Ketika Thukul Di-Rasani
Sebuah penelitian di Amerika tentang waktu untuk menonton TV yang hanya kalah banyak dengan waktu bekerja, nampaknya berlaku di mana saja. Tak terkecuali di Desa Tanjung ini. Kegiatan menonton TV sudah menjadi kegiatan utama nomer dua sehari-hari. Nomer satunya ya bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi. Malah untuk anak-anak, waktu belajar baik di sekolah atau di rumah pun masih kalah dengan waktu untuk nonton. TV. Persis seperti penelitian di Amerika tadi. Mungkin Bu Kasur harus merubah lirik lagunya bukan lagi “bangun tidur ku terus mandi” tapi “bangun tidur ku terus nonton TV”.
Tak heran jika masyarakat desa itu, baik tua, muda maupun anak-anak sangat fasih ketika membicarakan acara TV. Mereka fasih menirukan gayanya Thukul, anak-anak sebandel Sinchan, menguasai jalan cerita sinteron Intan. Pokoknya apa yang disajikan TV pasti menempel kuat dalam ingatan mereka. Acara-acara TV pun seringkalimenjadi topic pembicaraan hangat warga Desa Tanjung. Tak peduli di masjid atau warung kopi, ada saja acara TV yang mereka bicarakan.
Tak terkecuali obrolan di warung kopi Yu Kayah malam itu. Kang Salam yang memang menjadi pelanggan tetap di sana mulai membuka obrolan. “Katanya Thukul mau ditegur sama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ya? Dengar-dengar sih dia dianggap porno melecehkan perempuan. KPI menganggap Thukul sering menggunakan kata-kata yang vulgar.”
“Masa kang. Perasaanku guyonannya Thukul biasa saja. Guyonane wong ndeso ya memang seperti itu. Kan nggak ada bedanya dengan guyonan kita ini,”Kang Triman seakan membela Thukul. Pantas saja dia nggak terima Thukul dianggap porno, lha wong Kang Triman ini penggemar berat acara Empat Mata. Tidak ada satu epidode pun yang terlewatkan olehnya. Sampe-sampe istrinya cemburu terhadap Thukul.
Pernah suatu kali ketika bertengkar istrinya menyebut Kang Triman tidak waras karena menggandrungi Thukul. “Wong orangnya jelek, ora bisa bahasa Inggris, mulutnya maju, kok bisa-bisanya digandrungi,” begitu Kang Triman menirukan kemarahan istrinya saat cerita pada tetanngganya. Yang mendengar ketawa terpingkal-pingkal sambil nanggapi, “Ya sing ora waras istrimu. Wong Thukul kok dicemburui.”
“Bagi kita guyonan seperti itu memang biasa. Dan kita pun kalau ngomongin yang agar ngeres semalaman nggak terasa berat. Makanya Thukul sekarang sangat digemari. Mungkin mereka merasa terwakili oleh Thukul. Jarang-jarang to guyonane wong ndeso bisa masuk TV. Biasane TV kan diisi dengan orang kaya, rumahnya mewah, tapi saling iri dan dengki.” Kang Salimun menyampaikan pendapatnya.
“Tapi kalau kita guyonannya kan hanya di warung. Yang mendengarkan kan hanya kita-kita sendiri. Paling Yu Kayah yang terkadang sok ikut-ikut mendengar. Kalau Thukul guyon gitu di TV. Siarannya nasional lagi. Yang nonton kan ya bukan hanya orang dewasa saja. Anak-anak juga banyak yang ikut nonton. Guyonan saru kayak gitu kan memberi pelajaran kurang baik. Istilahnya Thukul ki ora empan papan” Kang Salam mencoba menjelaskan.
Thukul tampaknya benar-benar menjadi obyek pembicaraan jamaah warung kopi-nya Yu Kayah. Tidak ada topik lain yang dibicarakan. Dengan doping Kopi BRONTOSENO, mereka tahan berdiskusi berjam-jam.
Kang Salam terus menambahkan,”Malah kemarin anak-anak SD di Surabaya melakukan demontrasi menentang gaya Thukul yang sering cium pipi artis perempuan bintang tamunya. Terbukti kan kalau anak-anak banyak yang nonton Empat Mata. Apalagi sekarang jamnya malah dimajuin lagi”
“Tapi menurutku KPI juga nggak bisa negur seenaknya, Kang Salam” bela Kang Triman seolah mengenal betul apa KPI itu.
“Seenaknya gimana. Kan memang tugas KPI salah satunya mengawasi isi tayangan TV. Kalau memang ada tayangan TV yang dianggap menyimpang dari aturannya KPI ya ditegur. Apalagi TV itu kan menggunakan barang publik yang namanya frekuensi. Jadi ya nggak bisa seenaknya dia menayangkan acara. Harus benar-benar dapat memberikan pendidikan pada masyarakat.” Kang Salam menerangkan lebih lanjut.
“Kalau memang begitu seharusnya KPI juga menegur sinetron yang hanya menonjolkan kemewahan dan mimpi. Juga sinetron religius yang justru menyesatkan. Masak ada kuburan penuh ular. Wajarlah di dalam tanah banyak ularnya. Atau acara kuis-kuis yang yang bikin orang malas bekerja saja. Aku cari uang setengah mati aja susah dapatnya, ini cuma ketawa-ketiwi udah dapat uang jutaan rupiah.” cerocos Kang Triman.
Kang Triman nampaknya sudah tidak bisa dibendung lagi. Dia terus menumpahkan uneg-unegnya tanpa bisa disela, “Tayangan-tayangan itu kan tidak menunjukkan kepekaan terhadap masyarakat bawah kayak kita ini. Bayangin saja, kita tiap hari disuruh lihat rumah mewah, konflik diantara orang-orang kaya. Pendidikan macam apa itu. Apa kita dididik untuk bersikap culas dan licik untuk mencapai tujuan. Trus apa iya kita disuruh ngiler lihat mewahnya kehidupan orang-orang itu.”
“Terus sekarang ketika kita merasa terwakili oleh Thukul, sekarang KPI menegurnya. Jelas saja kita sakit hati. Yang bilang Thukul porno dan vulgar kan orang-orang kota. Kita orang-orang desa kan nggak pernah nganggap Thukul itu porno. Toh semuanya ha ha hi hi. Buktinya masyarakat suka. Kenapa kita yang tiap hari disuguhi budaya mimpi yang tidak mendidik tidak pernah mempermasalahkan, sekarang mereka mempermasalahkan guyonan “ndeso” ini.” gerundel Kang Triman.
“Sik to Man. Kok kamu malah melebar orang kota dan orang desa ini gimana. Ini masalah tayangan yang dianggap porno di TV.”Kang Salimun mencoba meredam emosi Triman.
Tapi emosi Kang Triman justru semakin memuncak.”Itulah Kang Salimun. Aku melihat KPI tidak adil di sini. Kalau patokannya tayangan itu harus mendidik, tayangan TV itu apa ada yang mendidik. Ya sinetronnya, infotainment-nya, kuisnya, reality show-nya. Kenapa orang-orang kota itu tidak pernah meributkannya. Apa kita yang di desa sebenarnya senang dengan tontonan itu. Kita kan cuma nggak punya pilihan lain aja.”
“Lagipula orang kota itu kan dekat sekali dengan media massa. Sehingga keluhan mereka dimuat media dan seakan-akan keluhan masyarakat. Coba media dengerin suara kita yang di desa ini ya akan lain ceritanya.” Triman melanjutkan ocehannya.
“Tapi kamu nggak sepakat kan kalau ada tayangan TV yang tidak mendidik?” Kang Salam ingin menegaskan, sambil bangkit untuk membayar kopinya.
“Tentu Kang. Tapi ya itu tadi kriterianya jangan bias kota dan desa. Mentang-mentang Thukul mewakili wong ndeso mau ditegur. Sinetron, kuis dan reality show juga harus ditegur. Jika tidak KPI jelas hanya memihak orang kota saja.” kata Kang Triman sambil ikut bayar.
Obrolan warung kopi memang tidak harus menghasilkan kesimpulan, solusi atau kesepakatan. Tapi mereka selalu menghasilkan kejutan-kejutan. Seperti KPI memihak siapa, orang kota atau orang desa? Lalu bagaimana penonton desa terwakili oleh KPI?
Cangkem Turahe Faisol
Utan Kayu, 4 Mei 2006
19.40 WIB
(TS)
Friday, May 4, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment