Wong Cilik Memandang Reshuffle
Saat pengajian reboan, merupakan saat paling ditunggu oleh masyarakat Desa Tanjung. Mengapa? Karena hanya pada saat itulah mereka dapat berkumpul dan bertemu dengan warga lainnya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi ditengah perjuangan memenuhi tuntutan ekonomi sehari-hari. Tidak hanya mendengar siraman rohani dari Gus Isol sang ulama kampung, mereka juga dapat memperbincangkan segala hal seusai acara. Bahkan yang terakhir ini lebih “hot” ketimbang pengajiannya.
Seperti malam itu. Ketika Gus Isol sudah mengakhiri ceramahnya, beberapa orang langsung membentuk majelis-majelis kecil. Salah satu yang terlihat paling ramai adalah majelisnya Cak Pa’i. Meski sehari-hari cuma pegawai pom bensin, kawan kita satu ini tidak kalah dengan pengamat politik di Jakarta dalam hal informasi. Selain rutin nonton berita TV, dia juga langganan koran dan majalah. Tak tanggung-tanggung Cak Pa’i langganan Kompas, Jawa Pos dan Majalah Tempo. Tak heran, dia selalu menjadi trend setter ketika membicarakan isu aktual.
Pada kesempatan itu, Cak Pa’i rupanya tertarik membicarakan soal rencana Presiden SBY melakukan reshuffle kabinet. Presiden memang menjanjikan akan melakukan bongkar-pasang kabinetnya awal Mei ini. Rencana yang kemudian diplesetkan menjadi may be yes may be no. Meniru iklan rokok yang cocok dengan watak presiden kita itu.
“Politisi-politisi di Jakarta sudah sibuk bermanuver untuk mendekati presiden. Tujuan mereka cuma satu, jagonya dapat duduk menjadi menteri”, Cak Pa’i membuka obrolan.
“Ojo sok tahu Cak. Bagaimana sampeyan tahu manuver politisi-politisi la wong sampeyan ki kerjaannya ngisi bensin. Kalo harga bensin naik baru aku percaya karo sampeyan Cak”, timpal Lek Sarno.
“Makane to sampeyan ki lek nonton TV jangan sinteron thok. Tontonan seperti itu nggak ada manfaatnya buat sampeyan kecuali bisa menangis atau tertawa. Kabeh kuwi dagelan lek. Sampeyan harusnya itu nonton Liputan 6 atau Seputar Indonesia. Wis pokoke berita lah. Kuwi sing bermanfaat”, Cak Pa’i menannggapi.
Lek Sarno yang petani ini memang penggemar berat sinetron. Dia sangat hafal sinetron apa yang sedang tayang di TV kita. Tetangga kita satu ini sangat fasih kalau cerita soal Intan, Wulan atau sinteron lainnya.
Cak Pa’i meneruskan perkataannya, “Dari berita TV atau koran tiap hari pasti ada itu cerita bagaimana nasib menteri anu, menteri itu. Bagaimana partai A ingin presiden mengganti menteri B. Atau politisi itu mendekati wakil presiden untuk memastikan nasib menteri yang dia dukung.”
Puji Gandhen, yang biasanya hanya diam dan asyik merokok, tertarik juga untuk bersuara. “Sik to Cak. Sampeyan kok cerita manuver menteri ini, menteri itu, politisi anu, politisi ini. Terus pentinge bagi awake dewe ki opo?” tanyanya pada Cak Pa’i.
“Pancen beritane media isinya gitu Ndhen. Nggak ada berita yang cerita masyarakat desa A tidak ingin reshuffle. Atau Presiden SBY meminta saran pedagang kaki lima untuk mengganti menteri perdagangan atau petani desa kita untuk menilai kinerja menteri pertanian. Yang ada di media cuma politisi thok. Terus gimana.”yang ditanya menjawab.
“Kalau mendengar ceritamu tadi kelihatan sekali politisi-politisi itu hanya mementingkan dirinya sendiri. Si ini ingin dapat posisi menteri itu. Si anu ingin mengamankan kawannya. Lalu siapa yang menyuarakan kepentingan kita Cak?” Kang Jarot ikut nimbrung.
“ya harusnya media yang menyuarakan Kang. Mereka kan punya tanggungjawab sosial untuk selalu mengabdi pada kepentingan masyarakat. Itu sebagai konsekuensi kemampuannya berbicara dengan banyak orang secara serempak tanpa dibatasi ruang dan waktu. Apalagi TV, wajib hukumnya melayani kepentingan masyarakat karena menggunakan gelombang frekuensi yang jumlahnya terbatas. Tapi kenyataannya media selalu menampilkan apa yang dikatakan Cak Pa’i tadi. Leres ngoten to Gus?” Pak Guru Wanto minta penguatan Gus Isol yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
“Leres Pak Guru. Harusnya memang begitu. Kata anak saya yang kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM media sekarang memang menerapkan jurnalisme omongan. Jurnalisme yang memungkinkan berita dibuat berdasar omongan pihak A kemudian dibantah pihak B. Istilah Inggrise ki talking journalism, utawa istilahe dewe yo jurnalisme cangkeman. Cilakane meneh sing nyangkem pun dipilih-dipilih. Istilahe ki media menerapkan prinsip prominence. Hanya orang-orang terkenal lah yang bisa nyangkem di media.” Gus Isol menjelaskan.
“Ngoten nggeh Gus?” Lek Sarno mencari penguatan.
“Coba deloken No, siapa saja yang bisa nyangkem di media. Pasti presiden, menteri, politisi, partai atau artis. Masyarakat pun pasti harus ada embel-embelnya pengamat atau cendekiawan. Meskipun kadang cangkemane ki yo ra mutu kae. La koyok awake dewe iki hampir mustahil bisa masuk ke media. Kowe misale. Meskipun tiap malam nonton sinetron nggak pernah dilirik karo wong media. Paling-paling carane yo kowe kudu nyopet disik terus ketangkep dan digebuki massa, mesthi kowe mlebu buser” Gus Isol menambahkan lebih lanjut.
“Ah, Gus Isol saget mawon,” jawab Lek Sarno sambil cengar-cengiri diketawain teman-temannya yang lain.
Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 2 Mei 2007
09.40 WIB
(TS)
Wednesday, May 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment