Monday, March 19, 2007

Cangkem Turahe Komedian

Sekali lagi Cangkem Turahe Thukul
Sumbang-menyumbang rentan menjadi ‘kuda tunggangan”


Selalu ada yang menarik hatiku ketika menonton acara Empat Mata. Acara ini memang favoritku. Setiap malam dari Senin hingga jum’at aku pasti menikmati cangkem turahe Thukul. Bahkan karena acara ini, aku pasti tidur di atas jam satu malam. Seperti penyakit, jika di atas jam 10 malam aku belum tidur, pasti mata ini sulit terpejam. Mungkin semi insomnia. La ndilalah acara ini kok selesainya jam 11 malam. Akhirnya aku baru bisa tidur udah jam satu malam. Tapi gak pa pa. Aku selalu menemukan sesuatu dari cangkem turahe Thukul.

Seperti tayangan empat mata, jum’at kemarin (16 Maret 2007). Episode ini mendatangkan bintang tamu artis Marini Zumarnis, Inggrid Kansil serta Marissa Haque. Juga Eman, personel grup lawak Empat Sekawan. Tapi bintang diantara bintang tamu malam itu adalah Bu Rani (lek ora salah jenenge. Soale aku yo lali), seorang wanita yang menjadi kenek bus. Dia bekerja seperti itu untuk menghidupi keluarganya. Suaminya tidak bisa bekerja lagi karena menderita sakit. Hasil “ngeneknya” ini digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarga termasuk pengobatan suaminya.

Mengapa kusebut bintang dari bintang tamu? Seluruh pertanyaan yang diajukan Thukul ke bintang tamu lainnya selalu mengacu pada kisah Bu Rani ini. Misalnya pertanyaan ke Marini Zumarnis, mampu nggak harus menghidupi seluruh keluarga jika sang suami ndak bisa bekerja lagi. Atau pada Mbak Icha (kuwi lo panggilan akrab Marisa Haque), apa yang dia lakukan jika sang suami melarang bekerja. Pokoknya apa yang dialami Bu Rani pasti akan ditanyakan ke bintang tamu lainnya. Hebat tenan to, artis harus ikut alur kisahnya perempuan kenek bis. Lek ora Thukul mungkin sulit melakukan.

Bukan bagian ini yang menarik bagiku. Ada bagian yang lebih menarik yaitu ketika Bu Rani mengatakan jika punya modal akan buka usaha warteg. Jenenge Thukul itu cangkem turah, spontan dia menanyakan butuhnya Bu Rani berapa dan menjanjikan akan menyumbang. Thukul nyanggupi nyumbang 2 juta, jumlah yang dibutuhkan Bu Rani. Marisa nyanggupi ngasih separo honornya. Bintang tamu lainnya hanya nyengir ketika ditanya Thukul nyumbang berapa. Mungkin Thukul tekoke sambil nyengir juga. Jenenge ae cangkem turah.

Format seperti ini cukup bagus. Empat mata sudah bisa ikut membantu masyarakat yang tidak berpunya. Meskipun tidak dirancang sebelumnya, cangkem turahe Thukul sudah dapat menunjukkan kepedulian empat mata terhadap sesama. Wis apik bangetlah.

Tapi gaya-gaya semacam ini rentan sekali ditunggangi para politisi dan pemuja tebar pesona. Aku yakin mereka berlomba-lomba ndompleng kepopuleran empat mata untuk menunjukkan dirinya murah hati. Cukup dengan datang ke empat mata bermodalkan uang dua atau tiga juta rupiah, masyarakat sudah akan menganggapnya sebagai politisi baik hati. Apalagi masyarakat Indonesia gampang trenyuh melihat kisah-kisah mengharukan seperti ini. Termasuk aku sih. Buktine aku saiki ngomentari soal tersebut.

Terlebih sekarang mendekati pemilihan gubernur DKI. Kita lihat aja apakah calon-calon gubernur itu akan memanfaatkan ajang ini untuk tebar pesona. Yang jelas sayang sekali jika Empat Mata menjadi “kuda tunggangan” politisi-politisi pemuja tebar pesona itu. Hal tersebut tentu saja akan mengotori jiwa kejujuran, roh dari Empat Mata selama ini. Terlalu murah rasanya jika bermodal lima juta rupiah politisi-politisi itu sudah bersalin rupa melalui salon empat mata. Bukankah rekam jejak kebaikan politisi-politisi itu juga belum jelas?

What’s should Empat Mata do? (kayak Thukul nggak bahasa inggrisnya) Empat Mata harus memiliki tuntutan lebih kepada politisi-politisi yang ingin nunjukin sumbangannya lewat empat mata. Menolak politisi menjadi bintang tamu rasanya nggak mungkin. Mereka juga punya hak menjalankan program PR-nya lewat kepopuleran Thukul. Termasuk aksesoris sumbang-mennyumbang jika ada.

Terhadap politisi, terpenting kita menuntut komitmen mereka untuk menciptakan sistem yang mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Untuk level pribadi tanpa embel-embel politisi seprti Thukul, sumbangan uang súdala memadai. Tapi jibia yang melakukan Fauzi Bowo atau Adang Daradjatun, calon gubernur DKI tentu saja sangatlah tidak mencukupi. Bagi mereka menyumbang sepuluh juta pun tak akan ada artinya.

Mereka akan punya makna jika ketika menjabat mampu membuat sistem jaminan social bagi warganya. Dengan demikian, kisah Bu Rani pun tidak terlalu mengharukan lagi. Baru ini bukan tebar pesona.

Cangkem turahe Faisol
UK, 18 Maret 2007
12.09 WIB
Kesel bar renang neng Atlantis

No comments: