Cangkem Turahe Penonton Voli
Penikmat tapi bukan pengamat
Hari ini (16 Maret 2007) aku nonton Proliga. Aku memaksakan diri nonton karena yang main dua tim favoritku, Petrokimia Gresik dan Surabaya Samator. Padahal sebenarnya aku harus rapat di kantor untuk buat proposal yang cukup penting. Tapi ben ae, pokoke tugasku sudah selesai. Itung-itung sekalian karo refreshing.
Di sini aku tidak akan menceritakan bagaimana jalannya pertandingan dan hasilnya seperti apa. Lebih lengkap soal ini, teman-teman bisa baca Tabloid Bola. Ini tabloid olahraga yang menjadi klangenanku. Sing jelas, tim favoritku menang kabeh. Jelas, aku seneng banget, apalagi Kiki Maria, pemain favoritku main. Dia itu pemain Petrokimia yang kalau main selalu cemberut saja. Mbuh aku langsung menyukai gayanya sejak pertama kali melihatnya bermain. Soal Kiki Maria tak ceritakan secara lebih lengkap lain kali.
Aku ingin menunjukkan gejala cangkem turahe penonton voli tadi. Termasuk diriku tentunya. Awalnya, aku janjian karo Mas Agus Sudibyo (yang sudah disebut media sebagai pengamat media) untuk nonton bareng. Kita berangkat dari kantor masing-masing. Diriku berangkat dari ISAI di Utan Kayu, dia berangkat dari Yayasan SET di Sinabung. Ternyata aku udah datang duluan. Setelah memberi kabar kepadanya melalui telepon, aku pun masuk duluan.
Dalam gedung ternyata penonton sudah penuh. Aku segera menuju tribun di belakang bangku pemain cadangan Petrokimia. Tentu saja dengan niat melihat pemain Petro yang cantik-cantik. Lagipula, tribun di situ memang masih kosong. Ternyata penonton di sekelilingku rata-rata orang Jawa Timur yang memberikan dukungan pada tim Petro. Jumlah mereka memang sedikit, tapi suaranya tidak kalah dengan mayoritas penonton yang mendukung tim lawan. Lawan Petro kali ini adalah Jakarta Elektrik, tim volinya PLN.
Besarnya gaung pendukung Petro ternyata lebih disebabkan oleh cangkem turah-nya. Mereka terus berteriak sesuka hatinya. Tanpa ada komando, tanpa ada perintah. Mulai yang sopan, “Ayo Gresik”, “semangat yo semangat”, sampe sing bener-benar cangkem turah, “Tossere Ndeso”, “Ganti Kiki, ganti”, “Jancuk nomer 11 nggak iso opo-opo”, “dibayar larang nggak iso main angon bebek ae”. Demikian sekelumit cangkem turah penonton voli tadi.
Menjadi bagian mereka, aku benar-benar menjadi penikmat voli. Mereka semua, termasuk aku mungkin tidak akan pernah bisa bermain voli sebaik pemain-pemain itu. Tapi kami merasa layak untuk ngata-ngatain pemain yang dianggap jelek. Sebagai penikmat, kami punya hak untuk berkata. Kami butuh dihibur, sehingga jika ada pemain yang tidak membuat terhibur akan kami ingatkan dengan dukungan atau makian.
Gurp penikmat ini berbeda dengan kelompok para pengamat. Masih dalam gedung olahraga itu, ada sekelompok penonton yang tidak mengeluarkan suara apapun ketika menonton. Paling banter mereka hanya bertepuk tangan. Itu pun hanya sesekali. Lebih menarik lagi mereka berkumpul dalam satu tribun. Jadi, dari tribun-tribun yang ada di gedung tersebut, tribun ini paling senyap. Aku menyebutnya sebagai tribun para pengamat.
Aku sempat menikmati duduk di tribun tersebut. Mas Agus Sudibyo mengajakku duduk di sana ketika pertandingan kedua akan berlangsung. Rupanya yang duduk di tribun tersebut adalah tokoh-tokoh bola voli dan para pemain voli yang kebetulan tidak mendapat jadwal bermain. Pantes saja mereka tidak berteriak-teriak. Mereka lebih mengamati bagaimana permainan tim yang sedang bertanding. Kayaknya “pengamat” ini sedang “memata-matai” tim yang bertanding. Kali aja mereka akan bertanding di lain desempatan.
Dari kedua tipe penonton ini, aku harus menyadari lebih cocok menjadi penikmat voli bukan pengamat. Aku lebih enjoy ketika ikut meneriaki pemain. Ketika duduk bersama para “pengamat” kayaknya gimana gitu rasanya. Cangkemku rasane wis gatel ingin teriak. Tapi gimana lingkungan kurang mendukung. Wis pokoke nyikso banget. Saat itu aku serasa tidak menjadiku sendiri. Tidak be my self.
Bagaimana reaksi pemain ketika diteriaki penonton? Pemain, aku kira cukup dewasa. Meski diteriaki mereka tidak ada yang kemudian membalas cemoohan penonton. Walaupun kulihat ada beberapa pemain yang down juga. Mereka mengerti bahwa kodrat penonton memang seperti itu. Tidak pernah ada pakemnya penonton kok diam. Dalam kisah apapun, bagian cangkem turah mesti paling rame. Jika pemain down dengan teriakan pemain, itu adalah persoalan mental bertanding. Semakin tebal telinga mereka mendengar cangkem turahe penonton, pasti mainnya akan semakin bagus.
Politisi atau pemerintah nampaknya harus relajar dari sikap pemain atas cangkem taurahe penonton olahraga ini. Pemerintah kita selalu “marah” jika dikritik. Mereka bilang mengkritik itu gampang karena mereka Belem melaksanakan sendiri. Pemikiran yang cukup aneh. Semua memiliki porsi sendiri-sendiri. Penonton atau orang yang berada di luar permainan porsinya memang berteriak. Cangkem turah, hanya itulah yang bisa dimiliki. Seperti rencana Sofyan Djalil mensomasi republik mimpi. Itu kan cangkem turah sing konyol. Wong mimpi kok mau disomasi Kan jelas kurang kerjaan.
Celotehan para outsider itu harusnya dianggap sebagai celotehan cangkem turah yang boleh mereka ikuti atau tidak. Toh yang akan tanggungjawab kan mereka sendiri. Kata Gus Dur, gitu aja kok repot.
Cangkeme Faisol
Utan Kayu, 16 Maret 2007
0.04 WIB
Bar nonton Voli kelingan Kiki Maria.
Penikmat tapi bukan pengamat
Hari ini (16 Maret 2007) aku nonton Proliga. Aku memaksakan diri nonton karena yang main dua tim favoritku, Petrokimia Gresik dan Surabaya Samator. Padahal sebenarnya aku harus rapat di kantor untuk buat proposal yang cukup penting. Tapi ben ae, pokoke tugasku sudah selesai. Itung-itung sekalian karo refreshing.
Di sini aku tidak akan menceritakan bagaimana jalannya pertandingan dan hasilnya seperti apa. Lebih lengkap soal ini, teman-teman bisa baca Tabloid Bola. Ini tabloid olahraga yang menjadi klangenanku. Sing jelas, tim favoritku menang kabeh. Jelas, aku seneng banget, apalagi Kiki Maria, pemain favoritku main. Dia itu pemain Petrokimia yang kalau main selalu cemberut saja. Mbuh aku langsung menyukai gayanya sejak pertama kali melihatnya bermain. Soal Kiki Maria tak ceritakan secara lebih lengkap lain kali.
Aku ingin menunjukkan gejala cangkem turahe penonton voli tadi. Termasuk diriku tentunya. Awalnya, aku janjian karo Mas Agus Sudibyo (yang sudah disebut media sebagai pengamat media) untuk nonton bareng. Kita berangkat dari kantor masing-masing. Diriku berangkat dari ISAI di Utan Kayu, dia berangkat dari Yayasan SET di Sinabung. Ternyata aku udah datang duluan. Setelah memberi kabar kepadanya melalui telepon, aku pun masuk duluan.
Dalam gedung ternyata penonton sudah penuh. Aku segera menuju tribun di belakang bangku pemain cadangan Petrokimia. Tentu saja dengan niat melihat pemain Petro yang cantik-cantik. Lagipula, tribun di situ memang masih kosong. Ternyata penonton di sekelilingku rata-rata orang Jawa Timur yang memberikan dukungan pada tim Petro. Jumlah mereka memang sedikit, tapi suaranya tidak kalah dengan mayoritas penonton yang mendukung tim lawan. Lawan Petro kali ini adalah Jakarta Elektrik, tim volinya PLN.
Besarnya gaung pendukung Petro ternyata lebih disebabkan oleh cangkem turah-nya. Mereka terus berteriak sesuka hatinya. Tanpa ada komando, tanpa ada perintah. Mulai yang sopan, “Ayo Gresik”, “semangat yo semangat”, sampe sing bener-benar cangkem turah, “Tossere Ndeso”, “Ganti Kiki, ganti”, “Jancuk nomer 11 nggak iso opo-opo”, “dibayar larang nggak iso main angon bebek ae”. Demikian sekelumit cangkem turah penonton voli tadi.
Menjadi bagian mereka, aku benar-benar menjadi penikmat voli. Mereka semua, termasuk aku mungkin tidak akan pernah bisa bermain voli sebaik pemain-pemain itu. Tapi kami merasa layak untuk ngata-ngatain pemain yang dianggap jelek. Sebagai penikmat, kami punya hak untuk berkata. Kami butuh dihibur, sehingga jika ada pemain yang tidak membuat terhibur akan kami ingatkan dengan dukungan atau makian.
Gurp penikmat ini berbeda dengan kelompok para pengamat. Masih dalam gedung olahraga itu, ada sekelompok penonton yang tidak mengeluarkan suara apapun ketika menonton. Paling banter mereka hanya bertepuk tangan. Itu pun hanya sesekali. Lebih menarik lagi mereka berkumpul dalam satu tribun. Jadi, dari tribun-tribun yang ada di gedung tersebut, tribun ini paling senyap. Aku menyebutnya sebagai tribun para pengamat.
Aku sempat menikmati duduk di tribun tersebut. Mas Agus Sudibyo mengajakku duduk di sana ketika pertandingan kedua akan berlangsung. Rupanya yang duduk di tribun tersebut adalah tokoh-tokoh bola voli dan para pemain voli yang kebetulan tidak mendapat jadwal bermain. Pantes saja mereka tidak berteriak-teriak. Mereka lebih mengamati bagaimana permainan tim yang sedang bertanding. Kayaknya “pengamat” ini sedang “memata-matai” tim yang bertanding. Kali aja mereka akan bertanding di lain desempatan.
Dari kedua tipe penonton ini, aku harus menyadari lebih cocok menjadi penikmat voli bukan pengamat. Aku lebih enjoy ketika ikut meneriaki pemain. Ketika duduk bersama para “pengamat” kayaknya gimana gitu rasanya. Cangkemku rasane wis gatel ingin teriak. Tapi gimana lingkungan kurang mendukung. Wis pokoke nyikso banget. Saat itu aku serasa tidak menjadiku sendiri. Tidak be my self.
Bagaimana reaksi pemain ketika diteriaki penonton? Pemain, aku kira cukup dewasa. Meski diteriaki mereka tidak ada yang kemudian membalas cemoohan penonton. Walaupun kulihat ada beberapa pemain yang down juga. Mereka mengerti bahwa kodrat penonton memang seperti itu. Tidak pernah ada pakemnya penonton kok diam. Dalam kisah apapun, bagian cangkem turah mesti paling rame. Jika pemain down dengan teriakan pemain, itu adalah persoalan mental bertanding. Semakin tebal telinga mereka mendengar cangkem turahe penonton, pasti mainnya akan semakin bagus.
Politisi atau pemerintah nampaknya harus relajar dari sikap pemain atas cangkem taurahe penonton olahraga ini. Pemerintah kita selalu “marah” jika dikritik. Mereka bilang mengkritik itu gampang karena mereka Belem melaksanakan sendiri. Pemikiran yang cukup aneh. Semua memiliki porsi sendiri-sendiri. Penonton atau orang yang berada di luar permainan porsinya memang berteriak. Cangkem turah, hanya itulah yang bisa dimiliki. Seperti rencana Sofyan Djalil mensomasi republik mimpi. Itu kan cangkem turah sing konyol. Wong mimpi kok mau disomasi Kan jelas kurang kerjaan.
Celotehan para outsider itu harusnya dianggap sebagai celotehan cangkem turah yang boleh mereka ikuti atau tidak. Toh yang akan tanggungjawab kan mereka sendiri. Kata Gus Dur, gitu aja kok repot.
Cangkeme Faisol
Utan Kayu, 16 Maret 2007
0.04 WIB
Bar nonton Voli kelingan Kiki Maria.
No comments:
Post a Comment