Monday, May 28, 2007

Ketika Presiden SBY Marah Sama Amien Rais

Presiden Kok Marah Sama Rakyatnya?

Seperti suasana di pedesaan Jawa pada umumnya, kehidupan malam di Desa Tanjung berpusat di dua tempat, masjid dan warung. Penyebutan dua tempat itu bukan dalam arti berlawanan, warung tempat orang yang tidak mau ke masjid atau sebaliknya. Dua tempat itu justru melengkapi. Orang berkumpul di warung setelah mereka menunaikan ibadah Sholat Isya’. Bahkan tak jarang mereka baru datang ke warung lama setelah ngobrol ba’da isya’ di masjid. Jam ramainya warung pun jadi tak tentu, kadang jam delapan, kadang jam sembilan,bahkan jam sepuluh. Penyebutan yang mudah, pokoknya warung ramai setelah isya’.

Gambaran kehidupan Desa Tanjung di atas berbeda dengan tipologi klasiknya Clifford Gertz. Ketika meneliti kehidupan di Mojokutho (banyak menyebut yang diteliti sebenarnya adalah Pare, Kediri), Geertz membagi masyarakat menjadi kaum santri dan abangan. Tipologi ini menyiratkan adanya pertentangan antara masjid dan warung. Masjid sebagai representasi kaum santri dan warung sebagai representasi kaum abangan. Tapi di desa Tanjung, kaum santri dan abangan lebur di masjid dan warung. Sulit sekali membedakan masyarakat Tanjung menjadi kaum santri dan abangan.

Malam itu, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Di masjid denyut kehidupan masih terasa dengan banyaknya jamaah yang masih ngobrol. Padahal sholat Isya’ sudah mereka tunaikan satu jam yang lalu. Cak Pa’i, tokoh kita itu juga tak ketinggalan berada di antara jamaah itu. Dia tampak asyik ngobrol dengan Gus Isol, Kang Kamdi, Lek Djarot dan Pak Guru Wanto.

“Wah, kasus Pak Amien tampaknya semakin seru Gus. Pak Presiden SBY tampaknya betul-betul marah dengan Pak Amien. Dia sampe mengadakan konferensi pers khusus untuk menanggapi tudingan Pak Amien soal dana kampanye dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Seluruh TV meliput acara itu secara langsung”, kata Cak Pa’i.

Belum sempat Gus Isol menjawab, Kang Kamdi sudah menambahkan,”Nggih Gus, sampe Koran Tempo (Koran Tempo, 26 Mei 2007) menghitung ada 13 kali Pak SBY menyebut nama Pak Amien. Wajahnya pun kayak orang menahan marah.”

“La itu, satu lagi bukti bahwa kita sebenarnya tidak memiliki budaya kejujuran. Kasus itu tidak dibuktikan malah berkelahi sendiri. Kalau memang Pak SBY tidak menerima dana DKP ya buktikan saja kalau memang tidak menerima. Nggak perlu marah-marah ke Pak Amien. Gampang to?”, jawab Gus Isol ringan.

“Iya Gus. Sekarang isunya malah melebar tudingan Presiden SBY bahwa Pak Amien sudah memfitnah dirinya. Malah ada kata naudzubillah hi mindzalik segala. Nanti habis ini Pak Amien jumpa pers juga untuk menanggapi pernyataan presiden. Nanti presiden ganti nanggapi lagi. Lama-lama kan kita nggak tahu yang benar yang mana”, tambah Pak Guru Wanto.

“Terus gimana Gus?”, tanya Lek Djarot.
“Ini sebenarnya momentum bagus untuk membangun budaya kejujuran di negeri kita ini. Sekarang kesempatan meminta pemimpin-pemimpin kita membuktikan kejujurannya. Pak Amien sudah mengakui “kesalahannya”, ya sekarang tinggal melihat bagaimana pertanggungjawabannya secara hukum. Untuk capres-cawapres yang membantah ya tinggal suruh membuktikan saja mereka benar-benar tidak menerima”, jawab Gus Isol bijak.

“Kalau dalam asas hukum itu namanya pembuktian terbalik. Indonesia memang tidak menganut itu. Tapi dalam kasus ini karena ada capres yang membantah padahal pembukuan di DKP sudah jelas ya merekalah yang harus membuktikan. Memang itu tidak wajib bagi mereka. Namun ini terkait dengan kredibilitas dan track record mereka nantinya. Jika mereka nanti maju pilpres 2009dan kasus ini belum clear kan yang rugi mereka sendiri. Rakyat pasti akan mencatat tingkah laku mereka sekarang”, tambah Gus Isol.

Cak Pa’i menimpali komentar Gus Isol itu dengan menambahkan,”Leres Gus, ketimbang marah-marah sama Pak Amien, mending Pak SBY itu membuktikan kala dirinya bersih di sini. Saya kok agak risih presiden kok marah-marah sama rakyatnya. Kesannya Presiden SBY itu anti kritik.”

“Mungkin dia merasa difitnah itu Cak. Kan sebelumnya dia juga diam tidak pernah menanggapi”, jawab Pak Guru Wanto. Pak Guru kita ini rupanya simpatisan Presiden SBY meski tidak pernah resmi menjadi tim sukses ketaika pilpres 2004 lalu.

Kalau di elit politik, Pak Guru Wanto ini mungkin seperti Imam Ad Daruqutni atau Munawar Fuad Nuh. Dua orangnya SBY yang menerima dana DKP tapi tidak diakui sebagai tim sukses Presiden SBY.

“Kalau menurutku memang percuma juga Presiden SBY marah-marah dengan Pak Amien. Masyarakat kan juga bisa mikir ngapain marah-marah kalau memang dia tidak merasa berbuat. Biasanya orang yang marah ketika dituduh malah menunjukkan tuduhan itu benar. Pak SBY tinggal membuktikan saja kalau dirinya benar-benar tidak menerima dana DKP”, Cak Kamdi memberikan pendapatnya.

“Bener Ndi. Kalau dari sisi strategi komunikasi Presiden SBY sudah terjebak permainannya Pak Amien. Sekarang kalau Pak Amien membalas jumpa pers presiden dengan membuka bukti-bukti kalau Pak SBY menerima dana DKP kan berabe. Sekarang posisi Pak SBY kan jadi defensif. Bola permainan ada di tangan Pak Amien, dia mau nembak, mau oper, mau nahan terserah Pak Amien”, analisis Cak Pa’i.

“Wah analisismu sudah kayak Effendi Gazali pakar komunikasi politik itu”, sindiri lek Djarot.

“Betul kan Gus?” Cak Pa’i seakan minta dukungan Gus Isol.

“Mungkin juga betul, mungkin juga tidak. May be yes may be no kalo kata iklannya. Yang jelas Pak SBY sekarang harus membuktikan pada seluruh masyarakat dirinya benar-benar tidak menerima dana DKP. Jika tidak bisa membuktikan, hukuman masyarakat lebih kejam daripada hukuman negara. Kalau masyarakat sudah nggak percaya, Pak SBY dapat saja tidak terpilih lagi kalau maju pilpres 2009. Tapi yang aneh, kemarin Pak jusuf Kalla kok tidak mendampingi Pak SBY ya?” Gus Isol melempar tanya.

“Emang kenapa Gus?”, tanya lek Djarot.

“Kasus ini kan bukan Pak Sby sebagai presiden. Tapi pasangan capres-cawapres SBY-JK”, jelas Gus Isol sambil berdiri.

“Iya Gus, kok aneh ya?”, tambah Cak Pa’i ikut-ikutan berdiri.

Obrolan mereka pun bubar dengan meninggalkan pertanyaan yang tidak terjawab.

Cangkem Turahe Faisol
UK, 26 Mei 2006
11.30 WIB

No comments: