Thursday, May 31, 2007

Duka Pasuruan

Mengapa Rakyat Selalu Menjadi Korban?

Darah kembali tumpah dari moncong senjata tentara
Rakyat Pasuruan yang menuntut haknya harus meregang nyawa
Entah apa yang bisa membenarkan tindakan-tindakan mereka.

Cukupkah alasan membela diri dan menjaga lahannya sebagai kata yang membenarkan?
Mengapa hanya rakyat yang bisa menjadi korban? Apakah ini sudah takdir karenahidupnya sebagai rakyat jelata, bukan seorang pengusaha?
Entahlah, tapi aku ingin menunjukkan dukaku untuk Rakyat Pasuruan.

Itu saja

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 31 Mei 2007
12.00
Simpati Bagi Rakyat Pasuruan

Monday, May 28, 2007

Ketika Presiden SBY Marah Sama Amien Rais

Presiden Kok Marah Sama Rakyatnya?

Seperti suasana di pedesaan Jawa pada umumnya, kehidupan malam di Desa Tanjung berpusat di dua tempat, masjid dan warung. Penyebutan dua tempat itu bukan dalam arti berlawanan, warung tempat orang yang tidak mau ke masjid atau sebaliknya. Dua tempat itu justru melengkapi. Orang berkumpul di warung setelah mereka menunaikan ibadah Sholat Isya’. Bahkan tak jarang mereka baru datang ke warung lama setelah ngobrol ba’da isya’ di masjid. Jam ramainya warung pun jadi tak tentu, kadang jam delapan, kadang jam sembilan,bahkan jam sepuluh. Penyebutan yang mudah, pokoknya warung ramai setelah isya’.

Gambaran kehidupan Desa Tanjung di atas berbeda dengan tipologi klasiknya Clifford Gertz. Ketika meneliti kehidupan di Mojokutho (banyak menyebut yang diteliti sebenarnya adalah Pare, Kediri), Geertz membagi masyarakat menjadi kaum santri dan abangan. Tipologi ini menyiratkan adanya pertentangan antara masjid dan warung. Masjid sebagai representasi kaum santri dan warung sebagai representasi kaum abangan. Tapi di desa Tanjung, kaum santri dan abangan lebur di masjid dan warung. Sulit sekali membedakan masyarakat Tanjung menjadi kaum santri dan abangan.

Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di masjid denyut kehidupan masih terasa dengan banyaknya jamaah yang masih ngobrol. Padahal sholat Isya’ sudah mereka tunaikan satu jam yang lalu. Cak Pa’i, tokoh kita itu juga tak ketinggalan berada di antara jamaah itu. Dia tampak asyik ngobrol dengan Gus Isol, Kang Kamdi, Lek Djarot dan Pak Guru Wanto.

“Wah, kasus Pak Amien tampaknya semakin seru Gus. Pak Presiden SBY tampaknya betul-betul marah dengan Pak Amien. Dia sampe mengadakan konferensi pers khusus untuk menanggapi tudingan Pak Amien soal dana kampanye dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Seluruh TV meliput acara itu secara langsung”, kata Cak Pa’i.

Belum sempat Gus Isol menjawab, Kang Kamdi sudah menambahkan,”Nggih Gus, sampe Koran Tempo (Koran Tempo, 26 Mei 2007) menghitung ada 13 kali Pak SBY menyebut nama Pak Amien. Wajahnya pun kayak orang menahan marah.”

“La itu, satu lagi bukti bahwa kita sebenarnya tidak memiliki budaya kejujuran. Kasus itu tidak dibuktikan malah berkelahi sendiri. Kalau memang Pak SBY tidak menerima dana DKP ya buktikan saja kalau memang tidak menerima. Nggak perlu marah-marah ke Pak Amien. Gampang to?”, jawab Gus Isol ringan.

“Iya Gus. Sekarang isunya malah melebar tudingan Presiden SBY bahwa Pak Amien sudah memfitnah dirinya. Malah ada kata naudzubillah hi mindzalik segala. Nanti habis ini Pak Amien jumpa pers juga untuk menanggapi pernyataan presiden. Nanti presiden ganti nanggapi lagi. Lama-lama kan kita nggak tahu yang benar yang mana”, tambah Pak Guru Wanto.

“Terus gimana Gus?”, tanya Lek Djarot.
“Ini sebenarnya momentum bagus untuk membangun budaya kejujuran di negeri kita ini. Sekarang kesempatan meminta pemimpin-pemimpin kita membuktikan kejujurannya. Pak Amien sudah mengakui “kesalahannya”, ya sekarang tinggal melihat bagaimana pertanggungjawabannya secara hukum. Untuk capres-cawapres yang membantah ya tinggal suruh membuktikan saja mereka benar-benar tidak menerima”, jawab Gus Isol bijak.

“Kalau dalam asas hukum itu namanya pembuktian terbalik. Indonesia memang tidak menganut itu. Tapi dalam kasus ini karena ada capres yang membantah padahal pembukuan di DKP sudah jelas ya merekalah yang harus membuktikan. Memang itu tidak wajib bagi mereka. Namun ini terkait dengan kredibilitas dan track record mereka nantinya. Jika mereka nanti maju pilpres 2009dan kasus ini belum clear kan yang rugi mereka sendiri. Rakyat pasti akan mencatat tingkah laku mereka sekarang”, tambah Gus Isol.

Cak Pa’i menimpali komentar Gus Isol itu dengan menambahkan,”Leres Gus, ketimbang marah-marah sama Pak Amien, mending Pak SBY itu membuktikan kala dirinya bersih di sini. Saya kok agak risih presiden kok marah-marah sama rakyatnya. Kesannya Presiden SBY itu anti kritik.”

“Mungkin dia merasa difitnah itu Cak. Kan sebelumnya dia juga diam tidak pernah menanggapi”, jawab Pak Guru Wanto. Pak Guru kita ini rupanya simpatisan Presiden SBY meski tidak pernah resmi menjadi tim sukses ketaika pilpres 2004 lalu.

Kalau di elit politik, Pak Guru Wanto ini mungkin seperti Imam Ad Daruqutni atau Munawar Fuad Nuh. Dua orangnya SBY yang menerima dana DKP tapi tidak diakui sebagai tim sukses Presiden SBY.

“Kalau menurutku memang percuma juga Presiden SBY marah-marah dengan Pak Amien. Masyarakat kan juga bisa mikir ngapain marah-marah kalau memang dia tidak merasa berbuat. Biasanya orang yang marah ketika dituduh malah menunjukkan tuduhan itu benar. Pak SBY tinggal membuktikan saja kalau dirinya benar-benar tidak menerima dana DKP”, Cak Kamdi memberikan pendapatnya.

“Bener Ndi. Kalau dari sisi strategi komunikasi Presiden SBY sudah terjebak permainannya Pak Amien. Sekarang kalau Pak Amien membalas jumpa pers presiden dengan membuka bukti-bukti kalau Pak SBY menerima dana DKP kan berabe. Sekarang posisi Pak SBY kan jadi defensif. Bola permainan ada di tangan Pak Amien, dia mau nembak, mau oper, mau nahan terserah Pak Amien”, analisis Cak Pa’i.

“Wah analisismu sudah kayak Effendi Gazali pakar komunikasi politik itu”, sindiri lek Djarot.

“Betul kan Gus?” Cak Pa’i seakan minta dukungan Gus Isol.

“Mungkin juga betul, mungkin juga tidak. May be yes may be no kalo kata iklannya. Yang jelas Pak SBY sekarang harus membuktikan pada seluruh masyarakat dirinya benar-benar tidak menerima dana DKP. Jika tidak bisa membuktikan, hukuman masyarakat lebih kejam daripada hukuman negara. Kalau masyarakat sudah nggak percaya, Pak SBY dapat saja tidak terpilih lagi kalau maju pilpres 2009. Tapi yang aneh, kemarin Pak jusuf Kalla kok tidak mendampingi Pak SBY ya?” Gus Isol melempar tanya.

“Emang kenapa Gus?”, tanya lek Djarot.

“Kasus ini kan bukan Pak Sby sebagai presiden. Tapi pasangan capres-cawapres SBY-JK”, jelas Gus Isol sambil berdiri.

“Iya Gus, kok aneh ya?”, tambah Cak Pa’i ikut-ikutan berdiri.

Obrolan mereka pun bubar dengan meninggalkan pertanyaan yang tidak terjawab.

Cangkem Turahe Faisol
UK, 26 Mei 2006
11.30 WIB

Thursday, May 24, 2007

Heboh Pernyataan Amien Rais

Kejujuran atau Keluguankah?


Tidak seperti biasanya, Cak Pa’i nampak tak sabar ingin membuka majelis reboan ba’da pengajian rutin yang disampaikan Gus Isol. Kelihatannya dia memendam sesuatu yang ingin segera didiskusikan dengan jamaah lainnya. Begitu Gus Isol menutup ceremahnya, Cak Pa’i sudah melingkar dengan Kang Dul, Pak Guru Wanto dan yang lainnya. Gus Isol pun ikut nimbrung tak lam kemudian.

“Wah Gus, milih tema pengajiannya kok pas sekali dengan berita ayang sedang aktual di media. Soal kejujuran kan sedang heboh gara-gara pernyataan Pak Amien Rais yang mengakui kalau dirinya menerima dana dari Rokhmin Dahuri sebesar 200 juta rupiah. Kayaknya malam ini sengaja milih tema itu ya Gus”, Cak Pa’i membuka obrolan.

“Iyo Cak, aku memang sengaja milih tema itu karena baru sadar ternyata namanya kejujuran tidak pernah menjadi budaya bangsa kita. La wong Pak Amien Rais ngakui kalau dia nerima dana dari Rokhmin yang ternyata dari Departemen Kelautan dan Perikanan kita semua jadi kaget. Itu kan membuktikan kalau kita semua ini tidak pernah jujur kan?”, jawab Gus Isol.

“Leres Gus, kedahe kita memberikan apresiasi kepada Pak Amien yang mau mengakui kesalahannya. Beliau kan sudah bilang kalau khilaf dan siap untuk dihukum”, tambah Kang Dul.

“Iki tambah siji meneh bukti yen kejujuran tidak pernah menjadi budaya kita. Ada orang jujur kita apresiasi. Artinya kan kita itu tidak pernah mengetahui ada orang jujur di negeri ini. Kita beranggapan semuanya hanya bohong belaka. Makanya ketika ada satu yang blak-blakan apa adanya kita berebut mengapresiasinya. Seakan-akan baru pertama kali ini ada orang jujur diantara kita”, Gus Isol menukas.

“Kalau diantara politisi kan emang gitu Gus. Image politisi itu kan identik dengan kebohongan di negara kita. Lengkap dengan pernyataan dunia politik itu kotor. Iwan Fals menambahkan kalau politik itu kejam. Ini ada politisi kok ngomong apa adanya. Masyarakat kan harusnya mengapresiasi”, Kang Khamid ikut nimbrung.

“Kampanye..kampanye...kampanye”, celetuk jamaah yang lain.

Kang Khamid memang menjadi tim suksesnya Pak Amien saat pemilihan presiden 2004 lalu. Pantas saja jamaah lain menganggapnya kampanye mempromosikan Pak Amien.

“Ini satu lagi bukti kalau kejujuran tidak pernah menjadi budaya kita. Dunia politik yang menurut Arendt harusnya menjadi tempat kita membicarakan persoalan bersama ternyata diisi dengan kebohongan. Pasti dunia politik kita juga mengijinkan adanya penipuan, penikaman, manipulasi dan sederet perbuatan tidak baik lainnya”, Gus Isol menjawab.

Mantap juga kyai kita satu ini. Tidak mau kalah dengan mahasiswa dia mengutip Hannah Arendt, filsuf perempuan dari Jerman. Arendt memang membagi dunia menjadi dunia politik dan dunia ekonomi. Politik harus menjadi ruang bersama dimana muncul sikap saling menghargai satu sama lain dilandasi oleh kejujuran dan kebaikan bersama. Sementara dunia ekonomi merupakan dunia privat yang mengijinkan kita “melampiaskan nafsu kebinatangan kita” termasuk menyakiti orang lain. Menumpuk harta menjadi diijinkan karenatermasuk ranah pribadi kita.

“Iya Gus, wong ada sebagian orang yang menganggap Pak Amien itu lugu. Wong yang lain semua membantah, kok malah dia sendiri yang mengakui”, cetus Pak Guru Wanto.

“Itulah Pak Guru, mengapa negara kita tidak pernah bisa memberikan kebaikan kepada masyarakatnya. Ternyata selama 60 tahun negara Indonesia ada tidak pernah yang namanya dilandasi kejujuran. Padahal kalau dalam Islam, kejujuran merupakan pondasi kemanusiaan dalam kaitannya sebagai seorang manusia, bagian dari masyarakat atau menjadi warga negara. Imam Ali Bin Abi Tholib yang menantu Nabi pernah mengatakan lebih baik kamu menjadi kafir daripada menjadi orang yang tidak jujur. Kalau demikian kan, kita semua ini derajatnya lebih rendah daripada orang kafir. Iya kan? Wong budaya kita adalah budaya ketidakjujuran.” Tambah Gus Isol.

“Lalu kasus Pak Amien menurut Gus Isol bagaimana?”, Cak Pa’i meminta pendapat Gus Isol.

“Bagaimana apanya Cak?” Gus Isol balik bertanya.

“Pak Amien jujur nggak Gus?” Cak Pa’i kembali bertanya.

“Ya nggak tahu. Kalau melihat track recordnya Pak Amien sangat mungkin dia jujur. Tapi kenyataannya yang lain membantah pernah menerima dana itu meski ikut disebut namanya. Semuanya nggak jelas. Bisa saja yang menerima Cuma Pak Amien, yang lain memang tidak menerima. Atau memang hanya Pak Amien yang mau jujur, yang lain berbohong semua. Pokoknya nggak jelas lah” jawab Gus Isol.

“Kok gitu Gus. Kebenaran kan cuma satu. Kalau Pak Amien jujur ya yang lain kan bohong”, Kang Khamid ikut bingung.

“Kang, kita itu kan sumber informasinya media. Malah itu menjadi satu-satunya sumber informasi kita. Kalau kita baca koran, nonton TV, atau dengerin radio, kita bisa tahu nggak yang jujur mana, yang bohong mana. Kalau aku tidak tahu. La sekarang Pak Amien ngaku, besok SBY membantah, Jusuf Kalla malah nyalahin akuntan, Wiranto bersumpah tidak menerima, Kyai Hasyim Muzadi bilang tidak menerima. Kyai lo ini yang bilang. Terus yang benar yang mana. Apa benar semuanya. Mungkin saja. Tapi catatan Rokhmin Dahuri mereka ikut menerima.” Gus Isol menjelaskan.

“Menurut Gus Isol harus gimana?” Pak Guru Wanto ikut bertanya.

“Ya harus dibuktikan siapa yang jujur siapa yang berbohong. Masalahnya kalau dibiarkan seperti ini ya tidak menumbuhkan budaya jujur di bangsa ini. Semakin banyak pula hal yang tidak pernah di jelas di Indonesia. Pembantaian tahun 1965, peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, Peristiwa 98, pembunuhan Munir sampai sekarang masih gelap. Jika kasus ini tidak terbuka ya lengkap sudah tidak adanya ketidakjujuran di Indonesia. Soalnya ini sudah menyangkut pemimpin”

Gus Isol kemudian manmbahkan, “aku tidak tahu caranya seperti apa. Tapi yang jelas media massa harus menginvestigasi kasus ini. Mereka harus menelusuri pendanaan calon presiden. Caranya gimana ya nggak tahu, wong aku bukan wartawan kok. Mungkin mereka bisa menelusuri data-data di Komisi Pemilihan Umum (KPU).”

“Kira-kira berhasil nggak sih Gus. Saya kok sangsi. Pasti sekarang tim sukses pemimpin itu sibuk menyembunyikan atau memoles data yang mereka punya biar kelihatan bagus”, Cak Pa’i urun rembug.

“Kepastian kan hanya milik Allah, kalau manusia ya may, may be yes may be no. Kayak iklan itu” pungkas Gus Isol.

“ha haha” Tawa mereka mengakhiri majelis dengan penuh tanda tanya.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 24 Mei 2007
4.00 WIB]
Hore AC Milan Menang

Friday, May 4, 2007

Cangkem Turahe Penonton TV

Ketika Thukul Di-Rasani

Sebuah penelitian di Amerika tentang waktu untuk menonton TV yang hanya kalah banyak dengan waktu bekerja, nampaknya berlaku di mana saja. Tak terkecuali di Desa Tanjung ini. Kegiatan menonton TV sudah menjadi kegiatan utama nomer dua sehari-hari. Nomer satunya ya bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi. Malah untuk anak-anak, waktu belajar baik di sekolah atau di rumah pun masih kalah dengan waktu untuk nonton. TV. Persis seperti penelitian di Amerika tadi. Mungkin Bu Kasur harus merubah lirik lagunya bukan lagi “bangun tidur ku terus mandi” tapi “bangun tidur ku terus nonton TV”.

Tak heran jika masyarakat desa itu, baik tua, muda maupun anak-anak sangat fasih ketika membicarakan acara TV. Mereka fasih menirukan gayanya Thukul, anak-anak sebandel Sinchan, menguasai jalan cerita sinteron Intan. Pokoknya apa yang disajikan TV pasti menempel kuat dalam ingatan mereka. Acara-acara TV pun seringkalimenjadi topic pembicaraan hangat warga Desa Tanjung. Tak peduli di masjid atau warung kopi, ada saja acara TV yang mereka bicarakan.

Tak terkecuali obrolan di warung kopi Yu Kayah malam itu. Kang Salam yang memang menjadi pelanggan tetap di sana mulai membuka obrolan. “Katanya Thukul mau ditegur sama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ya? Dengar-dengar sih dia dianggap porno melecehkan perempuan. KPI menganggap Thukul sering menggunakan kata-kata yang vulgar.”

“Masa kang. Perasaanku guyonannya Thukul biasa saja. Guyonane wong ndeso ya memang seperti itu. Kan nggak ada bedanya dengan guyonan kita ini,”Kang Triman seakan membela Thukul. Pantas saja dia nggak terima Thukul dianggap porno, lha wong Kang Triman ini penggemar berat acara Empat Mata. Tidak ada satu epidode pun yang terlewatkan olehnya. Sampe-sampe istrinya cemburu terhadap Thukul.

Pernah suatu kali ketika bertengkar istrinya menyebut Kang Triman tidak waras karena menggandrungi Thukul. “Wong orangnya jelek, ora bisa bahasa Inggris, mulutnya maju, kok bisa-bisanya digandrungi,” begitu Kang Triman menirukan kemarahan istrinya saat cerita pada tetanngganya. Yang mendengar ketawa terpingkal-pingkal sambil nanggapi, “Ya sing ora waras istrimu. Wong Thukul kok dicemburui.”

“Bagi kita guyonan seperti itu memang biasa. Dan kita pun kalau ngomongin yang agar ngeres semalaman nggak terasa berat. Makanya Thukul sekarang sangat digemari. Mungkin mereka merasa terwakili oleh Thukul. Jarang-jarang to guyonane wong ndeso bisa masuk TV. Biasane TV kan diisi dengan orang kaya, rumahnya mewah, tapi saling iri dan dengki.” Kang Salimun menyampaikan pendapatnya.

“Tapi kalau kita guyonannya kan hanya di warung. Yang mendengarkan kan hanya kita-kita sendiri. Paling Yu Kayah yang terkadang sok ikut-ikut mendengar. Kalau Thukul guyon gitu di TV. Siarannya nasional lagi. Yang nonton kan ya bukan hanya orang dewasa saja. Anak-anak juga banyak yang ikut nonton. Guyonan saru kayak gitu kan memberi pelajaran kurang baik. Istilahnya Thukul ki ora empan papan” Kang Salam mencoba menjelaskan.

Thukul tampaknya benar-benar menjadi obyek pembicaraan jamaah warung kopi-nya Yu Kayah. Tidak ada topik lain yang dibicarakan. Dengan doping Kopi BRONTOSENO, mereka tahan berdiskusi berjam-jam.

Kang Salam terus menambahkan,”Malah kemarin anak-anak SD di Surabaya melakukan demontrasi menentang gaya Thukul yang sering cium pipi artis perempuan bintang tamunya. Terbukti kan kalau anak-anak banyak yang nonton Empat Mata. Apalagi sekarang jamnya malah dimajuin lagi”

“Tapi menurutku KPI juga nggak bisa negur seenaknya, Kang Salam” bela Kang Triman seolah mengenal betul apa KPI itu.

“Seenaknya gimana. Kan memang tugas KPI salah satunya mengawasi isi tayangan TV. Kalau memang ada tayangan TV yang dianggap menyimpang dari aturannya KPI ya ditegur. Apalagi TV itu kan menggunakan barang publik yang namanya frekuensi. Jadi ya nggak bisa seenaknya dia menayangkan acara. Harus benar-benar dapat memberikan pendidikan pada masyarakat.” Kang Salam menerangkan lebih lanjut.

“Kalau memang begitu seharusnya KPI juga menegur sinetron yang hanya menonjolkan kemewahan dan mimpi. Juga sinetron religius yang justru menyesatkan. Masak ada kuburan penuh ular. Wajarlah di dalam tanah banyak ularnya. Atau acara kuis-kuis yang yang bikin orang malas bekerja saja. Aku cari uang setengah mati aja susah dapatnya, ini cuma ketawa-ketiwi udah dapat uang jutaan rupiah.” cerocos Kang Triman.

Kang Triman nampaknya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia terus menumpahkan uneg-unegnya tanpa bisa disela, “Tayangan-tayangan itu kan tidak menunjukkan kepekaan terhadap masyarakat bawah kayak kita ini. Bayangin saja, kita tiap hari disuruh lihat rumah mewah, konflik diantara orang-orang kaya. Pendidikan macam apa itu. Apa kita dididik untuk bersikap culas dan licik untuk mencapai tujuan. Trus apa iya kita disuruh ngiler lihat mewahnya kehidupan orang-orang itu.”

“Terus sekarang ketika kita merasa terwakili oleh Thukul, sekarang KPI menegurnya. Jelas saja kita sakit hati. Yang bilang Thukul porno dan vulgar kan orang-orang kota. Kita orang-orang desa kan nggak pernah nganggap Thukul itu porno. Toh semuanya ha ha hi hi. Buktinya masyarakat suka. Kenapa kita yang tiap hari disuguhi budaya mimpi yang tidak mendidik tidak pernah mempermasalahkan, sekarang mereka mempermasalahkan guyonan “ndeso” ini.” gerundel Kang Triman.

“Sik to Man. Kok kamu malah melebar orang kota dan orang desa ini gimana. Ini masalah tayangan yang dianggap porno di TV.”Kang Salimun mencoba meredam emosi Triman.

Tapi emosi Kang Triman justru semakin memuncak.”Itulah Kang Salimun. Aku melihat KPI tidak adil di sini. Kalau patokannya tayangan itu harus mendidik, tayangan TV itu apa ada yang mendidik. Ya sinetronnya, infotainment-nya, kuisnya, reality show-nya. Kenapa orang-orang kota itu tidak pernah meributkannya. Apa kita yang di desa sebenarnya senang dengan tontonan itu. Kita kan cuma nggak punya pilihan lain aja.”

“Lagipula orang kota itu kan dekat sekali dengan media massa. Sehingga keluhan mereka dimuat media dan seakan-akan keluhan masyarakat. Coba media dengerin suara kita yang di desa ini ya akan lain ceritanya.” Triman melanjutkan ocehannya.

“Tapi kamu nggak sepakat kan kalau ada tayangan TV yang tidak mendidik?” Kang Salam ingin menegaskan, sambil bangkit untuk membayar kopinya.

“Tentu Kang. Tapi ya itu tadi kriterianya jangan bias kota dan desa. Mentang-mentang Thukul mewakili wong ndeso mau ditegur. Sinetron, kuis dan reality show juga harus ditegur. Jika tidak KPI jelas hanya memihak orang kota saja.” kata Kang Triman sambil ikut bayar.

Obrolan warung kopi memang tidak harus menghasilkan kesimpulan, solusi atau kesepakatan. Tapi mereka selalu menghasilkan kejutan-kejutan. Seperti KPI memihak siapa, orang kota atau orang desa? Lalu bagaimana penonton desa terwakili oleh KPI?

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Mei 2006
19.40 WIB
(TS)

Thursday, May 3, 2007

Cangkem Turahe Wong Cilik (3)

Wong Cilik Berbicara Pendidikan

Seperti sebuah ritual, begitu Gus Isol mengakhiri ceramahnya, jemaah pengajian Desa Tanjung sudah membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Mereka asyik “berdiskusi” membunuh waktu sambil mempererat silaturahmi. Cak Pa’i juga tak ketinggalan langsung larut dalam keasyikan berdiskusi. Tokoh kita ini memang keranjingan berdiskusi. Tak tanggung-tanggung topiknya pun cukup berat untuk ukuran desa. Apalagi untuk orang sehari-hari bekerja di POM Bensin. Tapi dengan kebiasaan mengkonsumsi media massa, Cak Pa’i nggak ketinggalan informasi dibanding orang kota.
Cak Pa’i membuka obrolan, “wah hari ini Pak Guru Wanto pasti berbahagia ya. Kan sedang memperingati hari pendidikan nasional.Harinya untuk pak guru-pak guru.”

Yang disebut cuma mesam-mesem saja. Sambil tersenyum dia menanggapi,”Nggih mboten Cak. Ini kan hari pendidikan nasional bukan hari guru. Kalau hari guru, baru sampeyan cocok memberi ucapan selamat pada saya. Ini kan hari pendidikan, berarti yang memperingati bukan hanya guru tapi seluruh masyarakat Indonesia terutama yang terkait langsung dengan sektor pendidikan. Ya pemerintahnya di sini Depertamen Pendidikan, ya sekolahnya, muridnya, gurunya, orang tua siswanya, DPR nya. Pokoknya semua harusnya merayakan.”

“O o ngoten to Pak Guru. Pantesan lek nonton berita TV beritanya ada mahasiswa yang demo. Malah mau kelahi sama polisi gara-gara mahasiswa ngototnurunin bendera merah putih. Katanya prihatin pendidikan kok mahal”, timpal Kang Pangat.

“Benar Kang. Kalau di UUD 1945 kan anggaran pendidikan harusnya 20 %. Tapi pemerintah ngakunya belum mampu menyediakan. Benar nggak itu Pak Guru,” Mas Santo ikut nimbrung. Mas Santo ini orang baru di Desa Tanjung. Dia tinggal di situ gara-gara menikahi gadis desa tersebut.

“Kalau kita baca koran memang begitu Mas. Pemerintah menyatakan belum mampu menyediakan anggaran pendidikan 20 %. Tapi benar ndaknya ya wallahualam. Itu kan pernyataan wakil presiden dan meteri pendidikan yang dikutip oleh wartawan. Kenyataannya gimana ya nggak tahu. Koran sendiri juga tidak pernah menyatakan pernyataan pejabat-pejabat itu benar atau salah. Pokoknya ngambang. Kita mau percaya atau tidak juga nggak punya buktinya,” jelas Pak Guru Wanto.

“Iya , saya juga heran. Koran itu nampaknya nggak pernah ngecek kebenaran pernyataan pejabat itu. Pokoknya diberitakan aja. Harusnya kan mereka ngecek benar nggak sih omongan pejabat itu. Kalau kita kan tinggal baca aja.” cerocos Lek Pardi.

Cak Pa’i nggak mau ketinggalan urun rembug soal itu,” Tapi pejabat-pejabat juga kanya juga bebal. Kemarin aku baca di Kompas 28 April ada yang kayak gitu. Coba bayangin aja jelas-jelas guru pengawas melaporkan ada kecurangan pelaksanaan UN. Lengkap dengan bukti dan modusnya. Tapi Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan malah membantah terjadi kecurangan hanya gara-gara nggak ada laporan di berita acara ujian. Itu kan sama saja dengan nyuruh maling ijin dulu ke polisi sebelum melakukan pencurian alias nggak mungkin gitu looh.”

“Gayamu Cak kayak ABG kota aja ngucap gitu looh. Kenapa nggak sekalian capeek deh atau temennya bawang cabe deeh”, Kang Jarot sewot.

“Wah, nggak nyangka aku. Kang Jarot ternyata berjiwa muda juga. Tontonannya Extravaganza juga”, balas Cak Pa’i.

Kang Parman gatal juga ingin unjuk bicara,” Kalau koran atau TV itu mau beritain terus aku yakin pasti akan terungkap kecurangan lain pelaksanaan UN. Kayak IPDN itu. Koran dan TV beritain terus kan kematian siswanya yang dulu-dulu juga terungkap satu per satu.”

“Semoga aja seperti itu. Media nampaknya memberi perhatian besar soal pendidikan hanya saat hari pendidikan saja. Ada banyak banget persoalan pendidikan yang terungkap. Ya soal anggaran lah, soal kesejahteraan guru lah, soal kondisi gedung sekolah lah, soal kualitas pendidikan. Kita yang dari golongan pendidik merasa diperhatikan,” tutur Pak Wanto.

“Iya Pak Wanto. Sebenarnya jika media mau nyorotin soal-soal pendidikan kayaknya pemerintah akan memberi perhatian serius soal ini. Kalau guru yang ngomong pemerintah malah marah. Ingat nggak Wapres Jusuf Kalla marah-marah dengan puisinya Prof Winarno Surahmad. Saat itu kan Hari Pendidikan juga. Kalau nggak salah waktu itu di Solo deh. Dalam pusinya Professor Winarno nyebut gedung sekolah lebih buruk dari kandang ayam. Wapres menganggap puisi itu menjelekkan bangsa sendiri” celetuk Mas Santo.

“Iya coba aja. Apa wapres berani sama media” Cak Pa’i menimpali.

“May be yes may be no, wong namanya juga mencoba bisa ya bisa tidak. Iya kan?” Pak Guru Wanto menirukan iklan rokok.

Tawa orang-orang mengiringi bubarnya diskusi wong Desa Tanjung.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 3 Mei 2007
17.30
(TS)


Wednesday, May 2, 2007

Cangkem Turahe Wong Cilik (2)

Demo Buruh
Cara Wong Cilik Mencari Perhatian


Seperti suasana pedesaan lainnya, kehidupan malam di Desa Tanjung didominasi oleh kesunyian. Salah satu tempat yang masih ada denyut di kehidupan adalah warung kopi. Mungkin ini paralel dengan diskotek atau klub malam di perkotaan. Jika orang kota menyalurkan hasrat malamnya dengan clubbling, maka orang kampung menjadikan warung kopi sebagai pemuas nafsu begadang. Tapi obrolan di warung kopi ini lebih seru dibanding dengan klub malam. Bagaimana tidak, wong di klub malam lebih seru musiknya ketimbang ngobrolnya. Lebih banyak goyangnya ketimbang bicaranya.

Jika Habermas sempat bertandang ke warung kopi di Desa Tanjung ini mungkin akan memasukkan ke dalam kategori ruang publik (public sphere) yang dia idealkan. Warung kopi ini sudah memenuhi syarat ruang publik-nya Habermas. Seluruh pengunjung warung kopi dapat dengan bebas mengemukakan pendapatnya tanpa adanya larangan-larangan atau penindasan pihak lain. Bahkan di warung kopi ini mereka dapat membicarakan persoalan desanya meski terkadang tidak menemukan solusi. Hampir mirip dengan peran warung angkringan di Yogya. Banyak yang menyebut di warung sego kucing ini aktivis mahasiswa di sana merancang gerakan reformasi 1998.

Malam itu, tampak ada lima pemuda nampak asyik ngobrol sambil menikmati kopi buatan yu Kayah. Kopi yu Kayah ini memang terkenal ampuh untuk menemani begadang. Pokoknya kagak ada matinye jika sudah minum kopi ini. Mungkin Yu Kayah pake Kopi Brontoseno yang memang ces pleng mengusir kantuk.

“Berita TV kok isine demo buruh thok. Dimana-mana buruh demo. Di Jakarta, Medan, Sidoarjo, Gresik. Wis pokoke neng ngendi-ngendi buruh demo, “Yitno Senuk membuka pembicaraan.

“La wong 1 Mei ki pancen hari buruh kok Nuk. Piye to kowe ki. Wajar ae lek buruh demo merayakan hari kemenangannya. Katanya peringatan itu untuk menandai menangnya tuntutan buruh di Perancis seabad yang lalu, “jawab Puji Bogeng.

“Ning lek ra yo kudu demo to Geng. Lihat aja, wis buruhe ora kerjo, jalanan macet, yang lain banyak dirugikan. Jakarta katanya 1 Mei kemarin macet total agara-gara demo itu. “Yitno Senuk menanggapi.

“Yo ora ngono. Pedagang kaki lima malah untung yen ono demo. Dagangane luwih laris diborong sing demo” Bogeng nggak mau kalah.

“yo ora ngono” Senuk masih tidak puas.

“Yen aku kok lihat demo buruh ki kok bentuk wong cilik golek perhatian, “Adi Lembung ikut nimbrung.

“Maksudmu piye, Mbung” Bogeng semangat karena ada yang sepaham dengannya.

“Bayangno wae, kapan buruh iso mengajukan tuntutane kecuali pas hari buruh sedunia iki. Pernah nggak apa yang dituntut buruh kemarin itu menjadi agenda media. Maksude media pernah nggak menyuarakan kepentingan buruh kalau tidak menjelang 1 Mei. Ketika memberitakan pun pernah nggak media menjadikan buruh sebagai sumber berita” Adi Lembung menjelaskan berapi-api.

“Pancen nggak pernah. Buruh nggak pernah bisa bersuara di media. Ketika membicarakan nasib buruh, media selalu mencari tokoh terkenal sebagai sumber berita. Lek ora pemerintah, yo presidene, wakile, atau mentrine, pasti anggota DPR yang ngomong. Padahal orang-orang itu kan nggak pernah merasakan jadi buruh. Mana punya kepekaan akan nasib buruh” Darto Joen tiba-tiba ikut ngomong.

“Makane kuwi, demo menjadi jalan paling bagus untuk menarik perhatian pemerintah media. Ketika demo bikin macet, media pasti akan memberitakan. Apalagi TV. Media ini kan menyukai event-event yang sifatnya dramatis. Pemerintah pun pasti akan mendengarkan apa yang disuarakan buruh. Meskipun aku yakin pemerintah nanti pasti melupakannya juga. Pemerintah kan senengane mlebu kuping tengen metu kuping kiwo.”Adi Lembung menambahkan analisisnya.

“Kayaknya kalau masuk media itu harus ekstrim yo. Yen ora berprestasi apik banget, yo gawe huru-hara sing aneh banget.”sambut Wito Garu.

“ Apa kuwi Ru. Demo kok dibilang huru-hara aneh banget, “cibir Senuk.

“Ora huru-hara kepriye. Coba wae kowe dewekan moro neng istana presiden mau menyampaikan aspirasi. Pulang pasti mukamu bengkak semua dipukuli Paspampres, Garu nggak mau kalah.

“Ning politisi ki pancen pinter. Musim-musim menjelang reshuffle atau pemilu 2009, mereka sekarang jadi ramah banget dengan orang yang demo. Sutiyoso aja kemarin ikut orasi di Demo Buruh. Wakil Presiden malah menerima perwakilan buruh. Padahal tahun lalu, Sutiyoso menetapkan Jakarta siaga satu menjelang May Day. Kok iso-isone sekarang mendukung aksi buruh.”Lembung menambahkan omongan.

“Ketoke yo ngono. Wingi pas warga Perum Tanggulangin Sejahtera (TAS) yang menjadi korban lumpur Lapindo ngurug ke Jakarta, Sutiyoso ikut menjamunya. Malah presiden karo wakile rebutan nrimo perwakilan korban lumpur. Setelah wapres menerima, sejam kemudian presiden ikut-ikutan menerima. Asem, koyo cah cilik tenan pemimpine awake dewe ki.”timpal Darto.

“lek aku gampang saja. Itu media-nya yang salah. Ngapain media memberitakan hal-hal yang nggak penting kayak gitu. Politisi kan kerjaannya tebar pesona. Wajar saja tiap ada kesempatan cari muka. Salahnya media kok mau dijadikan tempat poles muka.” Jawab Garu sok menirukan Gus Pur, guru bangsa di tayangan Republik mimpi.

“Asu kok malah nyalahke media to. Media kan cuma memberitakan saja.”Senuk uring-uringan.

“Iyo, emang kowe sopo kok wani nyalahne media” Bogeng ikut menyalahkan sambil membayar kopinya.

“Emang kita nggak boleh nyalahin media?” jawab Garu ikut-ikutan berdiri membayar.

Setelah membayar kopi ke Yu Kayah, mereka bubar dengan membawa pertanyaan apakah media tidak boleh disalahkan? Apakah masyarakat kecil tidak boleh menyalahkan media?

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 2 Mei 2007
11.00 WIB
(TS)

Cangkem Turahe Wong Cilik

Wong Cilik Memandang Reshuffle


Saat pengajian reboan, merupakan saat paling ditunggu oleh masyarakat Desa Tanjung. Mengapa? Karena hanya pada saat itulah mereka dapat berkumpul dan bertemu dengan warga lainnya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi ditengah perjuangan memenuhi tuntutan ekonomi sehari-hari. Tidak hanya mendengar siraman rohani dari Gus Isol sang ulama kampung, mereka juga dapat memperbincangkan segala hal seusai acara. Bahkan yang terakhir ini lebih “hot” ketimbang pengajiannya.

Seperti malam itu. Ketika Gus Isol sudah mengakhiri ceramahnya, beberapa orang langsung membentuk majelis-majelis kecil. Salah satu yang terlihat paling ramai adalah majelisnya Cak Pa’i. Meski sehari-hari cuma pegawai pom bensin, kawan kita satu ini tidak kalah dengan pengamat politik di Jakarta dalam hal informasi. Selain rutin nonton berita TV, dia juga langganan koran dan majalah. Tak tanggung-tanggung Cak Pa’i langganan Kompas, Jawa Pos dan Majalah Tempo. Tak heran, dia selalu menjadi trend setter ketika membicarakan isu aktual.
Pada kesempatan itu, Cak Pa’i rupanya tertarik membicarakan soal rencana Presiden SBY melakukan reshuffle kabinet. Presiden memang menjanjikan akan melakukan bongkar-pasang kabinetnya awal Mei ini. Rencana yang kemudian diplesetkan menjadi may be yes may be no. Meniru iklan rokok yang cocok dengan watak presiden kita itu.

“Politisi-politisi di Jakarta sudah sibuk bermanuver untuk mendekati presiden. Tujuan mereka cuma satu, jagonya dapat duduk menjadi menteri”, Cak Pa’i membuka obrolan.

“Ojo sok tahu Cak. Bagaimana sampeyan tahu manuver politisi-politisi la wong sampeyan ki kerjaannya ngisi bensin. Kalo harga bensin naik baru aku percaya karo sampeyan Cak”, timpal Lek Sarno.

“Makane to sampeyan ki lek nonton TV jangan sinteron thok. Tontonan seperti itu nggak ada manfaatnya buat sampeyan kecuali bisa menangis atau tertawa. Kabeh kuwi dagelan lek. Sampeyan harusnya itu nonton Liputan 6 atau Seputar Indonesia. Wis pokoke berita lah. Kuwi sing bermanfaat”, Cak Pa’i menannggapi.

Lek Sarno yang petani ini memang penggemar berat sinetron. Dia sangat hafal sinetron apa yang sedang tayang di TV kita. Tetangga kita satu ini sangat fasih kalau cerita soal Intan, Wulan atau sinteron lainnya.

Cak Pa’i meneruskan perkataannya, “Dari berita TV atau koran tiap hari pasti ada itu cerita bagaimana nasib menteri anu, menteri itu. Bagaimana partai A ingin presiden mengganti menteri B. Atau politisi itu mendekati wakil presiden untuk memastikan nasib menteri yang dia dukung.”

Puji Gandhen, yang biasanya hanya diam dan asyik merokok, tertarik juga untuk bersuara. “Sik to Cak. Sampeyan kok cerita manuver menteri ini, menteri itu, politisi anu, politisi ini. Terus pentinge bagi awake dewe ki opo?” tanyanya pada Cak Pa’i.

“Pancen beritane media isinya gitu Ndhen. Nggak ada berita yang cerita masyarakat desa A tidak ingin reshuffle. Atau Presiden SBY meminta saran pedagang kaki lima untuk mengganti menteri perdagangan atau petani desa kita untuk menilai kinerja menteri pertanian. Yang ada di media cuma politisi thok. Terus gimana.”yang ditanya menjawab.

“Kalau mendengar ceritamu tadi kelihatan sekali politisi-politisi itu hanya mementingkan dirinya sendiri. Si ini ingin dapat posisi menteri itu. Si anu ingin mengamankan kawannya. Lalu siapa yang menyuarakan kepentingan kita Cak?” Kang Jarot ikut nimbrung.

“ya harusnya media yang menyuarakan Kang. Mereka kan punya tanggungjawab sosial untuk selalu mengabdi pada kepentingan masyarakat. Itu sebagai konsekuensi kemampuannya berbicara dengan banyak orang secara serempak tanpa dibatasi ruang dan waktu. Apalagi TV, wajib hukumnya melayani kepentingan masyarakat karena menggunakan gelombang frekuensi yang jumlahnya terbatas. Tapi kenyataannya media selalu menampilkan apa yang dikatakan Cak Pa’i tadi. Leres ngoten to Gus?” Pak Guru Wanto minta penguatan Gus Isol yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
“Leres Pak Guru. Harusnya memang begitu. Kata anak saya yang kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM media sekarang memang menerapkan jurnalisme omongan. Jurnalisme yang memungkinkan berita dibuat berdasar omongan pihak A kemudian dibantah pihak B. Istilah Inggrise ki talking journalism, utawa istilahe dewe yo jurnalisme cangkeman. Cilakane meneh sing nyangkem pun dipilih-dipilih. Istilahe ki media menerapkan prinsip prominence. Hanya orang-orang terkenal lah yang bisa nyangkem di media.” Gus Isol menjelaskan.

“Ngoten nggeh Gus?” Lek Sarno mencari penguatan.

“Coba deloken No, siapa saja yang bisa nyangkem di media. Pasti presiden, menteri, politisi, partai atau artis. Masyarakat pun pasti harus ada embel-embelnya pengamat atau cendekiawan. Meskipun kadang cangkemane ki yo ra mutu kae. La koyok awake dewe iki hampir mustahil bisa masuk ke media. Kowe misale. Meskipun tiap malam nonton sinetron nggak pernah dilirik karo wong media. Paling-paling carane yo kowe kudu nyopet disik terus ketangkep dan digebuki massa, mesthi kowe mlebu buser” Gus Isol menambahkan lebih lanjut.

“Ah, Gus Isol saget mawon,” jawab Lek Sarno sambil cengar-cengiri diketawain teman-temannya yang lain.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 2 Mei 2007
09.40 WIB
(TS)