Thursday, May 3, 2007

Cangkem Turahe Wong Cilik (3)

Wong Cilik Berbicara Pendidikan

Seperti sebuah ritual, begitu Gus Isol mengakhiri ceramahnya, jemaah pengajian Desa Tanjung sudah membentuk lingkaran-lingkaran kecil. Mereka asyik “berdiskusi” membunuh waktu sambil mempererat silaturahmi. Cak Pa’i juga tak ketinggalan langsung larut dalam keasyikan berdiskusi. Tokoh kita ini memang keranjingan berdiskusi. Tak tanggung-tanggung topiknya pun cukup berat untuk ukuran desa. Apalagi untuk orang sehari-hari bekerja di POM Bensin. Tapi dengan kebiasaan mengkonsumsi media massa, Cak Pa’i nggak ketinggalan informasi dibanding orang kota.
Cak Pa’i membuka obrolan, “wah hari ini Pak Guru Wanto pasti berbahagia ya. Kan sedang memperingati hari pendidikan nasional.Harinya untuk pak guru-pak guru.”

Yang disebut cuma mesam-mesem saja. Sambil tersenyum dia menanggapi,”Nggih mboten Cak. Ini kan hari pendidikan nasional bukan hari guru. Kalau hari guru, baru sampeyan cocok memberi ucapan selamat pada saya. Ini kan hari pendidikan, berarti yang memperingati bukan hanya guru tapi seluruh masyarakat Indonesia terutama yang terkait langsung dengan sektor pendidikan. Ya pemerintahnya di sini Depertamen Pendidikan, ya sekolahnya, muridnya, gurunya, orang tua siswanya, DPR nya. Pokoknya semua harusnya merayakan.”

“O o ngoten to Pak Guru. Pantesan lek nonton berita TV beritanya ada mahasiswa yang demo. Malah mau kelahi sama polisi gara-gara mahasiswa ngototnurunin bendera merah putih. Katanya prihatin pendidikan kok mahal”, timpal Kang Pangat.

“Benar Kang. Kalau di UUD 1945 kan anggaran pendidikan harusnya 20 %. Tapi pemerintah ngakunya belum mampu menyediakan. Benar nggak itu Pak Guru,” Mas Santo ikut nimbrung. Mas Santo ini orang baru di Desa Tanjung. Dia tinggal di situ gara-gara menikahi gadis desa tersebut.

“Kalau kita baca koran memang begitu Mas. Pemerintah menyatakan belum mampu menyediakan anggaran pendidikan 20 %. Tapi benar ndaknya ya wallahualam. Itu kan pernyataan wakil presiden dan meteri pendidikan yang dikutip oleh wartawan. Kenyataannya gimana ya nggak tahu. Koran sendiri juga tidak pernah menyatakan pernyataan pejabat-pejabat itu benar atau salah. Pokoknya ngambang. Kita mau percaya atau tidak juga nggak punya buktinya,” jelas Pak Guru Wanto.

“Iya , saya juga heran. Koran itu nampaknya nggak pernah ngecek kebenaran pernyataan pejabat itu. Pokoknya diberitakan aja. Harusnya kan mereka ngecek benar nggak sih omongan pejabat itu. Kalau kita kan tinggal baca aja.” cerocos Lek Pardi.

Cak Pa’i nggak mau ketinggalan urun rembug soal itu,” Tapi pejabat-pejabat juga kanya juga bebal. Kemarin aku baca di Kompas 28 April ada yang kayak gitu. Coba bayangin aja jelas-jelas guru pengawas melaporkan ada kecurangan pelaksanaan UN. Lengkap dengan bukti dan modusnya. Tapi Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan malah membantah terjadi kecurangan hanya gara-gara nggak ada laporan di berita acara ujian. Itu kan sama saja dengan nyuruh maling ijin dulu ke polisi sebelum melakukan pencurian alias nggak mungkin gitu looh.”

“Gayamu Cak kayak ABG kota aja ngucap gitu looh. Kenapa nggak sekalian capeek deh atau temennya bawang cabe deeh”, Kang Jarot sewot.

“Wah, nggak nyangka aku. Kang Jarot ternyata berjiwa muda juga. Tontonannya Extravaganza juga”, balas Cak Pa’i.

Kang Parman gatal juga ingin unjuk bicara,” Kalau koran atau TV itu mau beritain terus aku yakin pasti akan terungkap kecurangan lain pelaksanaan UN. Kayak IPDN itu. Koran dan TV beritain terus kan kematian siswanya yang dulu-dulu juga terungkap satu per satu.”

“Semoga aja seperti itu. Media nampaknya memberi perhatian besar soal pendidikan hanya saat hari pendidikan saja. Ada banyak banget persoalan pendidikan yang terungkap. Ya soal anggaran lah, soal kesejahteraan guru lah, soal kondisi gedung sekolah lah, soal kualitas pendidikan. Kita yang dari golongan pendidik merasa diperhatikan,” tutur Pak Wanto.

“Iya Pak Wanto. Sebenarnya jika media mau nyorotin soal-soal pendidikan kayaknya pemerintah akan memberi perhatian serius soal ini. Kalau guru yang ngomong pemerintah malah marah. Ingat nggak Wapres Jusuf Kalla marah-marah dengan puisinya Prof Winarno Surahmad. Saat itu kan Hari Pendidikan juga. Kalau nggak salah waktu itu di Solo deh. Dalam pusinya Professor Winarno nyebut gedung sekolah lebih buruk dari kandang ayam. Wapres menganggap puisi itu menjelekkan bangsa sendiri” celetuk Mas Santo.

“Iya coba aja. Apa wapres berani sama media” Cak Pa’i menimpali.

“May be yes may be no, wong namanya juga mencoba bisa ya bisa tidak. Iya kan?” Pak Guru Wanto menirukan iklan rokok.

Tawa orang-orang mengiringi bubarnya diskusi wong Desa Tanjung.

Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 3 Mei 2007
17.30
(TS)


No comments: