Monday, June 4, 2007

Cangkem Turah Pasuruan

Sunyinya Perjuangan Rakyat Kecil

Geram, pedih, tak berdaya. Perasaan itulah yang aku rasakan saat mendengar berita penembakan warga Desa Alas Tlogo Pasuruan oleh pasukan marinir Angkatan Laut. Geram jika mengingat bagaimana peluru yang dibeli dengan uang rakyat ditembakkan kembali pada rakyat. Nampaknya tentara-tentara itu sengaja memplesetkan arti demokrasi yang dari rakyat untuk rakyat, menjadi peluru dari rakyat harus diperuntukkan bagi rakyat. Penghinaan besar untuk negeri yang katanya sedang reformasi ini. Aku hanya bisa diam menyimak adegan penembakan yang kebetulan direkam video amatir dan disebarluaskan lewat media TV.

Hatiku semakin pedih jika mengingat kembali track record pasukan marinir di masa lalu. Ingatanku kembali melayang peristiwa dahsyat 9 tahun silam, sebuah peristiwa yang membelokkan sejarah negeri ini. Waktu itu, 1998 aku baru saja lulus SMA dan mempersiapkan diri mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Saat itulah, masyarakat meluapkan kemarahannya dengan demo besar-besaran. Tentara yang berada di bawah ketiak penguasa tentu saja membela majikannya bersikap represif pada masyarakat. Ternyata ada sekelompok tentara yang memilih memihak pada masyarakat dan “melindungi” mahasiswa yang sedang berdemo. Konon, tindakan simpatik marinir inilah sal;ah satu penyebab kenapa pergantian kekuasaan 1998 tidak “seberdarah” yang dibayangkan. Kini, jika pasukan yang dekat dengan rakyat saja sudah tega menembaki rakyat kecil tak berdaya, siapa lagi yang bisa disebut sebagai tentara rakyat?

Lebih celaka lagi, marinir berbuat brutal seperti itu hanya karena membela kepentingan pengusaha, PT Rajawali Nusantara Indonesia (PT-RNI). Biadaaaabbb, jerit hatiku. Apa sih kelebihan perusahaan itu sehingga nyawa masyarakat Alas Tlogo begitu murahnya? Apa tentara-tentara itu tidak berpikir bahwa mereka hanya dijadikan alat oleh pengusaha sehingga dia lupa dengan akarnya dari rakyat kecil? Tapi di Indonesia memang jamak terjadi perselingkuhan pengusaha dan tentara.

Aku semakin diam mendengar berita TV. Diam, tak dapat berbuat apa-apa. Perasaan tak berdaya semakin kuat menyergap dan menguasai diriku. Apa yang bisa dilakukan kepada tentara-tentara yang telah berbuat biadab itu? Paling, orang-orang hanya bisa berteriak atau mengumpat dalam hati saja. Kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi di negeri ini dan semuanya lenyap dalam kegelapan misteri. Masyarakat Alas Tlogo memang sempat melawan dengan memblokir jalan utama Pantura Jatim. Tapi itu pun hanya sebentar. Mungkin sebentar lagi kasus ini pun akan menguap seperti kejadian yang dulu-dulu.

Kenapa kamu pesimis seperti itu? Bukankah tidak ada penindasan yang langgeng di dunia ini? Apa kamu tidak ingat bagaimana kuatnya Soeharto saat itu, toh bisa runtuh juga. Apalagi serkedar marinir atau PT Rajawali? Hatiku berdebat panjang. Memang benar, Soeharto yang kuat saja bisa turun dengan demo rakyat. Tapi kan, kasus-kasus yang melibatkannya tidak pernah bisa diusut dengan tuntas. Apa benar kebrutalam marinir ini bisa diselesaikan dengan tuntas sehingga tidak terulang lagi di masa mendatang?
Rasa-rasanya sikap pesimisku itu benar adanya. Media massa yang menjadi arena utama pembentukan opini publik juga tidak serta-merta memihak kepada rakyat Alas Telogo. Aku sadar, media massa memang memiliki kekuasaan untuk ”berbicara dengan publik”. Mereka punya kemampuan untuk menentukan agenda mana yang menjadi perhatian publik. Dan mereka juga punya kuasa ikut bermain menentukan wacana mana yang dominan menggiring opini publik.

Aku hanya bisa berharap media memanfaatkan kekuasaannya untuk mengabdi pada kebenaran. Jurnalis Amerika, Bill Kovach menuliskan sembilan elemen jurnalisme yang salah satunya menyebutkan media hanya berpihak pada kebenaran. Dalam posisi yang tidak seimbang seperti marinir dan RNI melawan rakyat Alas Telogo, kebenaran menurutku adalah memihak rakyat tak berdaya.

Ya, media harus memihak rakyat kecil. Kalau media tidak mau berpihak, siapa lagi yang akan menemani rakyat kecil? Tekanan hidup sudah menghimpit mereka. Sumber daya apa lagi yang dapat mereka andalkan dalam memperjuangkan haknya bil;a tidak mengandalkan media?

Tidak, media tidak semudah itu untuk berpihak. Mereka juga punya mitos cover both side. Media tidak boleh hanya memberitakan dari versi rakyat Alas Telogo saja. Versi marinir pun harus didengarkan. Bahkan jika perlu RNI pun harus didengarkan omongannya. Jika tidak media akan jatuh pada penghakiman oleh media “trial by the press”. Aku terngiang ucapa dosenku saat kualiah dulu. Mitos-mitos tentang media yang harus kuhapalkan untuk kutulis lagi di lembar-lembar ujian demi sebuah nilai A dan IP di atas 3. Ah, mitos sekolah lebih lucu lagi. Meraih nilai bagus yang menjadi standar keberhasilan pendidikan ternyata tidak seserius yang dibayangkan. Aneh, jika mengingat betapa bangganya Wapres Jusuf Kalla dengan standar Ujian Nasional. Saudagar satu ini seakan tidak tahu kondisi sekolah di Indonesia seperti apa.

Bukankah dosenku dulu juga mengajarkan bahwa media massa tidak memberikan kesempatan yang sama untuk masuk mendapatkan pemberitaan media? Ada teknik-teknik tertentu yang mampu menarik media agar menulis berita sesuai dengan kepentingan seseorang atau suatu kelompok. Aku kemudian teringat dengan konsep spin doctor, yang mampu mengarahkan opini atas suatu peristiwa. Iya, bukankah dalam PR ada spesifikasi media relations yang khusus menangani hubungan dengan media.

Siapa yang punya akses ke media dialah yang akan menguasai opini publik. Ooo, itu to kenapa pihak TNI AL khususnya komandan marinir berbusa-busa menjelaskan kronologi tragedi Alas Telogo versi mereka. Mereka berusaha sejak awal ingin mendesakkan cerita Pasuruan sesuai skenario mereka. Marinir membela diri, rakyat kecil yang menjadi penyebab. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi tersangka.

Syukurlah, skenario itu tampaknya tidak sepenuhnya berhasil. Media tidak mudah untuk mereka kadali. Cerita versi rakyat kecil pun masih sesekali menyeruak, meski yang dominan tetap saja penguasa-penguasa itu. DPR, Panglima TNI, KSAL, Komandan Marinir, Komnas HAM selalu menghiasi pemberitaan media. Sementara Misnatin dan rekan-rekannya yang menjadi korban hanya sesekali muncul di media. Itu pun melengkapi kunjungan Jusuf Kalla yang sedang tebar pesona. Apesmu rakyat kecil.

Hatiku semakin kecut melihat berita-berita itu. Perjuangan rakyat kecil semakin sunyi saja. Tidak ada gegap-gempita silang pendapat berita media. Aku jadi ingat kenapa aku dulu menamakan tagline blog-ku ini ”sunyi dalam ramai”. Rasa sunyi itu tiba-tiba menguasai hatiku ketika ingin mengakhiri celotehanku ini.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Juni 2007
19.15 WIB
TS

1 comment:

Nerinda ♥ said...

Hmm...
rasanya jadi ga bisa berkata2...
aku pernah berbusa2 cerita ke temen kantorku tetang kekesalanku sama itu para penembak.. aku bilang ,"ga adil banget ya, selalu rakyat kecil yang jadi objek penderita". dan temenku cuma jawab singkat, "kata siapa dunia ini adil".
So?