak stasiun TV yang kita adukan? Toh yang bertemu hanya pihak KPI dan stasiun TV. Sebenarnya penonton TV pun sama tidak berdayanya dengan penonton film. Maka perlu adanya sebuah upaya memberdayakan penonton TV atau dalam istilah ilmu komunikasi dikenal sebagai “media literacy”.
Dari situ aku ingin menegaskan kembali bahwa blog “Cangkem Turah” ini merupakan seabuah bentuk media literacy dimana aku ingin menunjukkan keberdayaanku sebagai konsumen. Sebagaimana telah kujelaskan dalam pengantar blog-ku ini, cangkem turah bertujuan untuk menyoroti pernyataan pejabat yang asal bunyi atau asal ngomong di media massa.
Jadi, semua yang aku tulis di sini aku maksudkan memberi umpan balik atas segala yang aku baca atau aku tonton di media massa. Dengan ini, minimal aku tidak “mbudegi” atas segala yang ditampilkan media.
Bahkan istilah “cangkem turah” yang kupakai pun bukannya tanpa alasan. Kata ini cukup kasar untuk beberapa kelompok masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak heran jika Wendra, salah satu kawan akrabku (Baca tulisan Ngisor Kepel, Area Cangkem Turah) sempat bertanya, “Sol, kok kamu kasar banget pake istilah cangkem?”. Aku menjawab, aku memang geregetan dengan pernyataan pejabat yang terkesan asal bunyi. Celakanya, media massa pun mengamini dengan memuatnya sebagai berita. Rasa jengkelku membawaku memakai “Cangkem Turah” sebagai nama blog.
Meski dilandasi kejengkelan, aku tidak berpretensi untuk memberi masukan kepada pekerja TV. Aku tidak mau berpikir sejauh itu. Jika kegelisahanku ini sampe ke sana ya syukur. Jika tidak, yang paling penting aku bisa meluapkan segala keresahan atas kepura-puraan yang ditampilkan media. Wis pokoke nyangkem. Titik.
Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 28 Maret 2007
9.41 WIB
Resah, jengkel, bingung. Wis pokoke mumet.