Wednesday, March 28, 2007

Tentang Blog Cangkem Turah

Cangkem Turah: Bukan Sekedar Cangkeman
Tapi Salah Satu Bentuk Media Literacy


Seminggu yang lalu, tepatnya 21 Maret 2007 aku ikut diskusi tentang estetika fil Indonesia sekarang. Kebetulan salah satu pembicaranya adalah Mas Budi Ir (Budi Irawanto), dosenku di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Diskusi itu sendiri diselenggarakan di Teater Utan Kayu (TUK), Jalan Utan Kayu 68 H Jakarta Timur.

Salah satu pembicaraan yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah ketidakberdayaan penonton film di Indonesia. Jika penonton televisi, tidak suka dengan acaranya, maka dia bisa memindah ke channel lainnya. Atau jika mereka tidak puas dapat mengadu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Tapi kalau penonton film, masuk ke gedung bioskop pun harus membeli tiket. Belum lagi harus membeli pop corn dan Coca Cola sebagai teman menikmati film. Tapi jika sudah sampe di dalam tidak ada yang bisa mereka perbuat bila fim yang diputar tidak memuaskan keinginannya. Mau nyuruh ganti filmnya tidak mungkin. Paling mungkin adalah penonton itu keluar dari gedung bioskop meski film belum habis.

Salah satu solusi alternatif yang dikembangkan adalah penonton menuliskan apresiasi atas film yang mereka tonton dalam bentuk website, blog atau milis. Cara ini dianggap sebagai bentuk keberdayaan penonton film atas dominasi industri. Menurut Mas Eric Sasono, salah satu pembicara dalam diskusi ini, pekerja film ternyata memperhatikan perbincangan tentang film mereka yang berkembang di milis atau blog. Dari sisi ini penonton dapat memberi umpan balik kepada pekerja film.

Lalu apa hubungannya dengan blog “cangkem turah” ini? Aku tertarik mengadopsi pemikiran itu dalam konteks televisi. Memang penonton televisi dapat berpindah channel atau mengadu ke KPI. Tapi publik sekali lagi tidak punya kuasa apa-apa. Jika mengadu ke KPI, mereka tidak bisa mengontrol tindakan KPI selanjutnya. Benar nggak sih KPI menindak stasiun TV yang kita adukan? Toh yang bertemu hanya pihak KPI dan stasiun TV. Sebenarnya penonton TV pun sama tidak berdayanya dengan penonton film. Maka perlu adanya sebuah upaya memberdayakan penonton TV atau dalam istilah ilmu komunikasi dikenal sebagai “media literacy”.

Dari situ aku ingin menegaskan kembali bahwa blog “Cangkem Turah” ini merupakan seabuah bentuk media literacy dimana aku ingin menunjukkan keberdayaanku sebagai konsumen. Sebagaimana telah kujelaskan dalam pengantar blog-ku ini, cangkem turah bertujuan untuk menyoroti pernyataan pejabat yang asal bunyi atau asal ngomong di media massa.

Jadi, semua yang aku tulis di sini aku maksudkan memberi umpan balik atas segala yang aku baca atau aku tonton di media massa. Dengan ini, minimal aku tidak “mbudegi” atas segala yang ditampilkan media.

Bahkan istilah “cangkem turah” yang kupakai pun bukannya tanpa alasan. Kata ini cukup kasar untuk beberapa kelompok masyarakat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak heran jika Wendra, salah satu kawan akrabku (Baca tulisan Ngisor Kepel, Area Cangkem Turah) sempat bertanya, “Sol, kok kamu kasar banget pake istilah cangkem?”. Aku menjawab, aku memang geregetan dengan pernyataan pejabat yang terkesan asal bunyi. Celakanya, media massa pun mengamini dengan memuatnya sebagai berita. Rasa jengkelku membawaku memakai “Cangkem Turah” sebagai nama blog.

Meski dilandasi kejengkelan, aku tidak berpretensi untuk memberi masukan kepada pekerja TV. Aku tidak mau berpikir sejauh itu. Jika kegelisahanku ini sampe ke sana ya syukur. Jika tidak, yang paling penting aku bisa meluapkan segala keresahan atas kepura-puraan yang ditampilkan media. Wis pokoke nyangkem. Titik.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 28 Maret 2007
9.41 WIB
Resah, jengkel, bingung. Wis pokoke mumet.

Cangkem Turahe Anggota DPR

Kisah Laptop 21 Juta Anggota DPR
Tak Selucu Laptopnya Thukul


Seminggu ini media massa telah memberi suguhan berita tentang rencana pemberian laptop kepada seluruh anggota DPR. Total ada 550 laptop yang masing-masing bernilai 21 juta rupiah akan dibagikan. Mau tidak mau, kita pasti akan membandingkan dengan Mas Thukul. Ucapan Thukul “balik maning neng laptop” telah membuat telinga masyarakat akrab dengan kata laptop. Entah mau memanfaatkan momentum atau bagaimana, sekjen DPR melansir pemberitaan bertepatan dengan ngetopnya bintang Thukul.

Kisah laptop anggota DPR ternyata tidak selucu laptop si Thukul. Jika Thukul melalui cangkem turahnya mampu “menurunkan” derajat laptop menjadi memasyarakat, anggota DPR justru “menurunkan” derajatnya sendiri. Bagaimana tidak alasan-alasan yang dikemukakan anggota DPR itu menunjukkan “cangkem turahnya”. Tak pelak, berbagai kelompok masyarakat menjadikannya sansak yang dipukul kanan dan kiri.

Anggota DPR yang setuju diberi laptop beralasan pemberian itu akan meninagkatkan kinerjanya. Orang Tulungagung akan menyebut alasan seperti ini sebagai asal njeplak atau cangkem turah. Tidak ada hubungan yang signifikan pemberian laptop dengan peningkatan kinerja anggota DPR. Pengalamanku berhubungan dengan angaagota DPR tidak menunjukkan tanda-tanda mereka membutuhkan laptop.

Pola kerja anggota DPR selama ini membuat mereka sangat bergantung kepada data yang dipasok pada mereka. Satu anggota DPR biasanya memiliki tugas rangkap. Menjadi anggota komisi, anggota pansus beberapa undang-undang, belum tugas esebagai pengurus partai. Mereka sangat mementingkan mobilitas tinggi. Seringkali mereka mengikuti rapat komisi hanya untuk sekedar bertanya lalu keluar untuk mengikuti rapat lainnya. Lalu untuk apa mereka diberi laptop. Apa untuk sekedar bahan tentengan ke sana kemari. Nggak mungkinlah, wong bawa berkas saja mereka selalu nyuruh sekretaris pribadinya.

Mungkin anggota DPR berpikiran mereka dapat menyimpan data yang mereka perlukan di laptop sehingga tinggal buka saat rapat. Kayaknya alasan ini juga waton nylekop. Selama ini anggota DPR hampir tidak punya waktu untuk melakukan riset persoalan-persoalan yang harus mereka tangani. Wakil rakyat kita ini sangat mengandalkan bahan yang dikumpulkan asistennya atau bahan loby yang diberikan pihak luar. Itupun jarang yang mereka baca. Waktu rapat pun argumen-argumen yang mereka lontarkan seringkali berasal dari fraksi balkon. Penonton sidang ini mengirimkan sms ke anggota DPR untuk dikemukakan dalam rapat. Apa masih ada gunanya laptop bagi anggota dewan yang terhormat itu? Jelas tidak.

Lalu apa yang diperlukan para wakil kita ini? Berdasar pengalamanku mereka lebih membutuhkan staf ahli. Seringkali jika bertemu anggota DPR, dia selalu mengeluhkan minimnya staf ahli yang dapat memback up permasalahan yang sangat banyak. Asisten anggota DPR yang sudah ada lebih banyak berperan sebagai sekretaris pribadi. Anggota dewan yang terhormat selalu mebandinagkan dengan koleganya di Filipina yang mendapat 4-5 staf ahli per anggota. Inilah yang membuat DPR Filipina lebih berdaya dibanding DPR RI. Jika DPR berniat memberdayakan dirinya sendiri, harusnya mereka menganggarkan keperluan staf ahli ini. Bukan malah ingin menyaingi Thukul. Mereka harus sadar diri lelucon yang mereka buat sangat tidak lucu.

Syukurlah, setelah Faisoldihantam kanan-kiri, DPR membatalkan lelucon ini. Di sini peranan media sangat besar. Seluruh media memblow-up isu ini sehingga memberi kesemapatan publik untuk ikut memberi tekanan ke DPR. Sekali lagi media memberikan contoh betapa kuatnya tekanan yang ditimbulkan dari pemberitaannya.

Kita juga dapat belajar, jika ingin menekan pemerintah dan DPR cara paling ampuh adalah merebut opini media. Memang hal ini sangat sulit tapi dengan tekanan tanpa henti ini bukan suatu hal yang mustahil.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 28 Maret 2007
8.35 WIB
Emosi liat tingkah polah anggota dewan.

Wednesday, March 21, 2007

Serial Cangkem Turah Republik Mimpi (2)

Membedakan Sofyan Djalil sebagai Pribadi atau Menteri

Aku kembali membuat catatan dari tayangan Republik Mimpi, 18 Maret 2007. Ini catatan kedua yang aku buat. Sebelumnya aku menulis tentang dekrit Presiden SBY (Si Butet Yogya). Kali ini aku ingin mengomentari soal “cangkem turahe” (pernyataan maksude) Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Republik Indonesia.

Pada kesempatan tersebut, Sofyan Djalil menyatakan masalah wacana somasi terhadap acara Republik Mimpi merupakan sikap pribadi. Dia mengatakan, secara pribadi memang tidak sepakat dengan konsep Republik Mimpi. Acara ini dianggapnya melecehkan pemimpin. Dia berpendapat hal ini akan mengakibatkan delegitimasi kepemimpinan. Masyarakat akan kehilangan pedoman jika pemimpinnya dilecehkan atau dibuat mainan.

Pak Menteri kemudian menambahkan, wacana somasi hanyalah rencana dirinya dan dia lemparkan menjadi wacana publik. Aku kira menteri kita ini ingin melempar batu ke dalam air untuk ngetes apakah masyarakat pro ke dia atau tidak. Kalau banyak yang pro pasti dia akan somasi acara Republik Mimpi. Kebetulan, reaksi atas rencana itu negative, dia pun mengurungkan niatnya dan bahkan datang langsung ke acara tersebut untuk mengklarifikasi.

Dari sekian banyak “cangkemane” (pernyataan) Pak Sofyan ini yang membuat aku tergelitik adalah dia menyatakan diri sebagai pribadi. Artinya Sofyan Djalin ingin memisahkan dirinya sebagai menteri dan pribadi. Aku nggak tahu mengapa Sofyan Djalil harus membuat penegasan sebagai pribadi. Apa karena takut sebagai menteri dituduh mengintervensi kemerdekaan pers. Atau takut “mengotori” tebar pesonanya pemerintahan SBY. Entahlah, bagiku itu tak penting. Yang pasti, pernyataan Sofyan Djalil tidak bisa dipisahkan antara dia sebagai menteri atau sebagai pribadi. Keduanya melekat pada dirinya.

Mengapa aku berkata demikian? Pada kesempatan tersebut Sofyan Djalil mengisahkan kata somasi muncul gara-gara dia ditanya oleh wartawan. Wartawan tidak mungkin mencari pernyataan Sofyan Djalil sebagai pribadi untuk ngomentari tayangan televisi. Dia sebagai ahli ekonomi akan lebih kompeten ditanya soal BUMN atau pasar modal. Jelas sekali wartawan menginginkan pernyataan Sofyan Djalil sebagai Menkominfo.

Sebelum Sofyan Djalil ada pernyataan dari tokoh masyarakat Tionghoa mengungkapkan ketidaksetujuan atas acara Republik Mimpi. Tapi mengapa “cangkeman” tokoh Tionghoa ini tidak seheboh kata-kata Pak Sofyan? Jelas sekali ini berkait prinsip “the name make news”. Nama besar tokoh akan mempengaruhi gaung omongannya. Lalu bagaimana kita bisa membedakan Sofyan Djalil sebagai menteri atau pribadi.

Mungkin Sofyan Djalil juga harus melihat dampak dari rencana somasinya itu. Menurut Effendi Gazhali, akibat ketakutan akan somasi itu, Sampoerna mengundurkan diri jadi sponsor utama. Memang alasannya kontrak Sampoerna dengan Republik Mimpi sudah habis dan tidak diperpanjang lagi. Tapi bau somasi sangat terasa di sini. Kita tentu masih ingat tergusurnya acara “Republik BBM” alrmahum dari Indosiar. Alasan yang mengemuka kontrak yang sudah habis. Kenyataannya tekanan “istana” sangat berperan di situ. Bagaimana mungkin TV swasta menghapus tayangan yang punya rating bagus?

Untung saja “Republik Mimpi” tetap tayang lagi. Perlawanan berbagai kelompok masyarakat dan keberanian Metro TV telah memaksa Sofyan Djalil berfikir lagi soal somasi. Dan dia pun tidak bisa berdalih tindakannya ini dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Efek yang dia timbulkan menunjukkan kapasitasnya sebagai menteri. Sebagai masyaralat kita harus mencatat bahwa Sofyan Djalil pernah berambisi untuk membonsai kemerdekaan media. Dan ini akan menjadi rekam jejak kiprahnya di kemudian hari.

Selain itu, geliat Sofyan Djalil ini menunjukkan bagaimana pandangan pemerintahan SBY terhadap media massa. Dulu, mereka berhasil menekan Indosiar untuk menghentikan acara “Republik BBM”. Tapi noda sempat terciprat ke tangan sang penguasa. Kini dengan modus yang sama ,mereka menggunakan tangan menterinya untuk menjadi algojo. Dan ini juga akan menambah panjang rekam jejak sikap pemerintahan SBY yang tidak bersahabat dengan kemerdekaan media.

Cangkem Turahe Faisol
21 Maret 2007
18.40 WIB
Habis makan sambal pete, mak nyusss

Tuesday, March 20, 2007

Cangkem Turahe Kejaksaan Agung

Melarang Peredaran Buku Sejarah
Kayak Kejakgung  Paham Sejarah Saja

Kejaksaan Agung mengeluarkan surat edaran yang melarang peredaran buku sejarah kurikulum 2004. Kejakgung beralasan buku-buku itu memutarbalikkan fakta karena hanya menyebut kata G 30 S tanpa embel-embel PKI. Siswa pun diharuskan belajar sejarah berdasar kurikulum 1994.

Tindakan kejakgung ini bukan hal yang baru. Salah satu kerjaan lembaga ini memang melarang peredaran buku yang dianggap “meresahkan” penguasa. Setelah lama tak berbunyi semenjak reformasi, kejakgung sudah merasa kini waktunya untuk bertaring lagi. Dan PKI adalah pihak potensial untuk dijadikan sansak karena tak mungkin melawan lagi.

Lagu lama kejakgung ini menggemaskan juga. Jelas sekali ini hanya sekedar cangkem turahe pejabat kejaksaan agung. Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan penilaian terhadap sejarah sementara bukanlah ahli sejarah? Bagaimana mungkin kejaksaan agung bisa menilai tidak dicantumkannya kata PKI dalam buku sejarah sebagai pemutarbalikan fakta? Sementara sejarawan-sejarawan sendiri masih belum bisa memastikan apakah PKI benar-benar terlibat dalam peristiwa tersebut atau tidak?

Orang Tulungagung menyebut kejaksaan agung ini “sukur ngablak”. Maksudnya dia asal ngomong tanpa dilandasi argument yang jelas. Kalau aku melihat lembaga ini seperti kurang kerjaan. Wong menegakkan hukum saja masih ngos-ngosan kok ya sempat-sempate ngurus yang bukan porsinya. Apa kejaksaan agung beranggapan penghilangan kata PKI merupakan pelanggaran hukum?

Jika iya, kita patut khawatir dengan tindakan kejaksaan agung ini. Artinya, pemerintah sudah berpikir untuk menerapkan gaya-gaya lama memonopoli kebenaran. Orde baru melalui institusi kejaksaan agung paling doyan melarang peredaran buku yang menyinggung kekuasaannya. Bukunya Subadio, kemudian Prima Dosa atau bukunya Vatikiotis termasuk buku-buku yang pernah dilarang. Buku-buku itu dianggap menelanjangi penyelewengan Soeharto. Paling fenomenal tentu saja pelarangan buku-buku Pramoedya, hanya gara-gara dikaitkan dengan PKI.

Tindakan kejakgung ini bukan kebetulan berkaitan dengan pembubaran diskusi di salah satu toko buku di Bandung (aku lupa namanya) dan pembubaran konferensi daerah Partai Pembebasan Nasional (Papernas) Jawa Timur di Batu. Sebelumnya peringatan hari HAM di berbagai daerah juga dibubarkan massa beratribut Islam dengan alasan menyebarkan paham komunis.

Pelarangan buku sejarah ini aku kira hanya jadi pintu masuk bagi pemerintah memberangus kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi. Hantu komunisme hanya menjadi kedok pembenaran tindakan mereka. Komunis telah lama mati dan tidak perlu dipersoalkan lagi. Lebih berbahaya lagi jika pemerintah menarik semua buku pelajaran yang tidak menyenangkan hati mereka. Kan gawat, pelajaran sekolah disesuaikan selera penguasa.

Atau, pemerintah memiliki pertimbangan politis untuk menarik buku ini. Misalnya meraih simpati umat islam menjelang pemilu 2009. Mungkin juga, tapi sing jelas Kejakgung kurang kerjaan.

Cangkem turahe Faisol
UK, 20 Maret 2007
12.19 WIB
Menunggu makan siang yang lama sekali


Monday, March 19, 2007

Serial Cangkem Turah Republik Mimpi (1)

Cangkem Turahe SBY (Si Butet Yogya)
Dekrit Republik ke Kerajaan ke Republik Lagi
Hanya Ada di Republik Mimpi


Tayangan News dot. Com di Metro TV semalam (18 Maret 2006) memberikan aku ide untuk menuliskan sesuatu di blog ini. Aku berencana membuat beberapa tulisan terkait dengan tayangan itu. Ya semacam serial cangkem turah dari Republik Mimpi. Rencananya ada lima cangkem turah tentang republik mimjpi. Makanya aku nggak berani nyebut trilogi atau tetralogi. Kalau itu kan semacam “hak miliknya” sastrawan. Mending istilah serial ajalah.

Tayangan News Dot Com kemarin dibuka dengan dekrit Raja Butet yang menyatakan Kerajaan Mimpi beralih kembali menjadi Republik Mimpi. Padahal baru seminggu sebelumnya, dia mengeluarkan dekrit merubah republik menjadi kerajaan mimpi. Jenenge yo cangkem turah. Ketika ditanya kok dekritnya berganti-ganti seenaknya, Butet enteng aja menjawab ya terserah dia to. Raja kan bebas mau dekrit bentuk apa dan berapa kali. Asem tenan.

Dekrit Butet ini terkait dengan rencana somasi oleh Sofyan Djalil. Tapi opini publik yang kuat mendukung Republik Mimpi, maka somasi pun urung dilayangkan. Ketika isu somasi sedanng hangat, Butet merubah bentuk republik menjadi kerajaan dan dia menjadi rajanya. Tapi ketika rencana somasi surut dia pun dekrit lagi merubah kerajaan menjadi republik. Tentang somasi ini akan saya tulis di serial berikutnya. Jadi jangan kemana-mana. Jangan Cuma BBM, “baru bisa mimpi”. Lo, malah ikut iklannya Republik Mimpi.

Kembali ke dekritnya Butet tadi. Memang benar kata Butet, terserah dia mau dekrit kapan saja dan isinya apa. Toh namanya juga Republik Mimpi. Ethok-ethokan kan. Tak lebih dari orang main kethoprak dan raja-rajaan. Skenario mau ditulis seperti apa juga terserah. Butet sendiri saat dekrit menjadi kerajaan juga bilang, ini pura-ouranya main raja-rajaan. Sing penting kan penonton ketawa dan somasi pun tiada.

Namun, aku menangkap pesan pendidikan politik yang cukup hebat dari seorang Butet. Tindakannya merubah bentuk negara seenaknya sendiri menyadarkan kepada kita namanya negara bukanlah sesuatu yang abadi. Negara merupakan sesuatu yang dibentuk atas kesepakatan anggota-anggotanya. Jika memang sudah tak disepakati ya dapat aja dibubarin. Kayak orang bikin perusahaan kan atas dasar kesepakatan. Kalau nggak ya ngapain diterusin. Ini ada teorinya lo. Kalau nggak salah teori kontrak sosialnya John Locke.

Mengapa kusebut menyadarkan? Selama ini kita terlanjur menganggap suci Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seakan-akan jika tidak NKRI kita tidak akan bisa hidup lagi. Di bangku sekolah kita selalu dicekoki bahwa NKRI sesuatu yang sudah pasti dan tidak boleh diungkit lagi. Makanya orang Aceh dan Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia harus diperangi tanpa perlu dialog lagi. Mereka dianggap sebagai kelompok separatis atau pemberontak yang darahnya pun “halal” untuk ditumpahkan.

Bahkan saat awal-awal reformasi, ketika Pak Amien Rais dan PAN-nya menggulirkan wacana federalisme, banyak orang kebakaran jenggot. Tanpa argumen mereka menuduh Pak Amien ingin mengganti bentuk negara dari kesatuan menjadi federal. Apa yang salah dengan betuk federal? Indonesia sudah pernah menjadi negara federal tahun 1950-an. Toh juga tidak ada apa-apa. Negara-negara lain juga banyak yang menganut bentuk fedaral.

Sebagian dari mereka lebih maju daripada Indonesia. Kayak Amerika tuh. Bentuknya federal atau serikat, dan mereka bisa petentang-petenteng menjadi polisi dunia. Boleh nerusin iseng lagi kenapa Soekarno juga tidak dipertanyakan ketika dulu memproklamirkan NKRI tanpa minta persetujuan para raja yang notabene menjadi penguasa Indonesia sebelumnya?

Yang pasti jalan ceritanya bergulir Pak Amien tak berani meneruskan wacana ini. Bahkan ketika maju menjadi calon presiden 2004, Pak Amien menegaskan bentuk NKRI sudah final. Ini salah satu yang tidak kusetujui dari pandangan Prof Amien Rais. Wong belum pernah semifinal kok sudah dibilang final.

Sejarah akan mencatat, akibat ketidakberanian Pak Amien, tidak ada yang berani mempertanyakan kembali bentuk negara NKRI. Merubah dari kesatuan menjadi negara federal saja tidak berani, apalagi mempertanyakan perlunya negara ini. Padahal kita dapat saja mempertanyakan apakah Indonesia masih diperlukan? Jika masih, dalam bentuk apa dia diperlukan? Dunia tidak akan kiamat hanya karena kita mempertanyakan itu. Tapi pemerintah sudah menganggap langit mau runtuh sehingga Gerakan Aceh Merdeka (GAM) harus diperangi habis-habisan.
Kini Butet, mengingatkan kita bahwa bentuk negara bukanlah sesuatu yang sakral. Negara dapat berdiri kapan saja, sekaligus dapat runtuh kapan saja. Negara juga dapat berdiri berbentuk republik, atau kerajaan. Bentuk negara kesatuan atau negara federal. Yang penting, mampukah negara itu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya.

Sekali lagi ini memang hanya cangkem turahe Butet dan hanya bisa terjadi di Republiki Mimpi. Jika dunia nyata aku tak terlalu berharap ini akan terjadi. Karena semua terlanjur menganggap NKRI sebagai sesuatu yang suci. Salah-salah kita terkena somasi. Mungkin lebih enak di Republik Mimpi. Kita bisa berekspresi tanpa takut ada somasi.

Cangkem turahe Faisol
UK, 19 Maret 2007
13.24 WIB
Membunuh waktu menunggu rapat.

Cangkem Turahe Komedian

Sekali lagi Cangkem Turahe Thukul
Sumbang-menyumbang rentan menjadi ‘kuda tunggangan”


Selalu ada yang menarik hatiku ketika menonton acara Empat Mata. Acara ini memang favoritku. Setiap malam dari Senin hingga jum’at aku pasti menikmati cangkem turahe Thukul. Bahkan karena acara ini, aku pasti tidur di atas jam satu malam. Seperti penyakit, jika di atas jam 10 malam aku belum tidur, pasti mata ini sulit terpejam. Mungkin semi insomnia. La ndilalah acara ini kok selesainya jam 11 malam. Akhirnya aku baru bisa tidur udah jam satu malam. Tapi gak pa pa. Aku selalu menemukan sesuatu dari cangkem turahe Thukul.

Seperti tayangan empat mata, jum’at kemarin (16 Maret 2007). Episode ini mendatangkan bintang tamu artis Marini Zumarnis, Inggrid Kansil serta Marissa Haque. Juga Eman, personel grup lawak Empat Sekawan. Tapi bintang diantara bintang tamu malam itu adalah Bu Rani (lek ora salah jenenge. Soale aku yo lali), seorang wanita yang menjadi kenek bus. Dia bekerja seperti itu untuk menghidupi keluarganya. Suaminya tidak bisa bekerja lagi karena menderita sakit. Hasil “ngeneknya” ini digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga termasuk pengobatan suaminya.

Mengapa kusebut bintang dari bintang tamu? Seluruh pertanyaan yang diajukan Thukul ke bintang tamu lainnya selalu mengacu pada kisah Bu Rani ini. Misalnya pertanyaan ke Marini Zumarnis, mampu nggak harus menghidupi seluruh keluarga jika sang suami ndak bisa bekerja lagi. Atau pada Mbak Icha (kuwi lo panggilan akrab Marisa Haque), apa yang dia lakukan jika sang suami melarang bekerja. Pokoknya apa yang dialami Bu Rani pasti akan ditanyakan ke bintang tamu lainnya. Hebat tenan to, artis harus ikut alur kisahnya perempuan kenek bis. Lek ora Thukul mungkin sulit melakukan.

Bukan bagian ini yang menarik bagiku. Ada bagian yang lebih menarik yaitu ketika Bu Rani mengatakan jika punya modal akan buka usaha warteg. Jenenge Thukul itu cangkem turah, spontan dia menanyakan butuhnya Bu Rani berapa dan menjanjikan akan menyumbang. Thukul nyanggupi nyumbang 2 juta, jumlah yang dibutuhkan Bu Rani. Marisa nyanggupi ngasih separo honornya. Bintang tamu lainnya hanya nyengir ketika ditanya Thukul nyumbang berapa. Mungkin Thukul tekoke sambil nyengir juga. Jenenge ae cangkem turah.

Format seperti ini cukup bagus. Empat mata sudah bisa ikut membantu masyarakat yang tidak berpunya. Meskipun tidak dirancang sebelumnya, cangkem turahe Thukul sudah dapat menunjukkan kepedulian empat mata terhadap sesama. Wis apik bangetlah.

Tapi gaya-gaya semacam ini rentan sekali ditunggangi para politisi dan pemuja tebar pesona. Aku yakin mereka berlomba-lomba ndompleng kepopuleran empat mata untuk menunjukkan dirinya murah hati. Cukup dengan datang ke empat mata bermodalkan uang dua atau tiga juta rupiah, masyarakat sudah akan menganggapnya sebagai politisi baik hati. Apalagi masyarakat Indonesia gampang trenyuh melihat kisah-kisah mengharukan seperti ini. Termasuk aku sih. Buktine aku saiki ngomentari soal tersebut.

Terlebih sekarang mendekati pemilihan gubernur DKI. Kita lihat aja apakah calon-calon gubernur itu akan memanfaatkan ajang ini untuk tebar pesona. Yang jelas sayang sekali jika Empat Mata menjadi “kuda tunggangan” politisi-politisi pemuja tebar pesona itu. Hal tersebut tentu saja akan mengotori jiwa kejujuran, roh dari Empat Mata selama ini. Terlalu murah rasanya jika bermodal lima juta rupiah politisi-politisi itu sudah bersalin rupa melalui salon empat mata. Bukankah rekam jejak kebaikan politisi-politisi itu juga belum jelas?

What’s should Empat Mata do? (kayak Thukul nggak bahasa inggrisnya) Empat Mata harus memiliki tuntutan lebih kepada politisi-politisi yang ingin nunjukin sumbangannya lewat empat mata. Menolak politisi menjadi bintang tamu rasanya nggak mungkin. Mereka juga punya hak menjalankan program PR-nya lewat kepopuleran Thukul. Termasuk aksesoris sumbang-mennyumbang jika ada.

Terhadap politisi, terpenting kita menuntut komitmen mereka untuk menciptakan sistem yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Untuk level pribadi tanpa embel-embel politisi seprti Thukul, sumbangan uang súdala memadai. Tapi jibia yang melakukan Fauzi Bowo atau Adang Daradjatun, calon gubernur DKI tentu saja sangatlah tidak mencukupi. Bagi mereka menyumbang sepuluh juta pun tak akan ada artinya.

Mereka akan punya makna jika ketika menjabat mampu membuat sistem jaminan social bagi warganya. Dengan demikian, kisah Bu Rani pun tidak terlalu mengharukan lagi. Baru ini bukan tebar pesona.

Cangkem turahe Faisol
UK, 18 Maret 2007
12.09 WIB
Kesel bar renang neng Atlantis

Cangkem Turah Sang Penonton

Cangkem Turahe Penonton Voli
Penikmat tapi bukan pengamat

Hari ini (16 Maret 2007) aku nonton Proliga. Aku memaksakan diri nonton karena yang main dua tim favoritku, Petrokimia Gresik dan Surabaya Samator. Padahal sebenarnya aku harus rapat di kantor untuk buat proposal yang cukup penting. Tapi ben ae, pokoke tugasku sudah selesai. Itung-itung sekalian karo refreshing.

Di sini aku tidak akan menceritakan bagaimana jalannya pertandingan dan hasilnya seperti apa. Lebih lengkap soal ini, teman-teman bisa baca Tabloid Bola. Ini tabloid olahraga yang menjadi klangenanku. Sing jelas, tim favoritku menang kabeh. Jelas, aku seneng banget, apalagi Kiki Maria, pemain favoritku main. Dia itu pemain Petrokimia yang kalau main selalu cemberut saja. Mbuh aku langsung menyukai gayanya sejak pertama kali melihatnya bermain. Soal Kiki Maria tak ceritakan secara lebih lengkap lain kali.

Aku ingin menunjukkan gejala cangkem turahe penonton voli tadi. Termasuk diriku tentunya. Awalnya, aku janjian karo Mas Agus Sudibyo (yang sudah disebut media sebagai pengamat media) untuk nonton bareng. Kita berangkat dari kantor masing-masing. Diriku berangkat dari ISAI di Utan Kayu, dia berangkat dari Yayasan SET di Sinabung. Ternyata aku udah datang duluan. Setelah memberi kabar kepadanya melalui telepon, aku pun masuk duluan.

Dalam gedung ternyata penonton sudah penuh. Aku segera menuju tribun di belakang bangku pemain cadangan Petrokimia. Tentu saja dengan niat melihat pemain Petro yang cantik-cantik. Lagipula, tribun di situ memang masih kosong. Ternyata penonton di sekelilingku rata-rata orang Jawa Timur yang memberikan dukungan pada tim Petro. Jumlah mereka memang sedikit, tapi suaranya tidak kalah dengan mayoritas penonton yang mendukung tim lawan. Lawan Petro kali ini adalah Jakarta Elektrik, tim volinya PLN.

Besarnya gaung pendukung Petro ternyata lebih disebabkan oleh cangkem turah-nya. Mereka terus berteriak sesuka hatinya. Tanpa ada komando, tanpa ada perintah. Mulai yang sopan, “Ayo Gresik”, “semangat yo semangat”, sampe sing bener-benar cangkem turah, “Tossere Ndeso”, “Ganti Kiki, ganti”, “Jancuk nomer 11 nggak iso opo-opo”, “dibayar larang nggak iso main angon bebek ae”. Demikian sekelumit cangkem turah penonton voli tadi.

Menjadi bagian mereka, aku benar-benar menjadi penikmat voli. Mereka semua, termasuk aku mungkin tidak akan pernah bisa bermain voli sebaik pemain-pemain itu. Tapi kami merasa layak untuk ngata-ngatain pemain yang dianggap jelek. Sebagai penikmat, kami punya hak untuk berkata. Kami butuh dihibur, sehingga jika ada pemain yang tidak membuat terhibur akan kami ingatkan dengan dukungan atau makian.
Gurp penikmat ini berbeda dengan kelompok para pengamat. Masih dalam gedung olahraga itu, ada sekelompok penonton yang tidak mengeluarkan suara apapun ketika menonton. Paling banter mereka hanya bertepuk tangan. Itu pun hanya sesekali. Lebih menarik lagi mereka berkumpul dalam satu tribun. Jadi, dari tribun-tribun yang ada di gedung tersebut, tribun ini paling senyap. Aku menyebutnya sebagai tribun para pengamat.

Aku sempat menikmati duduk di tribun tersebut. Mas Agus Sudibyo mengajakku duduk di sana ketika pertandingan kedua akan berlangsung. Rupanya yang duduk di tribun tersebut adalah tokoh-tokoh bola voli dan para pemain voli yang kebetulan tidak mendapat jadwal bermain. Pantes saja mereka tidak berteriak-teriak. Mereka lebih mengamati bagaimana permainan tim yang sedang bertanding. Kayaknya “pengamat” ini sedang “memata-matai” tim yang bertanding. Kali aja mereka akan bertanding di lain desempatan.

Dari kedua tipe penonton ini, aku harus menyadari lebih cocok menjadi penikmat voli bukan pengamat. Aku lebih enjoy ketika ikut meneriaki pemain. Ketika duduk bersama para “pengamat” kayaknya gimana gitu rasanya. Cangkemku rasane wis gatel ingin teriak. Tapi gimana lingkungan kurang mendukung. Wis pokoke nyikso banget. Saat itu aku serasa tidak menjadiku sendiri. Tidak be my self.

Bagaimana reaksi pemain ketika diteriaki penonton? Pemain, aku kira cukup dewasa. Meski diteriaki mereka tidak ada yang kemudian membalas cemoohan penonton. Walaupun kulihat ada beberapa pemain yang down juga. Mereka mengerti bahwa kodrat penonton memang seperti itu. Tidak pernah ada pakemnya penonton kok diam. Dalam kisah apapun, bagian cangkem turah mesti paling rame. Jika pemain down dengan teriakan pemain, itu adalah persoalan mental bertanding. Semakin tebal telinga mereka mendengar cangkem turahe penonton, pasti mainnya akan semakin bagus.

Politisi atau pemerintah nampaknya harus relajar dari sikap pemain atas cangkem taurahe penonton olahraga ini. Pemerintah kita selalu “marah” jika dikritik. Mereka bilang mengkritik itu gampang karena mereka Belem melaksanakan sendiri. Pemikiran yang cukup aneh. Semua memiliki porsi sendiri-sendiri. Penonton atau orang yang berada di luar permainan porsinya memang berteriak. Cangkem turah, hanya itulah yang bisa dimiliki. Seperti rencana Sofyan Djalil mensomasi republik mimpi. Itu kan cangkem turah sing konyol. Wong mimpi kok mau disomasi Kan jelas kurang kerjaan.

Celotehan para outsider itu harusnya dianggap sebagai celotehan cangkem turah yang boleh mereka ikuti atau tidak. Toh yang akan tanggungjawab kan mereka sendiri. Kata Gus Dur, gitu aja kok repot.


Cangkeme Faisol
Utan Kayu, 16 Maret 2007
0.04 WIB
Bar nonton Voli kelingan Kiki Maria.

Thursday, March 15, 2007

Area Cangkem Turah

“Ngisor Kepel”
Area Cangkem Turah
Anak Komunikasi UGM

UGM selalu mengklaim dirinya sebagai kampus kerakyatan dan demokratis. Klaim itu sendiri sekarang banyak dipertanyakan dengan kondisi kampus yang berpagar rapat sehingga membatasi akses masyarakat luar dan biayanya itu lo saingan sama universitas swasta mahalnya. Tapi menurutku masih ada juga kok sisi benarnya. Setidaknya berdasar pengalamanku ketika kuliah di sana.

FISIPOL UGM, fakultas yang menaungi Jurusan Ilmu Komunikasi yang aku ambil, masih menyimpan sisi kerakyatan dan demokratisnya UGM. Area FISIPOL merupakan area yang merdeka bagi mahasiswanya untuk berekspresi. Tak heran banyak sekali kumpulan atau komunitas yang lahir di sana. “Kandang Babi”, “Musholla”, “Lobi HI”, Ngisor Pelem”, “Ngisor Kepel”, “Sekber” adalah contoh tempat ngumpulnya mahasiswa Fisipol UGM dengan segala aktivitasnya.

Aku sendiri sering ngumpul di “Ngisor Kepel”. Tempat itu memang menjadi base camp-nya anak-anak jurusan Komunikasi. Setiap tempat ngumpul di sana memang didominasi oleh jurusan atau UKM tertentu. Kayak “Ngisor Kepel” ini pasti isinya anak Komunikasi. Golek cah HI atau jurusan lain tidak bakal ada. Seperti sudah batas wilayah antar jurusan. Padahal yo masalah kebiasaan nongkrong aja.

Lalu apa menariknya “Ngisor Kepel” ini? Tempat ini benar-benar hanya untuk nongkrong tanpa ada ikatan kegiatan atau kepentingan tertentu. Isinya hanya untuk “cangkem turah” thok. Berbeda dengan area ngumpul Fisipol lainnya yang selalu identik aktivis mahasiswa. “Kandang Babi” tempat ngumpulnya aktivis Setrajana (pecinta alam), “Ngisor Pelem” identik aktivis Sintesa (majalah mahasiswa Fisipol), “ Mushola” jelas tempate JMF (Jamaah Mushola Fisipol). Mereka semua itu adalah aktivis-aktivis kampus.

“Ngisor Kepel” benar-benar hanya tempat nongkrong belaka. Malah ada semacam kode etik, tidak boleh membicarakan topik yang “berat” koyo to bahan kuliah. Ketika ada kawan yang ngbrolin topik kuliah seperti membicarakan Littlejohn (Cah Komunikasi kudu ngerti jeneng iki) langsung diingatkan kawannya yang lain. Bahkan yang lebih disadis akan dicemooh dengan ungkapan “yen diskusi ra usah neng kene”.

Apa yang mereka bicarakan ketika nongkrong tak jauh dari guyonan, nyek-nyekan, gojlogan dan sejenisnya. Pokoknya benar-benar cangkem turah. Bahkan taruhan sepakbola pun ada di sini. Basa Jogjane gayeng. Aku dan beberapa kawanku akrabku merupakan penghuni setia “ngisor kepel” ini. Seperti rutinitas kami ber-enam (Aku, Dhanan, Mahmud, Japro, Wendra, Kenthus), terkadang ditambah beberapa teman yang lain setiap hari berada di sana. Biasanya kami datang jam 10 pagi dan baru pulang jam jam 3 sore. Kurun waktu itu, seluruhnya kami habiskan neng “ngisor kepel”. Edan ora.

Ketika ada jam kuliah, kami masuk kelas dan setelah selesai langsung kabur ke “ngisor kepel” lagi. Makan siang pun terkadang kami lakukan di sana. Kami “bantingan” membeli gudeg di Yu Djum atau Hj Ahmad (dhana juga sudah membahas ini di blognya www.dhanan.blogspot.com). Bahkan ada salah satu dosen menjuluki macam kampus. Asu tenan kok. Tapi masih mending tidak menjuluki kami penjaga pohon kepel. Kan iso dikiro setan to?

Kenapa kami bisa begitu betah di tempat tersebut? Menurutku tempat tersebut adalah tempat yang begitu merdeka, tanpa ada ikatan formal, aturan dan kepengurusan. Ndak ada yang namanya coordinator, ketua, sekretaris, bendahara dan segala macamnya. Satu-satunya yang menyekat kami adalah perbedaan angkatan, angkatan 98, 99, 2000. Ini pun juga relative cair dan bisa menyatu. Di situ, kami bisa bergaul dengan rapat tanpa ada embel-embel apapun. Bisa ngata-ngatain satu sama lain, iso ndobos, iso waton nylekop. Benar-benar area cangkem turah.

Apakah blog ini kuberi naman cangkem turah karena terinspirasi cerita tersebut? Aku akui iya. Aku memang terinspirasi oleh situasi “ngisor kepel” saat itu. Malah aku dulu pernah berucap jika aku kaya aku akan datang ke “ngisor kepel” lalu buka baju (bertelanjang dada) dan tiduran di sana. Anggap aja ini cita-citaku. Tapi suatu saat aku pasti mewujudkannya. Tapi lek pohon kepelnya ditebang gimana? Mbuhlah, aku belum tahu.

Sebenarnya ada dua lagi inspirasiku soal cangkem turah ini, pacivist dan komunitas siberut. Dhanan udah nulis ini. Ra po po aku nanti juga akan nulis hal itu. Ben rame.


Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 15 Maret 2007
20.15 WIB
Asem kelingan kenangan Kepel.

Cangkem Turahe Komedian

Cangkem Turah-e Thukul
Menangkap Sebuah Kejujuran

Thukul sedang menemukan hokinya. Program empat mata di Trans 7 yang dia gawangi melejitkannya ke puncak popularitas. Selain ratingnya tinggi, ucapan-ucapannya sudah menjadi ikon tersendiri. Puass..puass atau tak sobek-sobek mulutmu…sudah menjadi ungkapan lazim bagi masyarakat sekarang. Pun sudah banyak tulisan yang membahas tentang Thukul. Seorang Garin Nugroho sampe rela meluangkan waktu memberikan analisisnya di Kompas minggu yang lalu. Wis pokoke iki rejekine Thukul lah.

Lek ngono ngopo aku nulis Thukul meneh? Ini bukan sekedar latah, tapi ingin menyoroti cangkem turah-e Thukul sebagai sebuah kejujuran. Maksude ngene, apa sih menariknya empat mata? Tambahan pengetahuan, pasti nggak dapat. Sing diomongkan Thukul juga itu-itu saja. “Kembali ke laptop” atau sekarang “back to laptop”. Jawaban dari bintang tamu juga nggak penting. Semakin ngaco jawabannya semakin bagus. Pertanyaan Thukul juga nggak terlalu “bermutu”.

Selain iso ngguyu, tidak ada hal lain yang aku dapatkan. Tapi kenapa masyarakat bisa sangat menyukai cangkem torah seperti ini? Aku melihat di luar motif hiburan, masyarakat nampak sekali merindukan sebuah kejujuran. Jujur yang benar-benar jujur. Apa adanya, apa eneke, apa anane. Itu yang saya rasakan ketika melihat Thukul ngomong. Dia juga tidak berpura-pura pandai. Dia juga tidak berpretensi menggurui. Malah rela untuk ditelanjangi. Apa ada host talkshow kok rela bergaya anjing.

Membandingkan omongan Thukul dengan omongan politisi yang merasa memimpin kita memang tidak ada bedanya. Pada-pada cangkem turah-e. Bedanya, motif yang mereka miliki. Politisi itu ngomong tidak pernah lepas dari memetik keuntungan diri. Kalau Thukul justru tidak berpikir keuntungan dirinya sendiri. Dia berpretensi menyenangkan orang lain meski harus menertawai diri.

Bahkan karena kejujurannya itu, politisi-politisi yang menjadi bintang tamunya pun tak lebih dari sekedar tempelan belaka. Itu yang aku lihat ketika Adang Daradjatun, Andi Mallarangeng, atau Sofyan Djalil. Dipaksa seperti apapun juga tetap tidak akan bisa mengimbangi Thukul. Mereka sudah datang dengan motif lain, motif kepentingan diri khas politisi (kalau SBY, tebar pesona). Maka yang ada, mereka jaim di situ. Akibatnya malah mempermalukan diri menjadi tempelan belaka.

Di sinilah sebenarnya logika industri media bermain. Apa yang mereka tampilkan selalu mencerminkan apa yang menjadi keinginan masyarakat. Ketika empat mata booming maka itu mencerminkan betapa masyarakat menginginkan kejujuran itu.

Jika orang yang mengaku pemimpin itu cerdas, mereka harus memangkap gejala ini. Bahwa masyarakat sudah cerdas dan bisa menentukan pilihannya sendiri. Acara ini memang bisa ditunggangi berbagai kepentingan. Yang mau kampanye lah, mau cuci dosa lah, atau apapun. Tapi aku yakin selama cangkem turahe Thukul masih berlandaskan pada kejujuran diri, empat mata masih akan diimpikan pemirsanya. Termasuk aku. Jika tidak, masyarakat punya mekanisme sendiri. Sudah banyak contoh bintang yang meredup karena ditinggalkan penggemarnya. Jaga diri Mas Thukul!!

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 15 Maret 2007
16.55
Emosi gara-gara persebaya kemasukan gol lawan.

Monday, March 12, 2007

Cangkem Turah-e Politisi

Imam Addaruqutni:
Main Klaim Tanpa Bukti

Menurutku, politisi sangat rentan dengan perkataan yang asal bunyi atau asal ngomong. Dunia politik yang penuh dengan citra dan kepura-puraan agar nampak besar dan kuat, memaksa politisi untuk asal nyocot, sing penting ketok kuat (asal ngomong, yang penting kelihatan kuat). Ini tampak pada pernyataan seoarang politisi bernama Imam Addaruqutni. Dia adalah mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah dan sempat menjadi anggota DPR 1999-2004 dari Fraksi Reformasi (fraksi gabungan PAN dan PKS. Dia sendiri mewakili PAN). Seperti dimuat Majalah Tempo, 11 Maret 2007 pada kolom kutipan, Imam menyatakan banyaknya pengurus PAN yang pindah ke Partai Matahari Bangsa yang dipimpinnya. Pernyataan Imam yang dikutip Majalah Tempo sebagai berikut, “Bukan hanya pindah tapi eksodus. Banyak sekali pengurus yang keluar dari partai yang kemarin didukung Muhammadiyah itu.”

Mengapa pernyataan tersebut aku anggap cangkem turah? Bagaimana tidak, pernyataan itu sama sekali tidak didukung oleh bukti dan verifikasi yang cukup kuat. Jika eksodus pengurus dari PAN ke Partai Matahari Bangsa bagaimana mungkin media massa tidak meributkan hal tersebut? Kita bisa membandingkan dengan riuhnya pemberitaan kepindahan Syaifullah Yusuf dari PKB ke PPP. Memang, the name make news. Syaifullah Yusuf bolehlah kita anggap sebagai tokoh yang gerak-geriknya menarik bagi media untuk memberitakan. Ibaratnya Syaifullah batuk pun kalau perlu diberitakan. Tapi namanya eksodus pasti melibatkan jumlah orang yang cukup besar. Bila memang benar itu terjadi, media pasti ketinggalan untuk memberitakannya. Dari sini saja kita dapat mengatakan politisi ini “waton njeplak”.

Kita pun bisa meniliknya dari rekam jejak seorang Imam Addaruqutni. Jika dia pernah menjadi bagian dari PAN, lalu sekarang mengomentari eksodusnya anggota PAN tanpa bukti seperti itu, apa yang dapat dikatakan selain motivasi sakit hati dan penggembosan? Terlebih dia sekarang menjadi ketua umum partai politik lainnya. Apa jadinya jika politisi yang waton njeplak tanpa bukti seperti ini menjadi pemimpin? Masyarakat harus benar-benar memperhatikan rekam jejak calon pemimpinnya.

Lalu mengapa media sekaliber Tempo menjadikan ucapan itu untuk kutipan? Biasanya kutipan dalam majalan Tempo adalah kutipan pernyataan yang sangat penting. Apakah omongan waton sulaya seperti ini bagi Tempo menjadi sesuatu yang sangat penting? Atau Tempo menampilkan untuk lucu-lucuan saja? Apapun motivasinya Tempo seperti kurang kerjaan saja. Jika memang Majalah Tempo kurang kerjaan mengapa mereka tidak menampilkan pernyataan asal bunyi dari politisi yang lain?

Ternyata, bukan hanya Majalah Tempo yang memberitakan pernyataan tersebut. Jawa Pos pun juga ikut memberitakan dalam terbitannya minggu yang lalu (5-10 Maret 2007). Bahkan Jawa Pos bukan hanya mengutip, tapi menjadikan pernyataan tersebut sebagai sumber berita.

Kita pantas menyayangkan mengapa media kita tidak memilih peristiwa-peristiwa yang mungkin jauh lebih penting untuk diberitakan. Peristiwa-peristiwa yang lebih layak diberitakan saya kira masih sangat banyak. Bagi masyarakat tentunya lebih bermanfaat jika tidak mengurusi hal-hal yang demikian.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 12 Maret 2006
15.38 WIB

Cangkem Turah Agung Laksono

Detik.com Memuat Cangkem Turah Agung Laksono
Ketika Ngomentari Kecelakaan Garuda

Rabu, 7 Maret 2006 jam 7 pagi, pesawat Garuda mengalami kecelakaan di Yogyakarta. Seluruh media, terutama media elektronik dan media online memberitakan kejadian tersebut secara real time. Ketika membaca detik.com ada satu berita yang cukup mebuatku tergelitik. Berita yang dimuat jam 11.34 itu berisi pernyataan Agung Laksno soal kecelakaan tersebut. Agung menyatakan peristiwa kecelakaan pesawat Garuda Indonesia di Yogyakarta membuktikan teori tarif murah menyebabkan banyak kecelakaan tak terbukti.

Mengapa pernyataan tersebut membuatku tergelitik? Itu adalah pernyataan pejabat publik yang kedua pasca kecelakaan. Pernyataan pertama disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono X tentang jumlah korban selamat. Cukup menarik, Agung Laksono tergopoh-gopoh membuat jumpa pers dan mengkaitkan pernyataannya dengan tarif murah. Kita tentu dengan mudah menghubungkannya dengan keberadaan Agung dan maskapainya Adam Air.

Sebelum kecelakaan Garuda, dunia penerbangan kita diisi oleh rentetan kecelakaan pesawat Adam Air. Awal januari 2007, pesawat Adam Air jurusan Surabaya-Menado hilang tak ketahuan rimbanya sampai sekarang. Nasib seluruh penumpangnya pun tak jelas sampai kini. Memang, tim SAR mengklaim telah mendeteksi keberadaan kotak hitam (black box) pesawat itu di palung laut Majene. Tapi itu tidak membuat keberadaan penumpang Adam Air menjadi jelas. Apakah mereka semua meninggal atau tidak.

Tak lama kemudian, Adam Air jurusan Jakarta-Surabaya juga mengalami keretakan body. Sama seperti kecelakaan sebelumnya, kasus ini juga tidak pernah diselidiki secara tuntas. Kita tidak pernah tahu bagaimana penyelesaian kasus tersebut. Yang jelas, kasus kecelakaan Adam Air tersebut menyeret nama sang ketua DPR yang disebut-sebut sebagai komisaris. Saat itu, ditengarai Adam Air mengabaikan aspek keselamatan penerbangan demi mengejar harga tiket yang murah. Tak mengherankan ketika Garuda, harga tiketnya mahal, mengalami kecelakaan, Agung menemukan momentum membela diri. Dia seolah berkata, “iki lo sing larang juga kecelakaan, ojo nyalahne sing murah thok (Ini lo, yang mahal aja juga kecelakaan, jangan nyalahin yang murah saja).”

Sebenarnya nggak ada yang salah jika Agung Laksono mau membela diri. Tapi pernyataannya itu benar-benar asal bunyi (cangkem turah). Pertama, bagaimana mungkin dia langsung bisa mengaitkan kecelakaan Garuda dengan masalah tarif murah. Padahal sesuai aturan, yang berwenang menetapkan penyebab kecelakaan adalah Komisi Nasional Untuk Keselamatan Transportasi (KNKT). Saat Agung mengeluarkan pernyataan, KNKT masih menyelediki penyebab kecelakaan.

Kedua, pernyataan Agung juga dapat menjadi penyesatan informasi bagi publik. Seolah-olah, tidak ada hubungan kecelakaan pesawat sama tarif murah. Memang konsep tarif murah itu adalah kemampuan maskapai menekan komponen biaya operasional tanpa mengorbankan komponen keselamatan. Tapi, di Indonesia tidak pernah ada audit terhadap maskapai penerbangan yang menerapkan kosnep tarif murah itu tadi. Termasuk Adam Air. Pemerintah pun tidak pernah menyatakan bahwa maskapai penerbangan dengan tarif murah tidak mengabaikan komponen keselamatan penumpang. Kecuali, cangkem turah para pejabat ketika ada kecelakaan (ya kaya’ agung Laksono itu).

Ketiga, sebagai pejabat publik, apa yang dilakukan Agung benar-benar tidak etis. Bagaimana mungkin ketika semua orang memusatkan perhatian kepada upaya evakuasi korban, Agung Laksono sudah berfikir untuk kepentingannya. Apakah itu menunjukkan mentalitas pejabat kita yang selalu mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya? Jika iya, tak mengherankan jika apa yang mereka katakan semua adalah cangkem turah alias asong (asal ngomong).

Keempat, detik.com ya kok kurang kerjaan memuat pernyataan itu. Memang karakteristik media online sangat mementingkan kecepatan. Tapi kan bisa juga mereka membuat filter atas berita yang akan mereka munculkan. Ngapain omongan Agung Laksono yang asal bunyi ditampilkan. Apa detik.com pernah berfikir bagaimana perasaan keluarga korban Garuda dan keluarga penumpang Adam Air yang tidak diketahui rimbanya hingga kini? Mengapa detik.com tidak menyoroti ketidaktransparanan hasil penyelidikan terhadap kasus kecelakaan Adam Air?

Jakarta, 12 Maret 2006
12.30 WIB
Cangkeme Faisol
"sunyi dalam ramai"

Pengantar Untuk Baca Blog-ku Ini

Blog ini, saya kasih title cangkem torah sebagai bentuk protes atas pemberitaan media massa yang sering menyajikan pernyataan-pernyataan asal bunyi dari pejabat atau politisi. Mengapa pejabat/politisi? Sebab merekalah yang sudah mendeklarasikan dirinya sebagai “yang mengurusi kepentingan public”. Jika kita merujuk kepada Hannah Arendt, bidang politiklah yang benar-benar menjadi ruang bersama kita, dimana kita punya hak untuk ikut serta di dalamnya. Ini juga menjadi pembenaran blog ini untuk ngomentari “cangkeme” pejabat dan politisi.

Selain itu, blog ini juga sebagai pelampiasan “cangkem turah-ku” atas apa yang kulihat, kudengar dan kurasakan atas berita media. Mengapa media massa? Mereka punya tanggung jawab moral atas kelebihannya “nyangkem” ke banyak orang. Ketika masih berada di Taman Kepel Komunikasi UGM, dosenku sempat ngomong media massa memiliki dua fungsi, fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Kedua-duanya harus berjalan seiring. Maka tak ada salahnya jika saya ikut “nyangkem” atas berita media. Aku ki elek-eleko yo publik.