Friday, June 13, 2008

Media Yang Masih Menggemari Konflik


Nunung Prajart
o, dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UGM, pernah menyatakan bahwa dalam sebuah konflik media massa dapat memerankan diri sebagai “intensifier” konflik. Media dapat meningkatkan intensitas konflik itu. Penelitianku untuk skripsi, juga menemukan media dapat mengolah konflik diantara dua kelompok elit politik, dalam hal ini Kubu Gus Dur dan kubu Megawati. Akhirnya kita tahu, Megawati akhirnya menggantikan Gus Dur yang dilengserkan dari kursi presiden. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi jika Megawati tidak bersedia.

Media kembali mempertontonkan hal yang sama ketika memberitakan soal FPI dan AKKBB. Berita-berita yang ditampilkan media hanya berisi pertentangan diantara kedua kelompok. Hal ini dapat dilihat dari tema-tema berita yang diangkat media. Seminggu ini kita disuguhi berita soal tuntutan pembubaran FPI, aksi massa terhadap FPI di berbagai daerah, tuduhan aksi AKKBB didanai asing, Munarman yang buron, “premanisme” FPI dan pembubaran Ahmadiyah.

Tema-tema berita itu hanya meningkatkan eskalasi pertentangan diantara dua kelompok. Kita dapat membayangkan bagaimana perasaan anggota FPI jika melihat berita kawan-kawan mereka di daerah didatangi massa dan dipaksa membubarkan diri. Di sisi lain, bagaimana massa pendukung Gus Dur tidak bereaksi jika kejadian Monas 1 Juni 2008 terus-menerus diangkat.

Bahkan setlah SKB Ahmadiyah dikeluarkan, media masih memberitakan tantangan Habib Rizieq, Ketua FPI terhadap Gus Dur untuk bermubahalah. Mubahalah adalah jalan dua orang yang bertikai untuk mendapatkan keadilan Tuhan. Nabi Muhammad SAW pernah melakukan hal ini untuk membuktikan kebenaran Islam dihadapan orang kafir. Nabi saat itu mengajak seluruh keluarganya untuk menantang orang kafir itu meminta keadilan dari Tuhannya masing-masing. Tentu saja, tarikh Islam menyebutkan Nabi Muhammad lah yang memenangkan mubahalah itu.

Tema ini dapat berpotensi untuk membuka konflik lebih lebar FPI dan pendukung Gus Dur. Seandainya benar-benar terjadi, kita sangat susah mengukur siapa yang dibela oleh Tuhan. Apakah jika Gus Dur meninggal dalam masa itu dapat dimaknai jika Habib Rizieq lah yang benar? Bukankah Gus Dur memang sudah sakit-sakitan. Gus Dur tiap minggu harus cuci darah di RSCM.

Jika kita merunut sejarah Ahmadiyah, konflik mereka dengan kelompok Islam lainnya disebabkan kegemaran da’i-da’inya menantang mubahalah ulama dan kyai yang ada di daerah dakwahnya. Inilah yang menmbulkan sikap antipati terhadap Ahmadiyah. Jadi bukan persoalan Mirza Ghulam sebagai nabi atau bukan. Jika tradisi ini diteruskan media sama saja mereka menumbuhkan sikap antipati diantara kelompok masyarakat.

Media sebaiknya beusaha mengarahkan tema-tema beritanya untuk menurunkan eskalasi pertantangan dan kekerasan. Mereka bisa saja mendorong pemerintah untuk bertindak tegas menjaga keamanan dan ketertiban. Polisi harus mampu menihilkan aksi kekerasan atas nama apapun. Media juga dapat mendorong budaya dialog dan sikap saling menghargai pendapat yang berbeda. Bisa saja, media memfasilitasi debat antar tokoh sehingga mejadi penyaluran konflik.

No comments: