Wong Cilik Mengimpikan Media
“13 anggota Marinir yang menembak warga Alas Tlogo melaporkan masyarakat Alas Tlogo karena melakukan penganiayaan terhadap 13 marinir tersebut.” Berita TV pagi iitu langsung menarik perhatianku. Aneh, aku tidak nyinyir seperti biasanya jika melihat berita yang aku anggap menarik. Aku diam saja. Sepertinya ada yang aneh dengan berita tersebut.
Aku mematikan TV untuk mengerjakan aktivitas lainnya. Tapi, pikiranku tetap tertuju pada berita itu. Sangat jelas terngiang di telingaku “13 anggota Marinir yang menembak warga Alas Tlogo melaporkan masyarakat Alas Tlogo karena melakukan penganiayaan terhadap 13 marinir tersebut.”Tentara yang menembak masyarakat kini melaporkan masyarakat dengan tuduhan melakukan penganiayaan terhadap tentara tersebut.
Mungkin itu bukan sesuatu yang aneh, tapi jelas nalarku tidak mampu menangkap logika berita tersebut. 13 anggota marinir yang menembak kini melaporkan warga yang ditembakinya dengan alasan penganiayaan. Ah, semakin pusing kepalaku ketika mencari logika berita tersebut. Apa mungkin ini yang disebut sebagai tindakan marinir membela diri itu? Artinya, masyarakat-lah yang melakukan penyerangan. Kalau begitu mariner-marinir itu tidak bersalah dong? Jika memang marinir itu tidak bersalah, kenapa mereka justru ditahan? Apabila marinir itu benar hanya membela diri, mengapa justru masyarakat yang menjadi korban?
Pikiranku terus menerawang ke berita itu. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelayuti pikiranku semakin banyak. Mengapa berita seperti itu dapat muncul di media massa? Mengapa aku sebagai penonton selalu dijejali informasi kasus Pasuruan itu dari versinya tentara? Malam sebelumnya, pengacara marinir-marinir itu telah berbusa-busa menjelaskan teori marinir membela diri. Jika ada sumber informasi yang bertentangan dengan teorinya tentara, media pasti menyuguhkan anggota DPR atau aktivis LSM ke hadapanku. Lalu dimana masyarakat yang langsung mengalami peristiwa itu? Kenapa masyarakat yang dilaporkan melakukan penganiayaan terhadap marinir-marinir tidak pernah disuguhkan kepada kita selaku penikmat media?
Aku teringat dengan penjelasan dosenku saat kuliah dulu. Dengan lancarnya dia membicarakan bagaimana media massa (TV adalah media massa) menjadi arena untuk membangun kebenaran. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Yang ada adalah konstruksi atas kebenaran itu. Media massa menjadi arena yang empuk untuk membangun kebenaran sesuai versi masing-masing. Biasanya, orang yang berkuasalah yang mampu menciptakan kebenaran sesuai versinya. Mereka punya kemampuan lebih untuk masuk ke media massa.
Aku ingat sekali penjelasan itu. Aku pun masih bisa menceritakan lanjutan dari penjelasan itu. Kekalahan masyarakat kecil (wong cilik) bermula dari ketidakmampuannya memperoleh akses menceritakan kebenaran versinya lewat media. Media sendiri jarang sekali yang menyediakan kapling bagi wong cilik untuk bersuara. Kapling arena media sudah habis untuk pemerintah, politisi, pengusaha, selebritis maupun aktivis LSM. Maka jika ada urusan kayak kasus Pasuruan itu, warga Alas Tlogo cukuplah diwakili DPR atau aktivis LSM itu. Habis perkara.
Aku tersenyum mengingat penjelasan dosenku itu. Kini aku baru tahu logika apa yang mendasari pemuatan berita marinir melaporkan warga Alas Telogo. Media pasti dengan senang hati memberi kapling bagi penguasa-penguasa itu menceritakan kebenaran versinya sendiri. Ya, itulah logikanya.
Bukan hanya itu, aku juga menyadari kenapa berita-berita soal Pemilihan Gubenrnur DKI hanya berisi calon-calon yang akan bertanding, tim sukses, partai politik atau pengamat politik. Media memanggungkan mereka untuk sekedar adu balap siapa yang akan memenangkan pemilihan gubernur itu. Omong kosong dengan kemacetan yang melanda Jakarta, persetan dengan banjir yang setiap lima tahun datang menerjang, terserah masyarakat mampu makan atau tidak.
Keningku kemdian berkerut memikirkan semua ini. Betapa susah menjadi wong cilik. Kebutuhan sehari-hari semakin sulit dipenuhi. Makan, sekolah, membuthkan uang yang tidak sedikit. Kini untuk bersuara pun mereka tidak diperbolehkan. Media, alat yang memungkinkan suara mereka terdengar tidak menyediakan tempat sedikit pun bagi mereka. Ah, celaka betul kehidupan wong cilik itu.
Tampaknya benar apa yang kupikirkan selama ini. Wong cilik tidak boleh menggantungkan diri pada media-media itu. Jika mereka melakukannya sama artinya mereka menggantungkan nasib pada politisi, selebritis, atau tokoh-tokoh LSM. Sampai kapanpun wong cilik itu hanya akan berharap orang lain yang menyuarakan keinginan mereka. Ironis kan?
Ya, memang cukup ironis. Tapi lebih ironis lagi diriku. Ketika sudah berpikir sampai di sini, aku tidak tahu solusi apa agar wong cilik bisa bersuara. Apa iya mereka harus bikin media sendiri? Memang ada peluang mendirikan media komunitas. Apakah itu solusi yang tepat? Media komunitas memiliki jangkauan terbatas pada areal tempat tinggal won cilik itu sendiri. Nanti semboyannya jadi dari wong cilik, untuk wong cilik dan didengar wong cilik. La, kapan penggede-penggede itu mendegarkan suara mereka? Entahlah, mungkin media hanya menjadi impian bagi wong cilik.
Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 11 Juni 2007
11.25 WIB
AF
Monday, June 11, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
World Of Warcraft gold for cheap
wow power leveling,
wow gold,
wow gold,
wow power leveling,
wow power leveling,
world of warcraft power leveling,
world of warcraft power leveling
wow power leveling,
cheap wow gold,
cheap wow gold,
buy wow gold,
wow gold,
Cheap WoW Gold,
wow gold,
Cheap WoW Gold,
world of warcraft gold,
wow gold,
world of warcraft gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold,
wow gold
buy cheap World Of Warcraft gold j3u6u7pq
Post a Comment