Saturday, June 7, 2008

Pemerintah Pisahkan Mahasiswa Dengan Masyarakat

Jika kita perhatikan, pemerintah atau pihak-pihak yang pro kenaikan BBM menggunakan strategi memisahkan gerakan mahasiswa dengan masyarakat. Mereka menggunakan media untuk menunjukkan bahwa apa yang disuarakan mahasiswa bukanlah apa yang diinginkan masyarakat. Pemerintah melalui media mencoba melokalisir isu kenaikan BBM menjadi isu mahasiswa bukanlah isu masyarakat.

Bagaimana hal ini dilakukan? Media sangat gencar memberitakan soal Bantuan Langsung Tunai (BLT). Mereka memberitakan bagaimana masyarakat “miskin” rela bersusah payah antre untuk menerima BLT. Melalui cara ini, media ingin mengkonstruksikan bahwa yang menolak kenaikan BBM itu Cuma mahasiswa. Masyarakat bisa menerima kebijakan ini, yang dibuktikan dengan mereka menyambut gembira penyaluran BLT.

Media tampaknya sengaja tidak ingin mengeksplorasi lebih jauh apakah benar sikap masyarakat yang menerima penyaluran BLT otomatis menerima kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Bukankah masyarakat miskin memang akan dengan senang hati jika ada yang memberi uang, karena mereka sangat membutuhkannya. Tapi jika dikaitkan dengan penerimaan terhadap kebijakan kenaikan BBM, kita harus membuktikan lebih jauh.

Melalui pemberitaan BLT yang gencar, media terlihat ingin mengkonstruksikan bahwa pernyataan Wapres Kalla bahwa subsidi hanya untuk orang kaya adalah valid. Pemerintah telah mengalihkan subsidi hanya untuk orang miskin melalui penyaluran dana BLT. Media lupa bahwa orang kaya tidak pernah terkena pengaruh kenaikan harga BBM. Mereka tidak pernah peduli apakah BBM mau dinaikkan atau tidak. Justru orang miskin lah yang semakin dijauhkan dari akses terhadap BBM. Apakah dengan BLT sebesar Rp 100.000,- per bulan, masyarakat seperti Mbok Sarmi penjualan gorengan, Pak To penjual pecel dan golongan masyarakat miskin lainnya masih tetap bisa membeli minyak tanah atau elpiji untuk kebutuhan memasak sehari-hari?

Jika media memang memiliki keberpihakan terhadap nasib masyarakat kecil, hal ini harusnya dieksplorasi. Di sinilah sebenarnya suara hati masyarakat yang ingin disuarakan mahasiswa. Media harusnya ingat dengan pernyataan Aburizal Bakrie saat kenaikan BBM 2 tahun yang lalu. Saat itu, Ical yang katanya Forbes orang terkaya di Asia Tenggara mengatakan ”jika tidak mampu beli Elpiji ya jangan pakai Elpiji”. Pernyataan ini relevan dengan situasi sekarang.

Media juga mengkonstruksi terpisahnya aksi mahasiswa dengan masyarakat dengan cara tidak menurunkan berita soal inti tuntutan mahasiswa tapi efek negatif dari aksi itu. Detik.com misalnya. Dalam berita tentang aksi mahasiswa Atmajaya selalu menekankan pada macetnya Jalan Sudirman akibat demo itu. Pada berita 30 Mei 2008, Detik .Com menurunkan berita jalan Sudirman matot (macet total) sehingga akses dari Bunderan HI ke Blok M terputus. Detik.Com hanya mengambil sumber berita petugas TMC Polda Metro Jaya.
Jika kita membaca berita itu, Detik.Com ingin mengkonstruksikan bahwa masyarakat sebenarnya tidak menginginkan demo mahasiswa Atmajaya. Masyarakat justru mendapat kesusahan dengan demo itu, karena jalanan menjadi macet total. Apalagi Detik.Com sama sekali tidak mencari sumber berita dari pelaku aksi. Detik.Com juga tidak mengeksplorasi apakah benar masyarakat tidak terwakili dengan tuntutan yang disuarakan mahasiswa dalam aksi itu. Kalangan bermobil yang terkena kemacetan mungkin tidak terwakili. Tapi untuk masyarakat miskin jawabannya bisa lain.

Teman-teman mahasiswa mungkin harus menunjukkan bagaimana mahasiswa bersatu dengan masyarakat. Selama ini mungkin dukungan masyarakat terhadap aksi mahasiswa menjadi mayoritas diam (silent majority). Media memang tidak pernah mengungkapkan itu sebab mereka punya agenda untuk menggambarkan bahwa aksi mahasiswa tidak didukung oleh masyarakat. Jika dukungan itu sedikit diekspose ke permukaan akan dapat menjawab bagaimana fakta yang sesungguhnya.

No comments: